Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semakin dewasa, aku belajar kalau mengharapkan kekebalan terhadap kebohongan ternyata lebih mudah daripada perasaan.

"Alva, mau pindah sekolah, tidak?"

Pertanyaan semacam itu pun kebohongan yang kentara. Di saat Bunda menanyakan itu, Bunda pasti sudah mempersiapkan semuanya. Tidak mungkin jawaban "tidak mau" akan berakhir dengan keputusan "tidak akan".

"Alva itu pintar, sekolah mana pun pasti materinya sudah dikuasai Alva."

Aku menutup buku dan mengetuk pintu dua kali, kode yang kubuat bersama Bunda jika aku ingin berbicara. Mungkin hanya kami ibu dan anak yang mengobrol dengan cara seperti ini? Terpisah oleh pintu kamar, tapi masih bisa mendengarkan suara dari jendela yang terbuka sedikit. Walau aku jarang membuka gorden birunya.

Bunda sudah banyak menurutiku rupanya. Bunda diam ketika aku mau berbicara, mau mendengarkan dengan hati-hati agar tidak ada kejadian" tidak sengaja tak mendengar" suaraku lagi? Bahkan cara mengobrol yang aneh ini adalah ideku tapi Bunda menerimanya tanpa melanggarnya.

"Kenapa?" Apa suaraku terdengar? Aku sudah bersandar ke dinding di bawah jendela walau hasilnya pundakku yang kurang nyaman. "Bunda?"

"Bunda mau lihat Alva lulus. Itu saja."

Apa Bunda sudah tahu melihat itu akan sulit? Aku menahannya, karena Bunda terdengar ingin menangis.

"Alva tidak pernah tidak masuk," ucapku, sedikit merasa bersalah. Tidak, aku tidak boleh terlalu memikirkannya. Aku harus biasa saja.

"Bunda tahu."

Apalagi yang Bunda tahu?

"Alva selalu mengumpulkan tugas."

"Putri Bunda memang pintar, Bunda tahu."

Bunda tahu. "Bunda" tahu, ya, artinya ....

"Nantinya, Bunda akan tahu kalau aku lulus, kan? Apa itu cukup?" Walaupun orang di luar sana tidak akan tahu. Lalu kemungkinan, aku tidak akan menerima tanda kelulusan.

Bunda tidak menjawab dengan cepat dan tegas seperti tadi. Tentu saja. Kalau itu mudah, kenapa aku perlu pindah sekolah?

Aku mengembuskan napas panjang, mengedarkan pandangan ke sudut-sudut kamarku sambil menunggu Bunda menjawab. Lampu yang menyala meski matahari masih menghias cakrawala di luar sana, gorden biru jendela yang tertutup, ini keadaan kamarku di hari yang biasa, ruangan yang sepi dan sedang-sedang saja, kecuali keberadaan sekardus jajanan dan minuman botol yang banyak dan rasanya manis semua kalau dilihat dari jenis dan merk-merknya. Itu dari Bunda yang masih kubiarkan di belakang pintu, di atas lantai, begitu saja.

Setelah pulang dari pengambilan rapot, Bunda memberikan itu, lalu menanyakan pindah sekolah. "Alva pintar" katanya? Berarti bukan masalah nilai akademik.

"Bunda akan melakukan sesuatu ..." Tiba-tiba suara Bunda pelan. Apa Bunda hanya bergumam?

"Alva tenang saja, Bunda dan semuanya akan tahu saat Alva lulus." Canggung, tapi Bunda terdengar semangat sekali. "Jadi, mau 'kan, Alva?"

Mau atau tidak bukan masalah. Keinginanku itu tidak penting. Keinginan Bunda yang penting. Bukankah katanya Bunda tahu? Hanya Bunda yang tahu saat itu terjadi. Keinginan Bunda itu mustahil diraih, baik olehku atau Bunda.

"Ya, baiklah," jawabku. Itu saja cukup. Sebagai satu-satunya manusia yang bisa melihatku, aku akan mengikuti keinginan Bunda.

"Benar, ya!" Kali ini suara Bunda benar-benar riang. Tanpa menunggu benar atau tidak dariku, pintu terbuka, membuatku kaget. "Bunda sudah bawa formulir pendaftarannya, jadi Alva bisa isi di rumah."

Tenang. Tenanglah, Alva. Bunda masih di luar, bahagia, dan aku masih di sini bersamanya. Benda mati yang tiba-tiba muncul hanya beberapa lembar kertas.

"Biasanya yang seperti ini harus diisi di sekolah oleh murid barunya. Tapi Bunda sudah jelaskan, kok!"

Hah? Aku mengambil kertas-kertas itu dengan ragu. Pindah sekolah padahal sebentar lagi kelas 12 saja sudah aneh, apa yang Bunda lakukan sampai diperbolehkan membawa ini? Oh? Sebentar.

"Apa kepala sekolahnya ... teman Bunda?"

"Iya! Karena itu, Alva pasti diperhatikan dengan baik daripada sekolah sebelumnya."

Semakin menjelaskan, Bunda terdengar semakin garang. Ah ... aku jadi benar-benar merasa bersalah. Sepertinya dugaanku salah? Jawaban "Bunda tahu" tadi artinya bukan Bunda tahu hanya dia yang akan tahu, tapi Bunda mengira orang lain tidak mau tahu sehingga aku menderita? Kasihan juga mereka. Tapi aku hanya bisa minta maaf dalam hati.

Maafkan aku pihak sekolah yang sekarang jika kalian dinilai kurang memperhatikanku oleh Bunda.

Kenyataannya, mereka hanya tidak tahu. Tidak mungkin tahu. Bagaimana mungkin aku bisa diperhatikan di sekolah, tidak, di mana pun itu? Aku juga tidak bisa bilang ke Bunda tentang keadaanku.

Aku mulai mengisi formulir pendaftaran itu. Namaku Alva Breezie. Umurku 17 tahun.

Aku hanya transparan di mata manusia.

31 Mei 2023 | 670 kata | Prolog versi 3 :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro