12. Tawaran (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng





Riel lelaki dengan kata-kata menyakitkan dan Shadelion gadis yang selalu baik pada Alphaeus. Mereka selalu berjalan seperti kereta api, dengan Riel selalu mengikutinya. 

Ah tidak, ada satu pengecualian. Hari pertama aku pindah ke sini, dia hampir memukul Shadelion. 

Aku menekan bibir, tidak suka dengan apa yang kulihat tadi. Aku mengalihkan pandangan, mengamati isi kelas mereka yang juga sedang jam kosong. 

Jantungku berdegup tak tenang saat berhadapan dengan Alphaeus langsung, dia sedang tidur di atas barisan meja yang didekatkan dengan dinding sebelah pintu masuk. 

Ekspresinya tidak baik, kelihatan sedang susah payah menahan sakit. Berbeda dari beberapa saat lalu saat kami berbincang di dekat hujan. Keduanya matanya terpejam erat, kerutan dahinya terlihat jelas, dan bibirnya–

"Kamu di sini?" tanyanya, sambil tersenyum, dengan wajah pucat seperti mau mati itu. 

Sebenarnya, sejak sadar bibirnya tersenyum, aku tidak kaget kalau dia belum tidur. Tapi untuk jaga-jaga, aku berdiri di belakang kepalanya, mengulurkan tangan, menutupi kedua matanya dengan tanganku. 

"Basah, hujan-hujanan lagi, yah?"

"Astaga, maaf." 

Sekarang aku bingung bagaimana mengeringkan tanganku. Astaga ini bukan saatnya begini. Aku kan harus mencegahnya menarik perhatian agar kejadian di kantin tidak terulang kembali. 

Dia jadi seperti juga karena menemaniku di lorong padahal saat itu hujannya mengarah ke mana-mana meski sedikit. Aku merasa tidak enak kalau meninggalkannya saat dia berusaha tidur dengan posisi tidak enak itu tanpa ada yang memperhatikan. 

"Jaketku kering, dari tadi kupakai buat bantal, pasti hangat. Mau pakai, nggak?"

Sekadar memindahkan jaket saja akan membuat anak-anak lain berpikir di kelas ini ada hantu. 

"Tapi aku tidak bisa menggerakkan tubuhku, jadi ambil sendiri ya. Maaf."

Aku tidak bisa tidak membelalak. Tanganku lembab sekali tadi, jadi aku tidak tahu. Setelah mengibaskan cepat, lalu menyentuh dahinya, aku merasa seperti disengat. 

"Panas sekali," gumamku, tak sengaja. Sepertinya dia dengar. 

"Langsung kering tangannya?"

Aku ingin mengomel untuk tidak bercanda, tapi aku tidak yakin, apa aku boleh melakukannya? Apa bercanda membuatnya lebih baik? Tubuhnya panas, dia tidak bisa bergerak, dan di sini, tidak seorang pun menjaganya. 

Apa bisa berkurang kalau dia menyuarakan sesuatu apa pun itu? 

"Gimana perasaanmu?" 

"Perasaan? Bukan keadaan?"

"Aku tidak bisa menyembuhkan tubuh, tapi aku bisa menjadi pendengar yang diam." 

Kali ini saja, kubiarkan, kalau pun ada orang lain yang sadar, aku akan mengalihkan perhatian dengan cara lain. 

Kalau melakukan sesuatu dari belakang, tanpa seorang pun tahu, aku selalu bisa. 

"Hemm … penasaran, sih."

Bukan sakit atau kesepian? 

"Ah, aku tidak enak bilangnya."

"Apa, sih, yang mau kamu bilang?" 

Meski santai menjawab, aku juga berkali-kali melirik ke anak-anak lainnya. Mereka tidak dengar, sepertinya, entah karena hujan atau suara mereka yang mengobrol, bisa juga karena fokus pada handphone, jadi tidak sadar pada sekitar. 

Tidak ada yang aneh, kecuali fakta mereka tahu Alphaeus sakit tapi membiarkannya seperti ini. 

"Tanya tidak, ya?"

Aku berfokus lagi ke ekspresi Alphaeus. Ternyata cara ini benar, ekspresinya lebih baik daripada tadi. 

Baru saja mau menanyakan keadaannya lagi, aku kehabisan kata-kata dengan ucapannya. 

"Tadi 'kan kamu membolos, sekarang kamu menyusup?"

Ha? Aku melepas tanganku dari dahinya. Aku membolos tapi aku akan belajar lagi di rumah. Kalau belajar dengan pikiran mau hadir pun tidak bisa disadari ada di sini siapa yang bisa mengolah ilmunya di kepala? Kalau menyusup itu karena aku …. 

Ah, ini kesalahan.  

Karena aku khawatir, aku tidak berpikir.

Aku mengembuskan napas pelan-pelan, menenangkan diri. Padahal, hari ini juga aku berpikir untuk mempertahankan cara lama. Tapi, dengan alasan apa aku tiba-tiba di sini, di sampingnya lagi? 

Aku jadi aneh. 

"Setelah ini tidak lagi." Benar, ini terpaksa. Aku akan kembali menjaga jarak aman, kok. 

"Ini sulit." Dia bergumam sendiri, tangannya yang ada di atas jantung gemetaran. 

"Ja–jantungmu sakit?" Apa ini sebenarnya penyakit yang gawat? Apa aku harus menelpon rumah sakit? 

Ada jeda yang aneh. Tapi jawabannya lebih aneh. "Kamu, sih."

Aku mengedipkan mata. Salahku apa? 

"Bercanda, he he. Tidak sakit lagi." 

"Benar hanya bercanda?" tanyaku menekankan kata terakhir supaya dia tahu aku serius, tapi dia malah diam. "Hari ini, kamu aneh." 

"Bukankah seru memiliki teman yang aneh?" 

Bagiku, itu benar. Kalau terus begini, rasanya hidup jadi lebih ringan. Karena dia aneh, aku merasa punya teman betulan, bisa melihatku, mendengarku, berbicara padaku.

Semua itu bagaikan keajaiban setelah beberapa tahun aku hidup sebagai manusia di luar kehidupan manusia. Karena dia seperti ini, aku merasa ternyata aku pun punya kesempatan hidup biasa. 

Tapi aku tidak akan mengakui di depannya. 

"Aneh yang kumaksud sepertinya berbeda denganmu," balasku dengan nada tak senang, "menjadi aneh demi orang lain … jangan lakukan itu." 

Ketika sudah terlanjur dianggap aneh karena melakukan hal yang tidak orang lain lakukan, bahkan kalau kamu menyesal, menderita, dan tidak bahagia, mungkin sudah terlambat untuk mengubah pandangan orang lain.  

Aku memperhatikannya yang masih mengepalkan tangan di atas dadanya. Genggamannya semakin kuat. 

"Aku punya janji ke diri sendiri."

Sebagian dari diriku tidak ingin mendengarkannya lebih lama lagi dan menasehati untuk istirahat dengan benar. Aku tidak tahu dia sakit apa, tapi aku pikir setelah Shadelion ke sini, dia pasti akan melakukan sesuatu agar lelaki yang berakting seolah tidak apa-apa ini ke UKS. Ah, bahkan mungkin dia keluar tadi dia sudah melakukannya.  

"Apa itu?" Tapi lagi-lagi aku menanggapi perkataannya. Melihat dia sudah susah payah berbicara, aku tidak tega. 

"Membuat kesedihan tidak ada, terutama kamu." 

"Tidak bisa." Sesaat setelah mengatakan itu, aku menyesal. Ini seperti aku menjatuhkan harapannya, seperti bakat anehku menghancurkan kehidupanku. "Maaf."

"Tidak mau?" 

Aku tidak tahu. Apa yang ditanyakan dia, firasatku mengatakan itu bukan pertanyaan sederhana. 

"Alphaeus, sebenarnya kamu–" 

Suara pintu yang diketuk keras membuatku lupa ingin mengatakan apa. Riel masuk, hanya beberapa langkah, lalu berhenti. Sepertinya, dia ingin menarik perhatian semua orang. 

"Bu Kataya mau ke sini." 

"Kok, kamu panggil, sih, Riel."

Ternyata di sekolah mana pun, ada anak-anak yang suka jam pelajaran dibiarkan kosong. 

"Kalau mau protes ke Shadelion." Dia mengumpat sesaat. "Lagi pula jam pelajaran mau habis." Dia menoleh ke arah Alphaeus. Wajahnya yang semula terlihat kesal, berubah drastis.  

"Alphaeus, aku sudah bawa obat. Eh?"

Aku menoleh cepat ke ambang pintu. Shadelion juga membeku seperti lelaki kaktus itu. Kenapa–

"Alphaeus di mana?"

Bakat anehku!

Sejak kapan?

Mataku panas dan kakiku lemas. Aku ingin berteriak, tetapi untuk bernapas dengan benar mendadak sangat berat, belum lagi jantungku yang berdebar cepat karena panik. Kepalaku berdenyut. Aku tidak tahu harus apa di situasi ini.

Tidak, apa aku bisa melakukan sesuatu? 

"Di sini." Alphaeus menjawab sambil berusaha terbangun. "Makanya kalau hujan, lampunya jangan dimatikan."

Alphaeus tidak merasa aneh di situasi ini? Apa dia hanya terlalu santai? 

"Oh, ah, iya." 

Aku melirik Shadelion yang masih berdiri di ambang pintu. Bahkan senyum canggungnya manis. 

Jadi, sungguh hanya karena gelap?

Benarkah? 

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kelas. Riel kembali ke wajah garangnya dan anak lainnya yang tidak kukenal juga tidak menunjukkan reaksi seolah ada yang salah. 

Tanganku gemetaran. Walaupun, keadaan terlihat baik-baik saja, aku takut sekali. 

"Uh." 

"Alpha!" 

Bersamaan dengan Shadelion berteriak, aku menangkap punggung Alphaeus yang hampir terjatuh ke samping. Pasti dari mata mereka, Alphaeus terlihat masih kuat mencegah dirinya jatuh. 

"Jangan dijawab. Kamu tidak apa? Kuat?" 

Pelan-pelan aku menahan bagian pundaknya. Aku lengah dia yang tidak bisa bergerak memaksa untuk bangun sudah pasti tidak akan baik-baik saja. 

"Bu Kataya mau ke sini ya?"

Dia menurut untuk tidak menjawabku. Ini sudah diperhitungkan, jadi tidak melukaiku, beda dengan kejadian di kelas saat aku berharap ada yang mendengarku.

"Iya, harusnya sebentar lagi. Kamu tiduran lagi saja, kata beliau nanti ada Pak Wave yang bantuin kamu ke UKS." 

Seperti yang diduga dari orang yang peduli dengan Alphaeus. 

"Ini aku bawa obat dan teh hangat." Dia mengangkat obat penurun panas dan sebotol teh hangat. "Oh, botolnya pinjam dari kantin."

"Letakkan saja di depanku." Alphaeus mengubah posisi duduknya menjadi duduk bersila. Dari pundaknya yang kaku seperti kaget, mungkin dia menahan sakit lagi. 

"Hei, aku pergi saja," bisikku. Kalau Shadelion di sini, aku sudah tidak diperlukan lagi. 

"Aku tinggal menunggu Bu Kataya, 'kan?" tanyanya pada Shadelion yang baru saja meletakkan obat dan teh itu di sana. 

Tapi terdengar seperti Alphaeus mengatakan "Tunggu Bu Kataya di sini dulu baru pergi" padaku.

"Iya, tadinya aku mau bujuk Riel."

"Terima kasih ya, Sha." Tanpa melihat pun aku tahu, Alphaeus pasti tersenyum. 

Shadelion duduk kursi terdekat. Sementara itu, aku masih dalam posisi menahan pundak Alphaeus. Setelah sadar apa yang kulakukan, ini terasa canggung dan memalukan. 

Setelah itu, mereka mengobrol sebentar sampai Bu Kataya—aku belum tahu beliau mengajar apa—dan Pak Wave sampai di kelas. Aku melepaskan Alphaeus yang dirangkul Pak Wave. Dia keras kepala sekali, padahal tubuhnya sakit tapi tidak mau digendong. 

Begitu mereka keluar kelas—Alphaeus dan Pak Wave—aku mengikuti mereka, lebih tepatnya karena arahnya juga ke kamar mandi siswi yang terdekat. Jam pelajaran terakhir hampir berakhir, seragamku masih sedikit basah, jadi sekalian saja. 

Melihat punggung Alphaeus yang berjalan di depanku sambil dirangkul, membuatku teringat tiba-tiba kalau ada yang hampir kutanyakan. 

Akan tetapi, pertanyaan itu tidak akan kutanyakan. Aku bahkan tidak akan membiarkan aku atau dia mendekati satu sama lain. 

Aku mengepalkan tangan. Dia pandai bersikap santai, tapi kejadian tadi tidak mungkin hanya karena kelas itu tidak menyalakan lampu. Posisinya masih dekat dengan pintu yang terbuka, setidaknya di tempatnya berbaring cahaya yang masuk dari luar lebih banyak meski tidak seterang itu. 

Ah, ini dia kamar mandi yang kucari. Aku berhenti, tidak langsung masuk melainkan menatap Alphaeus yang semakin menjauh. 

Aku bodoh sesaat. Hal yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahanku hanyalah menjauh darimu. 

Kalau tidak dekat denganku, kamu akan baik-baik saja. Jadi, cepatlah sembuh, Alphaeus.

15/7/2023
1556 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro