4. Aku Terpaksa Berjalan Mundur-mundur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku merasa menjadi buronan laki-laki berjaket cornflower blue berhias ekspresi senyum di dada kanan dan murung di dada kiri.

Ini hanya perasaanku saja, tapi sejak aku memisahkan diri saat Bunda menemui staf yang bertugas mengenalkan sekolah, si orang yang hampir kami tabrak tadi seperti orang kebingungan yang mencari sesuatu. Dia mengelilingiku? Saat kami hampir bertabrakan lagi, aku selalu menghindar.

Seandainya dia tidak seperti ini, aku sudah berencana untuk menghabiskan waktu untuk berpikir ulang tentang masalah tadi dan bakat anehku, sekaligus mendengarkan pembicaraan Bunda dari telepon. Selain kejadian hampir menabrak Alphaeus, tidak ada yang berjalan sesuai ekspetasiku.

Aku tidak bisa tenang meski segalanya jadi sangat lancar.

Bunda, seperti biasa ahli dalam menanggapi anak-anak. Beliau berhasil berbasa-basi soal kebetulan tahu namanya itu. Setelah itu, dia ikut mobil kami untuk mengantar kami ke ruang tamu sekolah. Katanya, sekaligus dia mau ke UKS karena tangannya terkilir.

Aku langsung menyalahkan diri waktu mendengar itu. Hal yang paling menyesakkan adalah kejadian tadi terjadi di saat aku sedang senang melihat estetika gerbang sekolah. Kalau aku tetap waspada, dia tidak akan mendapatkan luka itu. Aku bahkan tidak tahu apa yang dipikirkan Bunda, saat melihat anaknya "diabaikan" oleh orang yang baru ditolongnya.

Benar, kalau waktu dia tidak aneh, aku pasti sudah fokus memikirkan harus bagaimana saat di rumah nanti.

Saat Bunda turun dari mobil, dia tidak langsung turun, tapi menoleh ke arah Bunda yang masih memegang pintu mobil dan ke arah kursi tengah, tempat dudukku.

Aku terlalu kaget sampai tidak bisa memberikan penjelasan ke Bunda lewat kode apa pun. Aku bahkan kehilangan fokus pada apa yang sempat kupikirkan.

Setelah dia keluar, Bunda berpura-pura ingin mengeluarkan handphone-nya, yang mana adalah milikku. Itu alasan agar bisa membuatku keluar dengan natural. Melihat Bunda mulai terbiasa bersikap seolah aku tidak ada cukup membuatku merasa kacau, di luar dugaanku.

Bagaimana kalau Bunda terlalu terbiasa lalu satu-satunya orang yang bisa melihatku, tidak menemukanku lagi?

Tidak ada angin atau hujan, Alphaeus berkata kalau Bunda orang yang baik. Tentu saja itu seratus persen benar. Akan tetapi, pemilihan waktu ia berkata seperti itu agak janggal. Lalu lagi-lagi, dia menatap Bunda di depanku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan dengan jelas.

Waktu kuperhatikan sambil bersembunyi di balik punggung Bunda, dia benar-benar anak tidak jelas. Aku tidak suka tatapannya yang tidak fokus pada mata Bunda. Jadi, sampai kami keluar dari area parkir dan tiba di ruang tamu, aku terus berjalan di tengah-tengah antara dia dan Bunda.

Tidak seperti aku yang biasanya menjaga jarak aman.

Dia tidak ikut masuk, tapi dia tidak pergi dari pintu masuk ruang tamu. Sepanjang obrolan Bunda dengan staf wanita yang kebingungan di mana murid barunya, aku terus memperhatikan ke arah pintu yang terbuka lebar. Masih terlihat sepatu olahraganya, sepertinya dia bersandar di pintu. Aneh, katanya mau ke UKS?

Setelah itu, perhatianku berpindah karena Bunda diberikan itu yang kucari-cari. Brosur seragam sehari-hari. Ternyata memang direncanakan untuk diberikan saat aku ke sini. Di hari Jumat, seharusnya menggunakan seragam pramuka, tapi aku belum mendapatkannya kemarin dan baru diberikan Bunda hari ini karena pesanannya baru jadi.

Melihat sepertinya mereka akan mulai tur sekolah, aku mengirim pesan pada Bunda untuk meneleponku, aku akan mendengarkan penjelasannya lewat earphone. Bunda tidak langsung membuka pesanku. Sebaliknya, pembicaraan mereka berdua jadi lebih lama.

Itu yang kurencanakan sejak awal. Aku tidak mengerti sampai sekarang, alasan aku merasa pedih jika mengingatnya.

Karena tidak nyaman dengan perasaan itu, aku segera memasang earphone di telingaku, kemudian keluar lebih dulu. Lalu hingga saat ini, di lapangan tengah, aku berjalan berputar-putar diikuti Alphaeus.

Aku sengaja memutari lapangan karena ingin memastikan Bunda berjalan ke arah mana, apalagi struktur sekolah ini kotak, dengan lapangan ini sebagai pusatnya, jadi lebih mudah. Suara yang kudengar dari earphone cukup kecil, kurasa itu wajar karena staf itu berbicara seperti mengobrol biasa.

Kukerutkan dahi saat lagi-lagi Alphaeus hampir menabrakku. Dengan mudah, aku menghindarinya.

Sebenarnya apa yang dicari Alphaeus di depanku ini? Aku terpaksa berjalan mundur-mundur untuk memperhatikannya juga.

Bola mata hitamnya tidak fokus ke arahku, wajar. Tapi arah berjalannya kenapa seperti mengarah padaku? Dia tidak berbicara apa pun. Aku jadi tidak tahu apa-apa dan sedikit kesal dengan tindakannya.

"Ini adalah lapangan utama."

Suara staf wanita tadi jadi lebih keras dan jernih? Aku berhenti, lalu menoleh ke belakang

"Dalam event tertentu ...." Beliau berhenti menjelaskan pada Bunda. Aku menengok ke Alphaeus. Rupanya dia juga berhenti berjalan tanpa arah.

"Oh ... selamat siang, Bu," sapanya terdengar ragu

"Selamat siang, Nak Alphaeus." Staf wanita itu menjawab dengan ramah dan senyuman tipis. "Alphaeus sedang bermain apa?"

Aku menantikan jawaban lelaki itu.

"Saya olahraga, Bu."

Mana mungkin?

"Halo, Alpha," sapa Bunda. Aku merasa terpanggil. Apa Bunda sengaja? Detik berikutnya aku tahu, beliau memang sengaja. "Ikut, yuk?"

Aku menggeleng pelan, tersenyum tipis. "Jangan khawatir, kami cuma main." Ini adalah kedua kalinya aku beralasan main hari ini.

Kulihat Bunda agak muram. Lalu tiba-tiba Alphaeusberlari mendekat ke mereka. Ia menerima ajakan Bunda dengan semangat danberhasil mengembalikan senyuman Bunda.


12 Juni 2023

779 kata

Idie harus kuubah kalau dah luang, ga ada mood pas nulis


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro