1. Si Mata-mata

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak pernah menunggu hari di mana aku keluar dari sekolah yang tidak bisa melihatku. Sebaliknya, akan lebih baik kalau begitu. Aku  tidak akan sedih berpisah dengan manusia. Hal seperti itu ... sudah terlambat.

Ah, tapi sepertinya Bunda memang menunggu-nunggu hari ini. Bunda bahkan mengajukan cuti yang tidak pernah ia lakukan.

"Alva mau ikut Bunda ke SMA Cita Utama untuk mengurus resign?"

Resign itu untuk orang yang kerja, Bun. Aku pura-pura batuk dan menjawab dengan lemas. "Sepertinya aku butuh istirahat."

Aku tidak mau melihat Bunda tahu keanehanku. Aku tidak mau naik mobil bersama Bunda. Aku tidak mau membahayakan Bunda.

Semoga batukku tidak terdengar canggung.

"Alva, jangan pura-pura sakit. Nanti kalau terwujud bagaimana?"

"Tentu saja jangan," jawabku sedikit kaku.

Aku juga tidak mau ke dokter dan membuat Bunda dikira gila!

Bunda tertawa. Mungkin tertawa karena memergoki kebohonganku dan aku menanggapi kata-katanya dengan serius.

Mendengarkan betapa riang tawanya membuatku bertanya-tanya pada diriku. Kenapa aku tidak tertawa juga? Apa pula yang harus ditertawakan?

Mungkin karena aku tahu, aku juga ikut ke sekolah itu. Diam-diam.

°°°

Banjir keringat dan napas sedikit tersengal sudah jadi kebiasaanku ketika baru tiba di gerbang sekolah. Biasanya kalau pagi jalanan di kota ini pun ramai, tapi siang ini lebih parah. Sampai-sampai aku lelah berpikir daripada lelah karena berjalan dari rumah ke sekolah. Jaraknya cuma 650 meter, sih.

"Yah, setidaknya tidak ada apa-apa selama perjalanan. Itu hal yang harus disyukuri setiap hari," ucapku pada diri sendiri, menepuk-nepuk pundak sebelah kiri.

Aku mengeluarkan handphone untuk melacak handphone Bunda. Semoga Bunda tidak melakukan hal yang sama, bisa gawat kalau nanti aku ketahuan. Dari sini, lurus sedikit, belok ke kiri. Kalau begitu, antara ruang BK atau ruang TU. Bagus, keduanya tertutup.

Aku berjalan cepat ke sana. Lagi pula tidak ada yang mau kulihat-lihat lagi. Lapangan luar yang luas, para murid laki-laki yang bermain basket, dan teman-teman mereka yang histeris entah dari mana, semua itu tidak menarik. Saat aku akan berbelok, aku berhenti beberapa detik.

Bunda duduk di kursi luar, dia sendirian.  Hampir saja aku datang dan membuatnya berbicara padaku. Bisa-bisa terlihat berbicara dengan angin kasat mata.

Tiga anak perempuan datang dari ujung lorong di kiri Bunda dan aku. Mereka berbincang .... Ah. Mereka anggota kelasku. 

"Permisi, anak-anak."

Kenapa Bunda menghentikan mereka? Jariku meremas pinggir dinding, meski takkan rusak. Mereka terlihat kaget, mungkin awalnya berusaha menghindar dengan tidak menyapa.

"Apa kalian tahu Alva Breezie? Dia anak kelas 11 juga. Bet kelas kalian sama."

Mereka tidak mungkin tahu dan Bunda akan mengira mereka dari kelas lain. Pasti seperti itu.

"Maaf Ibu, saya tidak tahu."

"Saya juga, Ibu."

Satunya lagi cuma menggeleng. Aku harusnya lega. Setidaknya raut wajah mereka menunjukkan kalau mereka bingung dan tidak enak dengan Bunda. Penting bagiku jika Bunda tidak melihat mereka benci atau perasaan negatif lainnya padaku. Jadi, Bunda tidak akan salah paham dan khawatir. Ayo, bubarlah kalian. Pergi dari Bunda. Jangan sampai ditanya-tanya lagi!

Perempuan yang cuma geleng-geleng tadi mengedarkan pandangan ke lapangan, ke lorong yang mereka lewati lagi. Dia terlihat bingung, tapi juga berusaha keras mencari sesuatu.

"Permisi, Ibu. Karena hari ini class meeting, mungkin dia tidak berangkat." Ia menoleh ke arahku, mungkin arah belakangku, lorong menuju lapangan luar. "Jadi, kami ...."

Kenapa dia berhenti tiba-tiba?

"Eh?"

Eh apa, sih?

"Wa-wajah yang sama."

Kenapa tiba-tiba bicara di luar topik? Aku mundur dan benar-benar bersembunyi di balik tembok. Barusan, gerak-gerik Bunda seperti akan menoleh ke sini. Hampir. Kenapa gagap begitu sambil lihat ke sini? Ah, untuk beberapa saat aku tidak berani mengintip.

"Wajah yang sama? Wajah siapa, Nak?" Itu suara Bunda. Tidak mungkin wajahku, kok Bun. Jangan terdengar berharap, tolong. Kan, aku sudah pura-pura batuk di rumah. Berarti aku tidak mau datang---meski datang diam-diam.

"Maaf, Ibu.  Sepertinya saya lihat. Namun, bolehkah kami izin pergi lebih dulu, Ibu? Teman-teman kami sudah menunggu di lapangan sana."

Dasar, tidak sopan. Walaupun aku juga mau mereka pergi, tapi kesan bicaranya kentara jelas kalau dia tegang. Seolah tidak mau di sini lebih lama berbicara dengan Bunda. Kalau aku terlihat, aku pasti akan mengatakan kalau tidak boleh begitu, khususnya pada Bundaku.

"Ibu minta maaf ya anak-anak." Tidak perlu minta maaf. Apa pula salah Bunda?

"Ibu sedang apa di sini?" Ini suara perempuan yang menjawab "maaf Ibu, saya tidak tahu" tadi, sepertinya.

Aku berkedip. Mungkin ini waktunya mengintip. Kebetulan aku juga penasaran. Aku kira bisa bersembunyi di ruang tertutup dan mendengar pertemuan Bunda dengan siapa pun itu. Akan tetapi, Bunda justru duduk di depan ruang TU.

Si perempuan yang gagap secara aneh tadi melihat ke arah belakangku lagi dengan ekspresi tegang. Yah, mungkin dia takut teman-temannya akan marah jika mereka terlambat. Seingatku, beberapa anggota kelasku memang galak kalau ada acara antar kelas seperti ini.

"Ibu sedang melihat-lihat keadaan sekolah Alva saja."

Bohong. Kalau melihat-lihat, Bunda akan berkeliling, bukan duduk di sini dan bertanya pada orang lain tentangku.

"Ibu akan lama di sini, tapi Ibu tidak apa-apa jika kalian ingin pergi lebih dulu. Semangat ya, Anak-anak!"

"Terima kasih, Ibu! Permisi." Mereka kompak menjawab, lalu melanjutkan perjalanan.  Aku refleks bersembunyi lagi sejak mereka pamit ke Bunda. Tidak apa-apa, aku bisa melakukan ini sepanjang hari. Yang penting, mereka akan pergi.

Suara langkah mereka mendekat. Kalau begitu, harusnya sudah agak jauh dari Bunda. Aku melipat tangan di depan dada dan bersandar santai di dinding. Tunggu sedikit lagi atau mungkin hingga mereka benar-benar keluar dari ujung lorong ini. Aku harus bisa menebak momen Bunda tidak melihat ke arah sini. Kemungkinannya semakin kecil kalau mereka semakin tidak terlihat. 

Mereka berbisik-bisik tentang betapa tegangnya mereka. Lalu mereka tertawa kecil karena sikap kaku mereka sendiri. Aku melihat ke tanaman di seberangku. Apa punya teman seperti itu ya? Mudah tertawa dan bersemangat setelah melewati ketegangan bersama-sama.

Suara langkah kaki mereka berkurang. Di antara tiga orang, hanya ada dua perempuan yang melewati tanaman yang kulihat tadi. Satunya--

"Tadi di sini, kan?"

Satunya tepat di samping kiriku. Aku refleks menghindari tangannya yang meraba udara dengan berjongkok. Dia mencari apa?

"Teman-teman, apa kalian tidak melihat seseorang di sini tadi?"

Seseorang? Aku? Bohong ya? Tapi apa ini? Jantungku berdebar keras sekali. Tubuhku kaku dan terasa dingin. Entah sejak kapan, aku menahan napasku. Aku berusaha mengendalikan gejala aneh ini dan mendongak. Perempuan yang gagap tadi masih berdiri sambil menjulurkan tangan. Bola matanya bergerak ke ke depan dan samping berkali-kali. Tidak terlihat berbohong. 

"Kamu kenapa sih, Lin?"

"Abisnya, waktu kita foto diam-diam kegiatan anak kelas saat awal masuk, ada satu orang yang baru kulihat.  Aku mencoba tidak berpikir aneh dan berhenti melakukan itu. Tapi hari ini wajah itu kelihatan lagi. Sekarang sudah tidak ada lagi."

Aku membelalak. Hanya bisa berpikir ke sana. Kenapa bisa begitu?

"Jangan-jangan hantu?"

Tiba-tiba aku malas mendongak.  Ya, ini karena malas saja.  Aku menunduk karena lelah mendongak dan melihat manusia lain. Setelah itu, mereka benar-benar pergi dengan sedikit buru-buru.

Aku mengeluarkan napas panjang. "Satu orang yang baru kulihat." Aku mencoba meniru caranya mengatakannya.  Seperti tertahan,  tapi juga buru-buru. "Sekarang sudah tidak ada lagi." Benar-benar, buat apa dia membuatku berharap kalau akhirnya sama saja?

Aku bangkit berdiri, lalu keluar dari jalur yang sama. Bunda masih lama, kan? Aku akan memperhatikan Lin lebih dulu.

Awalnya tidak pernah bisa melihatku. Setelah melihatku di kamera, dia mungkin membandingkan foto itu dengan kelas yang sebenarnya.  Tapi aku "tidak ada" di matanya.  Jadi, dia takut dan berhenti begitu saja. Aku bisa memahaminya. Aku tidak pernah membolos, jika dia mengulanginya, dia akan mendapatkan hasil yang sama. Aku bersyukur dia berhenti. Kalau tidak, dia akan stress atau terlihat aneh. Siapa yang akan berteman dengannya kalau seperti itu?

Di luar sekolah, kalau jalan sedikit dekat gerbang ada lapangan luar yang dibatasi jaring kawat. Aku cukup melihat semuanya dari sini. Baik lapangan di bawah atau murid lain yang berkumpul di sekitar pintu masuk lapangan, bisa kulihat.

Bagaimana denganmu, Lin?

Kalau kau tidak sengaja melihat ke arah sini saat pemain menggiring bola masuk ke keranjang di depanku, apa kau akan mendatangiku karena bisa melihatku, seperti tadi?

Baru dua kali bola basket dimasukkan ke keranjang, hujan deras turun. Permainan tidak terganggu, para pemain keras kepala dengan saling menyemangati kalau sedikit lagi selesai dan hujan ini hanya sebentar. Aku membuka telapak tanganku, menerima air hujan seperti orang bodoh yang mencari penyakit.

Bagaimana caraku membaca maksud hujan?

Beberapa anak perempuan berlarian ke arahku. Kuamati langkah mereka, ternyata mereka hanya ingin singgah di pos satpam.

"Mungkin saja hujannya bentar. Kita harus kompak dukung cowok kelas kita!"

"Wow," gumamku datar. Tidak hanya pemain, ternyata pendukungnya juga semangat.

"Lin! Cepat! Lari!"

Mendengar nama yang kutunggu-tunggu membuatku berdebar. Lin akan melewatiku. Kalau aku tidak bergerak, orang lain yang memperhatikan akan melihat kalau ada area sangat kecil yang aneh, mungkin jejak sepatuku saat ini akan terlihat dihindari air hujan.

Tentu saja kemungkinan itu terjadi sangat kecil. Saat hujan, yang pertama kali terpikirkan adalah mencari tempat  berteduh.

Alih-alih berlari, dia mengambil langkah lebar.  Dia sedang bermain atau apa? Orang-orang yang lebih dulu berteduh di pos satpam sampai marah-marah. Tapi dia hanya tersenyum, sambil terus menatap ke bawah.

Akhirnya, dia benar-benar akan melewatiku. Dia melihat ke arah kakiku. Tapi seolah-oleh tak melihatnya, dia kembali fokus untuk menghampiri teman-temannya. 

Aku mengepalkan tangan. Apa karena terkena hujan? Ada perasaan terjatuh dalam diriku. Aku berjongkok, masih mempertahankan jejak kakiku yang melindungi tanah hitam dari hujan. Karena dari sini ke lapangan itu menurun, ada sedikit tekanan dari arus air. Benar-benar sedikit. Akan tetapi, rasanya aku sangat tertekan dan mau menumpahkannya.

Tidak ada obrolan penting. Hanya ada suara orang mengeluh, tertawa, teriakan semangat para pemain, dan suara bola yang membentur papan dengan keras.

Setelah beberapa menit yang kurang kuketahui, hujan benar-benar berhenti. Para pendukung tim basket termasuk Lin bersorak kesenangan. Mereka kembali ke sana. Sementara aku kehilangan alasan untuk mempertahankan posisiku.

Kehilangan alasan untuk melakukan hal lain lagi. Menyadari bahwa aku tidak terlihat bahkan tanpa bersembunyi dan berusaha memberikan tanda konyol seperti tadi membuatku kehilangan tenaga untuk berpikir.

Harusnya aku tidak mencobanya.  Tidak mencoba apa pun dan tidak berharap apa pun. Jangan melanggar itu lagi. Bahkan jika tidak ada yang dirugikan, hal seperti itu bisa menyentuh lukaku.

Aku ... harus bisa tidak menangis. Harus kuat supaya Bunda tidak khawatir. Aku juga harus menjaga agar pikiranku tetap bekerja dengan baik, setidaknya untuk mencegah kemungkinan buruk yang bisa terjadi saat aku di jalan. 

Mustahil orang lain bisa melihatku. Lin mungkin hanya kebetulan. Lalu alam memberiku bukti sekali lagi agar aku sadar. Walaupun aku manusia, di mata manusia, aku tidak akan pernah terlihat.

Mungkin seperti hujan, semua akan senang kalau aku benar-benar menghilang, 'kan?

Handphone-ku berdering. Aku mengeluarkannya dari saku celana---karena memakai training, benda pipih kecil itu tidak terlalu basah. Ada nama Bunda di atas tengah layar. Bunda menelpon? Aku buru-buru mengelap jari dengan kaosku. Masih lembab, tapi tidak basah. Lalu mengusap layar dengan jari gemetar. 

"Halo, Bunda."

"Alva, Bunda akan sangat lama. Barusan hujan, di rumah hujan juga?"

Aku sedang tidak di rumah, sih. "Iya, Alva kehujanan. Uhuk-uhuk." Kalau aku bilang tidak kehujanan, Bunda akan heran kalau melihatku ganti baju.

"Aduh, apa Bunda pulang saja?"

"Bunda terdengar tidak bisa 'pulang saja'."

Bunda tertawa sebelum menjawab, "Iya. Sedang ada masalah karena Bunda lebih dulu mendaftarkan kamu daripada memutuskan hubunganmu dengan sekolah ini. Tapi kan Bunda pakai jalur orang dalam."

"Oh ... lalu Bunda disuruh menunggu di luar, ya?"

"Kok tahu? Alva pintar sekali!"

Aku makin berpura-pura batuk. Mungkin aku harus batuk sungguhan dengan minum es atau pulang dan tidur tanpa ganti baju.  Setelah menutup telepon, aku harus cepat pergi dari sini agar Bunda tidak curiga. Kenapa pula aku menebak seperti itu. Tahan saja semuanya di pikiranku!

"Setelah Bunda pulang, kita ke dokter ya? Alva bisa sakit sungguhan karena kehujanan."

Aku menengok ke kanan dan kiri. Tidak ada Bunda yang mungkin melihatku dari jauh. Bunda mengatakan itu karena aku mengaku kehujanan di rumah.  Aman.

"Daripada ke dokter, lebih baik kasih uang jajan ke Alva. Nanti Alva jajan tolak angin." Aku serius.  Aku kedinginan gara-gara nekat, bukan batuk. Jadi, jangan ajak aku ke dokter, Bunda.

Bunda tertawa lagi. Hari ini aku sudah membuat Bunda tertawa berkali-kali.  Entah apa yang membuatnya tertawa, tapi aku senang sampai membiarkan bibirku tersenyum dengan nyaman.

"Baiklah. Kalau begitu, tunggu Bunda."

"Hati-hati, Bunda."

Telepon terputus, tapi aku masih merasa berbunga-bunga. Baju basah, celana berat, tidak menjadi masalah.

Hal yang tidak bisa diubah pun, tidak perlu dipikirkan. Kalau tidak kelihatan terus kenapa? Toh, aku bisa berpisah dengan semuanya semauku. Aku hanya menahannya, karena Bundalah yang akan sadar kalau aku menghilang.

Mau pindah ke mana pun pasti sama saja. Aku tidak akan mencoba-coba lagi. Jadi, tidak ada luka dan Bunda bisa melihatku ceria sungguhan.

Mudah, 'kan.

4 Juni 2023
2116 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro