2. Kehangatan Akan Datang, Semangat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selain bermimpi buruk kejadian yang sama, pagi ini sedikit berbeda dari biasanya. Di belakang pintu kamarku, kardus hitam tergeletak dalam keadaan penutup yang renggang. Aku meraba kasur, mencari handphone. Setelah dapat, aku langsung menyalakannya. Ternyata baru pukul 05.01 pagi. Aku menelengkan kepala. Paket itu diantar ekspedisi apa, sampai di rumah ini bahkan sebelum jam 6 pagi?

Aku menguap, mematikan beberapa alarm yang sudah kuatur akan berbunyi setiap 5 menit hingga jam 6 meski sekarang masih liburan naik kelas. Setelah itu, memandang ke jendela di samping ranjang. Kuulurkan tanganku, menggeser sedikit gorden biru. Jaga-jaga kalau ada orang lain sedang melewati halaman rumahku. Tidak ada mobil putih. Aku melirik ke langit. Walaupun langit di atas rumah-rumah daerah ini masih gelap, aku bisa melihat warna ungu muda bercampur biru muda jauh di sana.

"Wah." Untuk beberapa detik, perhatianku terkunci. Rasanya ada yang membelah langit, tapi di saat yang bersamaan, seolah langit mengatakan, "kehangatan akan datang, semangat." Aku menunduk. Tentu saja itu hanya imajinasiku. Akan tetapi, pemandangan itu indah, hingga aku hampir menangis. 

Kenapa orang sepertiku masih bisa mendapatkan hal semewah seperti itu ketika bangun tidur?Aku menggeleng cepat. Anggap saja ini bukan tentang hak, tapi hal yang harus disyukuri. Napas, indera penglihatan, dan alam. Banyak yang bisa menjadi alasanku untuk hidup bahagia.

Karena itu, jangan kalah dari mimpi buruk, Alva. Jangan mau mati. 

Omong-omong, aku lupa mau periksa isi paket tadi. Hmm ....  Isinya beberapa set seragam baru, buku paket pelajaran kelas 12, dan kartu identitas siswa. Oh, ada secarik kertas berisi beberapa pasang username dan password. Isi paketnya banyak sekali, seperti kado Natal. Lalu, ada kunci juga. Apa fungsinya? Tidak ada semacam kotak rahasia di sini. 

Aku bersandar ke pintu, lalu mengambil seragam yang masih terbungkus rapi dalam plastik, menatanya seperti berbaris di atas lantai.  Ada beberapa set, seragam putih-biru, seragam kotak-kotak biru muda, batik ungu, kaos dan celana olahraga abu-abu. Dua pasang dasi dan sebuah sabuk dengan logo sekolah baruku. Huh? Kenapa itu tidak ada?

Kuangkat kardus yang sudah kosong itu, lantas membolak balik sisi kardus. Di sisi belakang---setidaknya dari posisi awalnya---ada kertas menempel di kardus. Ditulis kalau pengirimnya SMA Mega Kejora. Dalam 3 hari ke depan, aku akan jadi siswa kelas 12 di sana. Makanya, aku benar-benar bingung sekarang. Apa mungkin itu ketinggalan?

Tanpa sengaja, aku melihat ke cermin besar yang tertempel di pintu lemari pakaian. Wujudku yang terpantul di sana benar-benar jelek. Rambutku kusut, poniku malah mencuat alih-alih menutupi dahiku, dan kulitku ... ah sudahlah aku harus mandi. 

Satu-satu kutata lagi ke dalam kardus. Bunda baru akan pulang nanti jam 3 sore. Mungkin hal yang kucari disimpan Bunda. Saat akan memasukkan set seragam putih-biru, aku menyadari kalau lengannya pendek. Roknya juga sampai di bawah lutut saja. Aku mengerjapkan mata. Apa kerahnya juga akan berbeda? Hanya dengan melihatnya di dalam plastik, aku tidak bisa yakin. 

"Aku harus coba pakai dan foto juga."

°°°

Jam 3 sore lebih sedikit, aku mendengar suara mobil yang kukenal. Baru saja akan mengintip, ada suara tetangga menyapa Bunda. Aku mengurungkan niatku. Setidaknya, aku tahu kalau Bunda pulang. Akhirnya aku duduk di kursi dekat jendela yang bersebelahan dengan pintu masuk, mengintip berkali-kali. Kapan Bunda ke sini?

Tidak lama sejak aku duduk, terdengar suara gagang pintu ditarik. "Bunda," sapaku dari dalam kamar. 

"Alva? Wah, ada angin apa menyapa duluan. Suka sekali ya isi paketnya?"

"Oh, ah iya." Bukan itu yang kurasakan, sepertinya. 

"Kalau Bunda tahu itu sampai membuat Alva sesenang ini, Bunda akan memberikannya empat hari lalu."

Aku terdiam sejenak. Kalau begitu, paket itu sudah sampai seminggu setelah aku mendaftar, 'kan? Lalu selama empat hari, Bunda menjaga barangnya. Aku menunduk. Apakah aku ... terlihat tidak bisa menjaga barang?

"Bunda tadinya berpikir, liburan ini waktunya Alva bersenang-senang. Tidak memikirkan sekolah dulu. Sejak Bunda pulang dari sekolah lama kamu, kamu terlihat menghindari topik sekolah."

Sekarang, aku jadi sangat sedih tapi juga nyaman karena sesuatu yang hangat seolah memelukku di saat yang bersamaan. Hari itu aku kacau. Bunda bercerita soal bertemu teman-temanku, tapi aku tidak merespons apa pun karena sedang mengutuki pilihanku untuk mencoba hal yang tidak seharusnya kulakukan.

"Tapi ada hal yang penting, jadi Bunda berikan paketnya hari ini."

"Eh, kenapa?"

Bunda mengetuk pintu sekali, lalu mengetuk lagi dua kali. Itu tanda kalau Bunda akan memberikan sesuatu. Aku berdiri, menarik pelan gagang pintu sembari berjalan mundur. Tetap menjaga jarak meski merasa cara ini menyedihkan. 

"Oh Alva!"

Aku terkejut dengan seruan riang Bunda sampai refleks mendongak, menatap matanya. Melihatnya tersenyum sangat lebar dan menatapku dengan penuh kasih sayang ... membuatku merasa canggung. Aku menyembunyikan kedua tangan di balik punggung.

"Alva, anakku, cantik sekali pakai seragam sekolah! Alva sudah seperti artis luar negeri! Bunda jadi mau peluk!"

Aku menahan diri untuk tidak memeluk Bunda, kalau Bunda datang memeluk aku tidak tahu bagaimana menolaknya. Tapi itu tidak boleh. Aku mengernyit. Kalau kejadian di mimpi burukku terulang, bagaimana?

"Bunda mau foto Alva yang banyak! Besok Bunda boleh ikut Alva ke sekolah, ya! Bunda mau koleksi foto Alva, pasti makin cantik kalau latar belakangnya SMA Mega Kejora."

Bunda ... sudah seperti fans. TIdak, tunggu dulu jangan salah fokus. "Besok? Aku masih libur, kan?" Sekarang, aku baru ingat, Bunda kan ingin memberikan sesuatu. "Surat."

"Benar juga." Bunda menyerahkan sebuah surat. Setelah aku menerimanya, Bunda berbalik, lalu menutup pintu. Sebelum benar-benar tertutup, Bunda berbisik. "Alva cantik, seragamnya ditata lagi, ya. Besok pakai kemeja bebas saja untuk pengenalan sekolahnya."

Cantik, hanya dengan kata itu, jantungku berdebar sama seperti ketika melihat langit di pagi hari. 

°°°

Bunda bilang akan ambil cuti lagi besok. Seingatku, dalam satu bulan, hanya boleh cuti 2 kali. Aku membuat Bunda tidak bisa mengambil cuti demi dirinya sendiri. Itu adalah kecemasan kedua yang mengusir rasa kantukku malam ini. Mendadak semua posisi tidur rasanya bikin sakit. 

Aku bangun, duduk sambil memeluk lutut. Selanjutnya lututku menjadi bantal dahi. Aku frustasi, ini masalah serius. 

Bunda antusias untuk ikut, tapi aku sebenarnya tidak mau. Tidak mau datang, tapi aku harus mencari tahu tentang itu sebelum benar-benar masuk sekolah. Kalau Bunda ikut, kemungkinan besar kami akan naik mobil bersama, 'kan? Walau aku tidak duduk di depan, pasti Bunda mengajakku mengobrol. Walaupun tidak begitu, dengan naik mobil saja, aku sudah berinteraksi dengan mobil dengan menyentuhnya. 

Kalau ... kalau aku tidak sengaja lagi bagaimana? Apa ada cara untuk mencegah aku berangkat bersama atau tidak usah datang sekalian? Tidak bisa, Bunda akan bertanya alasanku tidak datang. Kalau aku meminta Bunda tidak datang, kesempatan cutinya terbuang sia-sia. Tidak boleh.

Aku mengangkat kepala. Jalan kaki setiap hari saja aku harus berhati-hati pada kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa terjadi hanya karena aku menyeberang atau berjalan di tepi jalan. Kenapa sulit untuk sekadar berangkat dan menemui seseorang?

"Kalau aku lahir sebagai manusia biasa, aku tidak akan secemas ini." 

Tangan kananku menyentuh leher. Selanjutnya jemariku meremasnya. Aku memejamkan mata. Tenang saja, kerah kemejaku akan menutupinya.

"Huk ... uhuk! Huh, sudah."  

Aku  ingin membuka mata. Akan tetapi, agak berat untuk benar-benar membuka mata, rasanya kantuk menghampiri. Ini cara tercepat untukku lemas. 

Benar, seperti itu saja. Kalau ada kesalahan sedikit saja yang membahayakan Bunda atau orang yang akan mengenalkan sekolah, aku akan menghapuskan napasku dari bawah langit dengan tanganku sendiri. 

Aku tidak akan membiarkan 'bakat' dalam diriku mewujudkan mimpi buruk di masa lalu. Aku tidak akan mengambil nyawa orang lain, lebih baik ... aku ....

Setelah beberapa kali mengerjap, aku tidak mengingat pikiran apa pun lagi dan hanya ingin istirahat.

°°°

"Kenapa anak kecil sepertimu ada di sini, Nak?"

Aku menoleh cepat ke samping. Wah! Ada yang mengajakku mengobrol. "Namaku Alva, Nek. Bukan, Nak." Walaupun aku tahu, kalau itu cara orang tua menyapa anak-anak yang jauh lebih muda. Bagaimana lagi, aku mau dipanggil dengan namaku. Kangen.

Nenek itu mengelus kepalaku. "Alva berbakat ya."

Bakat? Tidak, aku tidak ikut ekstrakurikuler apa pun. Aku tidak diundang atau pun diterima, aku tidak berbakat. 

Tiba-tiba saja, nenek itu terbaring di atas aspal. Berkat sorot cahaya lampu mobil, aku bisa melihat jelas tubuhnya yang berubah mengerikan. Aku takut dan merasa bersalah, tubuhku lemas hingga berlutut. Tanganku menyentuh aspal yang basah karena darah. Ini salahku! 

Suara alunan piano yang nyaring menarik kesadaranku. Aku mengembuskan napas panjang lalu diam tak bergerak beberapa lama. Setelah itu, mematikan alarm, duduk memeluk lutut lagi sampai bayangan mimpi itu menghilang. 

Aroma enak tercium di sela-sela lamunanku. Oh, Bunda juga sudah bangun, ya? Apa kemarin Bunda sudah belanja agar  bisa memasak pagi-pagi buta? 

Terdengar ketukan pintu sekali, lalu dietuk lagi dua kali. Aku tidak bisa melihat apa yang Bunda masak. Aku bahkan masih lemas untuk membukakan pintu. "Sebentar." Jaga-jaga saja, aku membungkus tubuhku dengan selimut, terutama leherku. "Bunda boleh masuk." 

Bunda membawa secangkir susu cokelat. "Diminum habis ya," ucapnya sambil tersenyum. 

Aku mengangguk. Bunda sudah membuatkan dan membawakannya. Aku harus bilang terima kasih. "Bunda."

"Iya, Alva? Bunda mendengarkan."

Terima kasih. Tidak bisa kuucapkan, rasanya mau menangis lagi. Tenanglah, Alva. Tidak ada masalah, semua akan baik-baik saja.

"Alva? Kamu sakit?" 

Aku terdiam. Apakah ini kesempatan? Aku membelalak ketika Bunda mengulurkan tangan, mungkin ingin mengecek suhu tubuh. "Aha-ha, hanya masih mengantuk." Aku mengambil cangkir itu dan meneguknya hingga habis. "Manis, aku suka." Aku berusaha tersenyum sedikit. 

"Bagus, Bunda bawa lagi ya gelasnya," katanya sambil mengambil lagi cangkir itu.

 "Aku mau minta hal lain, kalau Bunda tidak keberatan."

Sorot mata Bunda terlihat bingung. Beliau tidak menjawab ya atau tidak, hanya diam dan menunggu. Aku menatapnya cukup lama, lalu mengatakan permintaanku, sambil berusaha tertawa.

"Alva mau main itu."

"Main apa?"


6 Juni 2023

1508 kata

Duh, kebiasaan kejar poin, malah belum sampai sekolah baru. Abis ini tulis lagi, deh. Pengen cepat.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro