10. Jadi, Tidak Bisa Hanya dengan Dekat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perubahan yang instan hanyalah sulap; tidak nyata dan tersembunyi di balik trik belaka. Namun, itulah yang kubutuhkan. Trik yang hanya diketahui pesulap. Penonton yang melihat keajaiban dramatis dan brilian dari luar. Rahasia yang tidak bisa diungkap oleh orang biasa, tetapi bisa dilihat sesama bermuka dua.

Ah, tunggu. Sepertinya sebutan "bermuka dua" itu berlebihan. Aku bukan bermuka dua, tapi menyesuaikan diri saja.

"Alphaeus, kok makan sendirian saja? Jauh banget lagi dari meja kita."

Sepertinya ini sudah kelima kalinya ada yang kebetulan lewat dan menyapa Alphaeus. Setiap kali begitu, dia menoleh padaku, dan aku harus membuat senyuman galak sambil menempelkan jari telunjuk kanan di bibirku. Ini baru hari pertama, aku tidak bisa tahu trik atau alasan dia melihatku kalau dia terkena rumor bahwa dia berbicara dengan angin.

"Yah, aku mau makannya di sini, sih. Lagi nunggu orang lain juga," jawabnya, bersikap biasa. Setelah kenalannya pergi, dia menatapku dengan tatapan menuntut penjelasan.

"Soto di depanmu bisa-bisa kehabisan kuah karena nasinya masih menumpuk." Aku tidak langsung menjelaskan apa yang dia mau. Bukan berarti itu bisa dilakukan.

"Tapi kalau cepat kuhabiskan, sepertinya aku akan   ditinggalkan."

Aku mengepalkan tangan. Dia benar, ini adalah momen aku bisa mengamatinya. Apa yang membuat dia berbeda dari orang lain sehingga bisa melihatku?

"Wajahmu langsung tegang, tuh."

Aku mengembuskan napas sedikit keras, sengaja agar didengarnya. "Bagaimana lagi, ada anak berisik yang bermain dengan makanan di sini."

"Ha ha." Entah dia mau tertawa atau mengejek. Tapi begitu aku berdiri, dia menarik tanganku dengan lembut. "Kalau pergi, gimana aku bisa balas budi ke kamu?"

Entahlah. Aku tidak yakin bisa. Lima orang menyapamu. Lima orang juga membuatku yakin kalau cuma kamu yang melihat, mendengar, dan berbicara denganku.

"Bukan mau instan juga," gumamku. Setidaknya aku tahu, berada di dekatnya yang bisa melihatku bukan berarti orang lain bisa melakukan itu.

Lagi pula bahaya dekat dengannya seperti ini lebih lama lagi.

"Apa? Mau mie instan?"

Aku mengerjap, lantas mengerti kalau dia mendengar gumamanku. "Bukan."

"Lapar, kan?"

Aku menggeleng. Beberapa kali kuketuk punggung tangan yang mencegahku pergi, tapi dia tidak berniat melepaskanku sama sekali.

"Mau kubelikan saja?"

Kali ini, aku tidak merespons apa-apa. Mungkin dia tidak tahu, tapi itu pertanyaan yang menakutkan. Seseorang membeli seporsi mie dan meletakkannya di seberang makanannya, terlihat duduk sendirian, menghadap ke kebun di sebelah kantin. Horor.

"Alva?"

"Aku kenyang. Kalau menunggu makananmu habis, aku akan terlambat masuk kelas."

Lepaskan aku. Sebelum ada yang menyapamu lagi. Sebelum aku jadi sumber masalah untukmu.

Alih-alih melepaskan, genggamannya semakin kuat. Dia seperti ingin berbicara, tapi menelan lagi kata-katanya. Sorot matanya seolah dia sedih, lagi-lagi tidak fokus padaku, membuatku bingung karena aku yang harusnya merasa sedih saat ini.

Akhirnya aku kembali duduk, tanpa berkata apa-apa. Kutarik tanganku dan dia mengendurkan tenaganya. Lagi-lagi tersenyum ramah. Aku membuang muka melihatnya.

Di sela-sela dia makan, aku berbisik tajam, "Inilah kenapa aku lari kemarin."

"Wawu wawu wawu? Uhuk!" Dia terbatuk-batuk, sedangkan aku mengambil botol minum yang sudah ia bawa, membuka tutupnya, lalu menyodorkan itu. 

Aku panik, sampai tidak sempat berpikir. Akan tetapi  dia malah ... tertawa setelah berhenti batuk. "Kuahnya salah masuk terowongan."

Dia sedang melucu? Aku tertawa hambar. Usaha yang bagus, menggambarkan tenggorokan dan kerongkongan dengan terowongan.

Saat kami sibuk sendiri, keramaian kantin yang tadinya seperti  lebah mengitari sarang tiba-tiba lebih pelan. Dari telinga, kepala,  lalu jantung, kemudian mulut, semua terasa tidak enak seketika.

Sekembalinya fokusku yang pecah sesaat, aku menghadapi hal yang kutakutkan tanpa sempat bersiap.

"Botolnya bergerak ke arah Alphaeus!" Seorang perempuan entah dari mana histeris.

Aku mengigit bibirku. Bagaimana ini? Bagaimana bisa aku lengah seperti ini? Aku menoleh ke arah orang-orang yang berhenti melakukan aktivitas mereka dan melihat ke sini.

"Tadi saat kuajak ngobrol,  katanya, sih, nunggu orang lain. Tapi, betulan orang?"

Benar,  itu seseorang, di depan kalian semua. Tapi tidak ada yang sadar, kan? Kalau seperti ini, mereka akan terus mencari-cari. Kalau aku bergerak sedikit, lalu tidak sengaja menggeser peralatan makan di meja atau mendorong kursiku, pasti akan terlihat jelas. Lalu anak laki-laki di sampingku ....

Aku tidak berani melihat wajahnya. Dia mungkin akan mengajakku bicara. Saat itu terjadi,  mungkin mereka akan mendengarnya.

Aku memejam. Berpikirlah,  Alva! Bahkan kalau apa yang kucari tidak ada jawabannya,  jangan sampai mengorbankan orang lain!

Suara peringatan seperti di stasiun mengalihkan perhatian semua orang, termasuk aku. Berikutnya datang  pengumuman bahwa waktu istirahat tinggal 5 menit lagi. Suaranya keras, menggema, tapi ... hatiku lega.

Tidak ada lagi yang membicarakan Alphaeus, setidaknya tidak sekeras tadi. Mungkin juga karena pertanda istirahat mau selesai itu, mereka lupa. Semoga. Aku sungguh berharap semua seperti itu.

Dengan hati-hati aku berdiri, tidak sengaja aku bertatapan dengan Alphaeus.  Dia ini.  Aku tidak memberinya tanda, jangan bilang selama aku menahan diri untuk bergerak, dia melihatku terus?

Tidak bisa. Hentikan saja rencana ini. Aku memang harus menghabiskan kehidupan sekolahku dengan prinsip yang dulu.

"Tidak apa–"

"Jangan tersenyum," potongku ketus. Berbahaya. Orang lain bisa menganggapnya benar-benar aneh.

"Yang tadi, aku akan menyelesaikannya, jadi–"

"Aku yang salah. Terima kasih sudah mengajakku berbicara," aku mengalihkan pandangan sebelum melanjutkan, "tapi berhentilah."

Arogan. Kaku. Dingin. Bagaimanapun caranya, saat ini juga aku harus menghancurkan keinginannya untuk mengejarku lagi.

Aku menghentakkan kaki, berjalan menjauh darinya. Untunglah, dia tidak memanggilku. Kurasa berbeda dari cerita yang kubaca, saat tiba-tiba ditinggalkan dengan kasar, orang baik pun akan membiarkan orang yang menyakitinya pergi.

Tidak jauh dari kantin, ada toilet perempuan. Supaya lebih aman, aku masuk ke toilet di sisi kiri. Setidaknya kalau mengintip dari celah pintu, aku bisa melihat apakah Alphaeus sudah pergi atau belum. Karena seangkatan, kemungkinan jalur yang kami lewati sama. Aku tidak mau bertemu lagi dengannya.

"Shadelion! Sha!"

Suara teriak laki-laki yang familier terdengar jelas dari sampingku. Padahal, saat masuk tadi, tidak ada siapa-siapa di jalan yang kecil itu. Hanya jendela kelas yang tertutup dan tanaman hias di pinggir jalan. Tidak ada bekas langkah kaki.

Setelah bel, harusnya orang lain kembali ke kelas, kan? Setelah toilet ini kan, hanya ada kantin.

Aku menarik kunci pintu, membukanya sedikit demi sedikit agar tidak ada suara. Laki-laki yang membuatku kelepasan emosi kemarin mengikuti seorang perempuan dengan poni tipis hampir menyerupaiku, bahkan rambutnya juga panjang. Perempuan itu berjalan cepat melewatiku. Sementara itu, Riel, nama yang Alphaeus beritahu tadi, berhenti lalu melangkah mundur tepat di samping dinding.

Berbeda daripada kemarin, dia seperti bersembunyi dari orang lain.

"Alphaeus!"

Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Siapa tadi? Shadelion? Suaranya seolah menemukan seseorang yang sudah lama tak ia temui dalam beberapa tahun.

"Kudengar dari teman-teman kamu di sini. Aku cari dari tadi."

Oh, sudah dijemput temannya. Tidak ada lagi alasan untuk bersembunyi. Dia pasti akan fokus ke  Shadelion. Perempuan yang buru-buru ke sini setelah diberitahu temannya. Apa dia panik?

Awalnya, aku heran, tidak ada yang membela Alphaeus saat direndahkan. Kupikir, dia tidak punya banyak teman. Jadi, saat aku tidak sengaja bertemu dengannya lagi di taman saat aku menyendiri sama seperti kemarin, aku menerima ajakannya untuk ke kantin bersama.

Aku mengembuskan napas. Siapa yang mengkhawatirkan siapa? Dari awal, tidak mungkin dia sendirian. Tidak mungkin dia sengaja ditinggalkan.

Benar, dengan adanya teman yang peduli seperti orang-orang yang menyapanya lalu Shadelion yang mencarinya, itu tidak mungkin.

Aku melirik Riel yang bersembunyi. Ini menganggu sekali. Aku memastikan lagi jalan di hadapanku,  itu sempit karena persis di belakang kelas.

Kenapa teman yang terlihat sangat peduli dan sekadar teman sekelas yang terlihat sangat memusuhi melewati jalan yang sempit bersamaan?

°°°

27 Juni 2023
1214 kata

Mau dibawa ke mana anak-anak drama ini? Oh nggak, bukan drama, cuma overthinking 😭 YATATANG ALVA, SUSAH BANGET BIKIN KAMU TEMENAN
BISA NGOMONG, TAPI GA BISA TEMENAN
HUHAH

Yemi ga bisa tidur, terus nulis, tahu-tahu mau jam 1. 1 pagi

Sekitar 500an kata tadi mau kututup gara-gara ngantuk, tapi kutahan. Semoga kelambatan yang dibuat Alva bisa seimbang dengan kecepatan Shadelion. Nih, sketsanya Shadelion (belum sanggup bikin Digi art dengan memori yang hshshsh habis update WA)


Maap kepala kalian jadi terbalik eh terbelok

Sudahlah aku tahu Shadelion ini kelihatan sus, gara-gara Alva 😭 Tapi gimana ya, waktu ketemu Alphaeus pertama kali juga, sus ke cowok itu. Rasanya wajar kalau Alva juga sus ke keadaan ini.
Santai Alva, masalahmu bakal nambah^^

See you next chapter!

Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca yaw! (≧▽≦)

Salam semanis lolipop🍭
Yemimaliez

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro