5. Bunda Juga Tidak Merasa Sedang Bermain

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam hari itu, Bunda ingin mengobrol denganku. Aku rasa aku tahu apa yang ingin ditanyakan Bunda. Kejadian kemarin terlalu kentara. Kenapa bisa aku lupa memikirkan agar Bunda tidak curiga bahwa anaknya aneh?

Jadi, apa sekarang aku akan dibenci? Mungkin, tidak sejauh itu, karena dia adalah Bundaku.

Aku menekan bibirku kuat-kuat. Nyatanya, itu bukan praduga, tapi harapanku.

Bolehkah mengharapkan sesuatu?

Bolehkah harapan itu dikabulkan?

Aku layak dibenci, bukan berarti aku ingin dibenci.

"Alva," panggil Bunda, dengan suara pelan yang lembut.

Aku mengetuk pintu sekali. "Cerita saja, Bunda."

"Apa Alva tahu Alphaeus?"

Hah? "Tiba-tiba Alphaeus?"

Kukira Bunda mau tanya kenapa laki-laki itu maupun staf sekolah bersikap seolah aku tidak ada. Aku sampai lupa mengetuk pintu.

"Apa mungkin ... Alva sudah punya pacar di belakang Bunda?"

Aku kehabisan kata-kata. Kesalahpahaman ini muncul dari apa? Lelaki itu mencurigakan, aneh, dan membuatku tidak nyaman! Pacar? Suka sebagai lawan jenis saja tidak, Bun.

Aku mengetuk pintu, hanya untuk bertanya, "Apa ekspresi Alva seperti jatuh cinta?"

Bunda terdiam cukup lama sebelum membalas sambil sedikit tertawa. "Sepertinya Alva hanya salah tingkah."

Aku mengetuk pintu sekali. Salah paham ini harus ditutup. "Bunda, bahkan kalau kami satu kelas, aku tidak mau berteman dengannya." Capek kalau harus dikejar dengan harapan semu bahwa dia bisa melihatku. Nyatanya, 'kan, tidak.

"Kalau dia suka?"

Suka? Pada orang yang menolong tapi bahkan tidak bisa dilihatnya?

"Kalau dia PDKT?"

Kenapa Bunda makin semangat suaranya?

Aku mengetuk pintu sekali. "Tidak akan ada musim bunga mekar di hati Alva."

Kudengar suara bertepuk tangan yang cukup keras. Aku menunggu beberapa saat, tapi Bunda tidak menanyakan apa-apa lagi. Sungguh? Itu saja? Giliran aku yang merasa janggal.

"Besok hari pertama Alva. Sebaiknya Alva tidur sekarang."

Pintu diketuk sekali, lalu dua kali berturut. Perasaanku campur aduk. Apa kejanggalan tadi pagi akan dibahas sekarang? Aku memejamkan mata. "Masuklah, Bunda."

Aku sudah mendengar pintu terbuka, tapi Bunda tidak kunjung berkata apa-apa. Padahal, biasanya saat memberikan sesuatu, ia akan berpesan entah apa, kecuali paket dari sekolah itu, sih.

"Alva sudah mengantuk?"

Aku membuka mata, menoleh ke Bunda. Beliau tidak membawa apa-apa. Eh? Kenapa merentangkan tangan?

"Bunda membawa pelukan hangat."

Ini yang bikin aku sering nangis, kebaikan Bunda terlalu tidak pantas kuterima.

Aku berhenti bersandar, tidak memeluknya, tentu saja. Hari ini, aku sudah membuat keberadaan Bunda dan mobil itu menipis seperti keberadaanku. Bagaimana aku bisa memeluknya?

"Begitu ya." Ekspresi Bunda seperti langit yang mendung. Kemudian tersenyum, meski tidak selepas biasanya. "Selamat istirahat, Alva."

Aku tidak bisa bersuara karena berfirasat akan sesenggukan begitu menjawabnya. Hanya mengangguk dan membiarkan Bunda pergi.

Aku benci diri sendiri.

***

Hari ini, aku berangkat sekolah bersama Bunda lagi. Jarak sekolah ini jauh, aku bisa terlambat kalau jalan kaki. Aku juga belum hafal jalannya. Kalau sudah, apa aku bisa naik bus umum saja?

Sebenarnya sama saja, aku takut mencelakai orang. Lebih baik aku menghilang sekalian, daripada hidup dan hanya menyakiti orang lain.

Entah karena kontrol bakatku membaik atau bakatku sedang berbaik hati tidak aktif, perjalanan kami aman. Kali ini lebih banyak anak-anak yang berada di gerbang. Mereka menghindar dari tengah jalan saat melihat mobil Bunda lewat.

Syukurlah.

Saat aku turun dari mobil, banyak yang melihat ke arahku. Lalu berpaling dengan cepat. Aku menutupnya segera sebelum mereka mengenali wajah Bunda.

"Berhati-hatilah," pesanku sungguh-sungguh. Aku yakin, setidaknya selama aku tidak dekat dengan Bunda, ia akan baik-baik saja.

Tentu saja Bunda tidak bisa menjawab. Ini adalah harikedua permainan kami berjalan. Walaupun, mungkin Bunda juga tidak merasa sedangbermain. 


12 Juni 2023

533 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro