11. Tawaran (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Usai istirahat pertama, aku memutuskan untuk diam di kelas. Seharusnya Alphaeus belum tahu, aku anggota kelas XII MIPA 1. Di sekolah ini, ada 3 kelas MIPA dan 3 kelas IPS. Setidaknya ada 1:5 kemungkinan dia bisa menebak aku di mana.

Tidak lama setelah kelas dimulai, hujan turun. Tahun ini benar-benar sering hujan. Sebelum aku pindah pun begitu. Aku menengok ke arah pintu kelas yang terbuka. Mungkin ini terbawa suasana, tapi pemandangan rinai hujan membuatku larut dalam kedamaian.

"Pabrik memproduksi jas hujan menggunakan bahan plastik."

Perhatianku segera teralihkan pada kata "hujan" yang diucapkan guru.

"Dari sifat mudah digunakan, kedap air, lentur, dan tembus pandang, sifat yang mendukung plastik sebagai bahan jas hujan adalah?"

Tembus pandang.

"Kedap air, Bu!" jawab semua siswa di kelas, kecuali aku.

Bercanda, ha ha. Aku menertawakan diriku sendiri.  Bahkan kalau aku ikut melantangkan jawaban yang benar, tidak akan ada yang bisa mendengar suaraku.

Guru kembali menjelaskan zat-zat yang ada dalam plastik, barang yang dibuat dengan itu, sedangkan aku kembali menikmati pemandangan hujan, memisahkan diri dari kehidupan mereka. Pegal duduk tegak terus, aku menopang dagu. Tidak lama, aku benar-benar bosan.

Kuputuskan untuk keluar dari kelas, berdiri di koridor, dan duduk di atas tembok pendek yang membatasi area koridor dengan tanah. Karena membelakangi hujan, punggungku mulai basah karena percikan hujan yang dibawa angin.

Aku bernapas lega. Kemudian memejamkan mata.  Suara hujan jadi lebih jelas, menutupi suara manusia lainnya. Selama mimpi buruk tidak menghantui, aku suka hujan.

Daripada musim panas yang tidak dapat kuraih atau musim bunga bermekaran yang tidak dapat kumengerti bagaimana dapat tumbuh seindah itu untuk gugur entah karena waktu atau dipotong manusia, hujan yang bisa kusentuh lebih menghiburku.

Pernah, sekali, aku begitu membenci hujan.  Ketika genangan hujan berwarna merah menghiasi aspal. Tragedi yang disebabkan olehku yang masih seorang anak SMP kelas VII,  di kota yang sama dengan nenekku.

Mungkin sejak itu, bakat anehku semakin sering menyusahkan.  Lambat laun, aku benar-benar tidak disadari siapa pun.

Aku tertawa sinis. Dua tahun di SMP kuhabiskan dengan menjadi hantu yang mencari perhatian. Melempar barang, membuka pintu, menulis sesuatu di papan tulis saat guru sedang mengadakan kuis, menggeser kursiku dengan keras setiap aku berdiri, berteriak ... berharap siapa pun bisa tahu, mengakui aku ada di sana.

Ketika ujian nasional menggunakan komputer dan tempat duduk ditentukan presensi, barulah aku menyadari kalau untuk bisa duduk dan mengerjakan dengan tenang, tanpa resiko membuat orang lain panik atau komputer diotak-atik, aku perlu pengalihan. Saat aku mengerjakan soal, harus dalam keadaan tidak diperhatikan.

Karena hanya aku seorang yang disisihkan, benda mati, teknologi, justru memperkuat keberadaanku.

Itu kali pertama aku membuat kekacauan di luar ruangan, bukan untuk diakui, tapi mengusir perhatian dari ruang yang kutempati.

Berhasil.  Aku cocok jadi mata-mata, ha ha.

Dengan nilai yang tinggi, aku berhasil masuk ke SMA di luar kota, SMA Cita Utama. Prinsipku mulai dibentuk dari sana. Tapi sebenarnya aku tahu. 

Aku cuma kabur. Aku sedih. Aku ...

"Kenapa kamu menangis?"

Aku membuka kelopak mata, melotot ke wajah yang kukenal.  Sejak kapan dia di sini? Ini masih jam pelajaran!

Bersama dengan gelegar petir di langit, aku mendengarnya memanggil namaku dengan tatapan yang jauh dari ramah. "Alva."

Suaranya menggerogoti tubuhku. Aku terpaku pada tatapannya yang menusuk.

"Siapa ... aku tidak menangis!" bentakku, tidak sadar menaikkan suara. Dia terkejut sampai melangkah mundur. Lalu menyuruhku diam dengan hampir menempelkan jari telunjuk di bibirnya. 

"Jangan teriak, dong, kalau petirnya ke sini gimana? Kalau kamu disambar gimana?"

"Ya mati saja."

"Kalau begitu kamu mati konyol."

Apa, sih? Kenapa dia jadi sinis sekali? "Sudah selesai ramah tamahnya? Aku tidak mau bicara ke kamu!"

"Kalau begitu kamu mau ke mana?"

"Kelas ... terserah aku." Hampir saja kubocorkan kelasku yang mana. Tunggu, sekarang juga aneh. Bagaimana dia bisa tahu aku di sini, di saat jam pelajaran masih berlangsung? "Tidak disangka, anak bandel ya?"

"Yang bandel cuma kamu. Aku habis dari UKS."

Oh ... apa ekspresinya seram karena dia sedang sakit? Mungkin aku salah lihat juga. 

"Sakit apa?"

"Sakit terserah aku."

Aku menatapnya datar. Dia sedang mengajakku berdebat? Orang sakit di mana yang punya energi untuk itu?

"Harusnya cara jawabmu sepintar ini di depan Riel."

Alih-alih tersinggung, dia malah memiringkan kepalanya. "Jadi, kamu menangis karena ingat kejadian kemarin?"

"Bukan. Aku tidak menangis! Ini percikan hujan!"

"Kenapa hujan-hujanan?"

"Kenapa kamu harus tahu?"

Bola matanya membulat. Lalu melihat ke arah lain. Tapi dia tidak berkata apa-apa. Kukira akan membalas dengan menjengkelkan lagi.

"Sebaiknya kamu kembali. Hujannya tidak bersahabat," ucapnya penuh kekhawatiran. 

Padahal, dia yang sakit. Harusnya aku yang bilang begitu. Akan tetapi, aku sudah memutuskan untuk kembali menjaga prinsipku. Aku tidak bisa membantunya. 

Baru saja ingin menolak, dia kembali berbicara sambil tersenyum. "Atau kita bolos bareng, kamu jagain aku di UKS, di sana juga bisa lihat hujan tanpa hujan-hujanan."

"Kenapa aku? Shadelion saja." Dengan temanmu sendiri saja, jangan aku. Aku tidak mau melanggar prinsip dan membuat orang lain sial. 

"Cuma Alva yang bisa menemaniku."

"Hah?"

"Kalau ajak yang lain, mereka tidak akan membiarkanku tidur meski memintaku tidur. Aku ini asyik diajak mengobrol, kan?"

Meski pucat, senyum ramahnya berubah bangga terlihat jelas. Kalau sakit, simpan tenagamu saja. Daripada menggunakannya untuk tersenyum pada orang sepertiku.

"Kalau Alva berbeda."

Seketika aku merinding.  Perkataan itu bukan apa-apa, kalau hari ini tidak ada kejadian itu di kantin. Apa maksudnya? Berbeda dari aspek apa? Kehadiranku? Tindakanku? Jangan-jangan dia tahu bakat anehku?

"Kenapa?" Akhirnya aku bertanya. Aku tidak bisa menduga yang mana yang benar. Tidak mungkin yang ketiga, kan?

"Ekspresimu seperti menyuruhku tidak bicara padamu sedikit pun. Pasti aku bisa istirahat," jawabnya, lalu tertawa menyebalkan.

"Wah," aku tepuk tangan sekali, "aku tidak mau."

"Wajahmu serius sekali menolakku."

Aku mengalihkan pandangan. Sengaja, biar kamu pergi. Tadi mau kujawab seperti itu. Seorang gadis berambut lurus panjang berdiri di sebelah pintu yang terbuka, melihat ke sini. Aku sudah merasakannya sejak pertama kali melihatnya dari dekat. Dia cantik sekali dan terlihat lugu. Di sini hanya ada kami berdua, siapa yang dia lihat?

Aku kembali duduk di atas tembok.  Lalu memperhatikannya lagi. Ternyata ke arah Alphaeus.

"Alphaeus, jangan bicara padaku dan kembalilah ke ruang kelas XII MIPA 3." Ternyata jarak kelas kami tidak sejauh yang kukira. Karena ulah Riel sebenarnya kupikir mereka kelas IPS, masih di lantai 2 tapi setidaknya lebih jauh.

"Alva, aku belum tahu jawabanmu."

"Apa?"

"Bolos."

"Padahal tadi bilang cuma aku yang bandel."

"Baiklah."

Dia melangkah mundur, lalu mengepalkan tangan di depan mulut, dan terbatuk-batuk keras. Aku merasa deja vu. Setelah itu, dia berjalan mendekati Shadelion. Aku tidak bisa dengar dengan baik dia berbicara apa. Tapi pandangannya yang penuh kekhawatiran, tangan yang menyentuh dahi Alphaeus, gerak-geriknya menyampaikan segalanya.

"Harusnya aku tanya dia sakit apa," gumamku.

Tapi batuk tadi ... pura-pura. Aku yakin itu.

°°°

Hujan deras dan berangin, mungkin mirip badai. Langit juga ditutupi awan abu-abu yang gelap dan tebal. Dua jam sejak mata pelajaran kimia selesai jadi jam kosong, karena guru mata pelajaran yang selanjutnya  tidak datang. 

Aku duduk bersembunyi di bawah meja. Jaga-jaga kalau ada yang sedang foto-foto lalu aku tidak sengaja masuk lalu keadaan ini semakin sempurna untuk menjadi film horor. Untungnya tidak sempit.

Setelah merasa aman, aku mengirim pesan pada Bunda.

-Unworthy-
Bunda, bisa cek HP?

Mother The Only Sea
Bisa, ini balas juga, xixi

-Unworthy-
Bunda, nanti Alva pulang terlambat.

Mother The Only Sea
Jangan lupa jaga kesehatan
Jangan kehujanan, jangan hujan-hujanan walaupun Alva suka hujan ^-^

Aku merasa disindir dua kali. Alphaeus sedang istirahat di kelas atau UKS, ya?

-Unworthy-
Baik, Bunda.

Kumatikan handphone-ku lantas kutaruh di laci. Setelah berhasil meraba laci dan meletakkannya dengan aman, aku merangkak mendekati pintu masuk. Saat sampai dan memastikan tidak ada kamera ke arah sini, barulah aku berdiri.

Aku menepuk-nepuk rok. Ada bagian yang basah. Mungkin ada lantai yang terkena percikan hujan. Punggungku juga basah jadi aku tidak sadar bagian mana lantai yang basah. Semoga tidak ada yang tergelincir, kalau masih tersisa licinnya.

Aku harus ke kamar mandi. Seingatku tadi di kamar mandi ada pengering tangan. Sebelum pulang, aku harus pastikan pakaianku kering. Jadi terlihat aku tidak pernah hujan-hujanan. 

"Kamu mau ke mana?"

Aku menoleh.  Ternyata aku hampir menabrak---atau ditabrak dari belakang, entah siapa dulu yang bergerak di antara kami---Shadelion. Dia juga berhenti tepat sebelum kami bertabrakan.

Lagi-lagi bertemu mereka berdua dalam kondisi seperti ini. Aku pergi saja.

Dari belakang, kudengar Shadelion menjawab sini, hal yang menahanku untuk pergi.

"Alphaeus sakit, sekarang hujan, aku mau ke kantin buat beli teh hangat. Riel, apa aku harus jelasin seperti mengurutkan huruf A kr Z buat kamu paham?"

"Tidak usah begitu, dia bakal sembuh kalau nanti bangun."

"Bangun dari tidur di kursi yang ditata agar badannya bisa telentang? Idemu buruk. Kenapa kamu tidak menurutiku buat bantu antar dia ke UKS?"

Aku mengepalkan tangan. Mungkin ini cuma terbawa suasana, Shadelion terdengar kesal, Riel terkesan memancing kemarahan siapa pun.

"Salahnya sendiri. Tadi saat ke UKS cuma ambil obat. Cowok lemah begitu harus tahu kapan sok kuat dan kapan menyerah."

Aku tidak tertarik mendengarkan ini lebih lama lagi. Aku balik badan, melewati Shadelion.

"Sudahlah! Jangan ganggu aku! Riel menyebalkan!"

Ternyata meski jahat ke Alphaeus, dia begitu peduli ke Shadelion, hingga memutuskan untuk mengikuti gadis itu.




2/7/2023
1506 kata

Wattpad :) udah 1200 an ngetiknya langsung eror :) Mau lebih tapi gakuat keyboard bolak-balik hilang dan kursor bolak-balik berhenti 😭

Terima kasih untuk pembaca chapter ini. Maaf gantungnya ga enak.

Sampai ketemu di next chapter
Salam semanis lolipop
Yemimaliez




















Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro