[Halloween Special] Sweet Bite

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning: One Shoot, Fluff, Hurt/Comfort, Boys Love, A little bit of Horror, OOC, Typos

Pair: Human!John H. Watson x Vampire!Louis James Moriarty

Notes: FF special Halloween 🎃 sebenarnya akan dipublish di twitter tapi karena berhubung udah lama nggak update akhirnya ini jadi chapter special yang di upload duluan di sini~~~

Seluruh chara bukan punya saya, saya hanya meminjam untuk menistakan dan memenuhi asupan nutrisi yang kurang

Happy Reading!!!

Menjadi makhluk yang tidak bisa melihat kematian bukanlah sebuah berkah. Menurutnya tidak ada kutukan yang peling menyakitkan daripada menjadi abadi. Dunia yang sudah busuk ini, hal apa yang bagus untuk dilihat? Semakin cepat sekelilingnya hancur maka semakin tenang hatinya. 

Sayang, bahakan dia tidak bisa merasakan hatinya lagi. 

"Apa enaknya, manusia memuja hal abadi, kecantikan, kesehatan, padahal mereka memiliki sesuatu yang kami paling inginkan," semilir angin berhembus, mengiyakan kelimatnya. "Kematian."

"Ayolah, Louis. Jangan buat dirimu terlihat menyedihkan seperti itu."

"Aku memang menyedihkan, kenapa kau harus bertanya lagi?"

Manik merah yang redup karena rembulan masih terhalangi menatap ke dalam, di balik balkon yang kini dia berdiam, pada meja dan kursi duduk seorang lain yang menatapnya pasrah sambil menyesap teh. Kakinya melangkah, tangannya menggapai kursi lain yang berhadapan. "Kenapa aku harus tidak terlihat menyedihkan?" Tanyanya seakan tidak puas dan menuntut jawaban. 

"Kenapa, kalau aku jelaskan kau juga tidak akan mengerti," balas sang pemuda, mengangkat alisnya kebingungan. 

"Kalau begitu jangan mengatakan sesuatu yang membuatku penasaran akan artinya."

Tawa gugup mengalun ringan dari bibirnya. Cangkir teh yang mulai mendingin tidak menurunkan selera untuk menghabiskan isinya. Berbeda dengan Louis yang mengisi gelas kacanya dengan botol satunya, yang bentuknya lebih tinggi dan memiliki cairan lebih pekat. 

"Seperti biasanya, Louis hanya memilih 'minuman' dengan aroma terbaik, sama sekali tidak menimbulkan mual," kalimat itu disusul dengusan pelan dari yang bersangkutan. 

Satu tegukan penuh dihabiskannya sekaligus. Dirinya bukan kehausan, dia hanya ingin 'berjaga-jaga'. 

Langit hitam kebiruan perlahan kembali terlihat. Awan tebal yang menutupi bergerak meninggalkan kanvas raksasa itu. Bulan purnama tanpa teman apapun menjadi sorotan utama pemandangan malam. Sinar keperakan menyinari tempat keduanya, menyentuh sebagian wajah pemuda pirang serta memantulkan cahaya permata delima. 

Keheningan tidak terasa membosankan. Suara nafas yang berhembus, dan tegukan dari gelas kaca sudah cukup 'ribut' baginya. 

'Merepotkan,' pernah sekali Louis mencoba membuat tuli pendengarannya, dalam arti yang sebenarnya. Hasilnya? Lebih merepotkan lagi. 

Louis berdiri, menuju balkon sekali lagi, kali ini tidak dengan kegelapan namun dengan cahaya yang meneragi seluruh tubuhnya. Angin yang berhembus juga menerbangkan helai lembutnya. Tak selang berapa lama Louis berbalik, matanya dalam menatap manik khas musim gugur yang tersenyum untuknya. 

Gantian, sosok satunya kini berjalan mendekati Louis, masih dengan senyum yang dipertahankan. Ketika mereka hanya berjarak beberapa senti, sosok itu mengulurkan tangan, sebelahnya mengelus pipi luar biasa pucat, dan sebelahnya merangkul erat pinggang yang lain. 

Wajah Louis benamkan tepat di ceruk leher sang pemuda. Maniknya melirik dari samping, disambut usapan pada kepalanya, seakan tau apa yang ingin Louis tanyakan. 

"Jangan takut, Louis."

Cemberut, "seharusnya aku yang bilang begitu, John bodoh." 

John tidak henti mengeluarkan tawa pelan, sembari tangannya juga tidak berhenti mengusap rambut pirang itu. "Kau sudah meminum darah tadi, kemarin juga kau sudah berburu seperti biasanya. AKu yakin Louis tidak akan lepas kendali, dan kalau pun begitu-"

"Tidak! Aku tidak akan lepas kendali!" 

"Wah, aku sungguh tenang mendengar hal itu," Louis semakin terlena, usapan dari seoarang John terlalu mendamba sampai kadang dia lupa akan waktu dan ingin terus melakukannya. 

Hening mungkin menyapa pendengaran John, namun detak jantungnya justru menjadi alunan musik yang paling disukai oleh Louis. Semakin didengar, semakin tidak rela Louis untuk kehilangan irama indah ini. 

"Manusia, semuanya sama saja. Padahal aku, kami, begitu iri dengan kelebihan kalian."

"Kau tau aku tidak melakukan ini karena keserakahan semata, aku tidak peduli bila itu kematian atau keabadian. Bagiku selama itu adalah Louis, maka semua akan terasa sangat indah."

"Setelah ini, hal pertama yang harus aku bungkam adalah mulutmu itu, pak dokter." 

Sebuah ide muncul dadakan dalam kepalanya, "aku akan lebih senang bila kita saling membungkam satu sama lain, di atas ranjang empuk tentunya," diakhiri dengan hembusan pelan tepat di telinga Louis. 

PLAK!

"Dokter mesum..!" 

Ternyata malam itu tidak sehening yang di-inginkan. Keduanya mencairkan hawa dingin, udara yang seharusnya selalu berkumpul di sekitar makhluk sepertinya, kebedaraan yang tidak seharusnya mendapatkan kehangatan, sosok yang seharusnya terus bersembunyi di balik bayangan. Semua itu berubah setelah pertemuannya dengan manusia kelewat ramah bak matahari siang hari benama John Watson. 

Berawal dari rasa penasaran sampai kebersamaan itu rutin keduanya lakukan untuk sekedar mengusir rasa kesepian. Mereka tanpa sadar saling menginginkan kebedaraan satu sama lain, kemauan untuk terus bersama mengabaikan waktu dan ruang. Perbedaan 'identitas' menjadi tembok pertama yang harus mereka runtuhkan. Entah salah satu, atau keduanya, yang jelas pembatas itu perlu untuk diruntuhkan, sebelum terlambat. 

"Kalau begitu, aku yang akan menyebrang ke sisimu." Kata dokter muda suatu sore di taman penuh camellia. 

Dengusan kasar terdengar dari makhluk kecil yang tidur di pahanya. Usapan dari John terlalu mendamba, itulah yang selalu Louis katakan. 

"Aku tidak akan mengijinkanmu," tegas ucapan itu Louis keluarkan. Bila John 'berhasil' menjadi kaumnya, maka pembatas itu akan hancur. Namun sepanjang ratusan tahun Louis melihat dunia, satu kesimpulan yang dia dapatkan adalah, 

"Kami ingin kematian. Keabadian, kecantikan, kekuasaan, semua yang menjadi keirian manusia hanyalah imajinasi manis belaka. Semua yang kau dapatkan memiliki harga. Dan harga yang dibayar dengan hal itu tidak kurang dari kesepian dalam jurang paling hampa yang pernah ada."

John terdiam sejenak mendengar perkataan Louis. Tak seberapa lama dia mengangkat kucing hitam di pangkuannya sejajar dengan wajah, itu Louis yang merubah dirinya menjadi hewan saat matahari masih nampak, kemudian menatap dalam bola mata emas besar sang kucing. 

"Louis bodoh!"

"Hah!? Apa kau bilang, John idiot!?" 

"Louis bodoh! Louis terlalu memikirkan hal yang tidak penting!" 

Merasa kesal, Louis mengeluarkan cakarnya, berusaha mencapai wajah menyebalkan pemuda di hadapannya. "Jangan jauh-jauh! Aku ingin mencakar wajah idiot milikmu itu!"

"Cakar saja. Tapi aku tidak akan merubah keinginanku untuk berubah sepertimu!" 

"Kenapa kau keras kepala sekali!?"

Louis seketika menghentikan cakarannya, kala John mendekatkan wajah mereka sampai hidung keduanya bersentuhan. "Selama itu denganmu, beda dunia pun aku rela, Louis."

 Dekapan yang mengerat menyadarkan Louis bahwa ada masa depan yang harus dia pilih sekarang juga. Menggigit dan menyebarkan racun vampir bukan hal yang mudah ditoleransi sel tubuh manusia, dan Louis tidak tau apakah John kuat untuk menahan racunnya. 

Lakukan dan menunggu hasilnya serta tidak menyesal, itulah yang harus Louis putuskan. 

"Tenang saja, aku sudah mencoba beberapa percobaan dengan racun yang kau kumpulkan dulu di laboratorium. Ada juga Sherlock yang berhasil melalui semua ini, bukan? Katamu racun milik William lebih kuat, kalau Sherlock bisa, maka aku juga bisa." 

"Dia itu hanya orang bodoh makanya kematian menghindarinya."

"Ahaha, kematian juga tidak suka orang yang percaya diri. Aku akan melewati semua dan kita akan segera hidup bersama," kecupan di pipi segera meredakan emosi yang berguncang dalam hatinya. 

Ah, Louis benci dirinya yang mudah sekali terlena sentuhan seorang John Watson. 

"Kau orang idiot, jadi kurasa kematian juga alergi denganmu, John idiot." Perlahan namun pasti tangannya membuka kancing baju John, menampilkan leher jenjang yang aliran darahnya terlihat jelas di mata merah darah Louis. Aroma hangat khas musin gugur begitu cocok ketika hidungnya mendekat untuk menghirupnya. 

"Kau mengatakan aku idiot dua kali dalam satu kalimat, Louis," John masih terus mengusap rambut Louis. Dia akan tertidur dalam waktu lama, setidaknya ini bisa menghilangkan rasa rindunya nanti. 

"Jangan terlalu lama, aku akan mati kebosanan duluan." 

"Ahaha.. ukh..!" 

Gigitan yang Louis berikan cukup dalam, berbeda dengan biasanya. Kali ini dia mengincar pembuluh darah utama, agar racun yang dia masukan langsung menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh terutama jantung. 

Suara decap dan hisapan mengisi setengah jam waktu terakhir mereka. Bahkan dalam kesakitannya, John tidak berhenti memeluk dan mengusap kepalanya. Tak Louis sangka menggigit orang yang dia sayangi bisa semenyakitkan ini, air mata yang meleleh adalah satu bukti rasa muramnya. 

"Selamat tidur, Louis, ayo kita ke taman bunga setelah ini." 

Satu kecupan terakhir dari John mendarat di keningnya. Dan detik itu, Louis duah merindukan manik kecoklatan yang selalu menatap tulus padanya. 

***

"Louis? Kau yakin tidak ikut ke Romania?" Pertanyaan ketiga kali dari William kembali hanya dijawab dengan anggukan dan senyum. 

"Aku yakin. Nanti kami akan menyusul saja. Kak William dan Kak Albert jangan lupa makan dan tidur, selama aku tidak ada pastikan selalu menjaga kesehatan kalian." 

Albert serta William menghela nafas lelah. Satu minggu mereka berusaha meyakinkan sang adik untuk membiarkan tubuh John yang masih tertidur dalam pengawasan Moran serta Fred yang memang menetap di London. Namun yang selalu menjadi jawaban Louis adalah, 

"John sebentar lagi bangun, dia akan merepotkan dengan sifat manjanya itu. Dan aku satu-satunya yang bisa mengatasi kelakuan idiot miliknya."

Tiga tahun, waktu yang cepat bagai kedipan mata untuk orang lain, sayang bagi Louis satu menit saja sudah terasa luar biasa menjengkelkan. 

"Baiklah, Kakak menyerah. Kau juga selalu jaga kesehatan, kalau perlu sesuatu katakan saja pada Moran atau Fred," walau William belum rela berpisah dengan adiknya, dia juga mengerti rasanya menunggu seseorang yang akan bangun dari 'tidurnya'. Dia pernah merasakannya sekali, ingat? Dan itu merupakan saat-saat paling menyebalkan bahkan bagi William. 

Albert yang sedari tadi diam perlahan mendekati Louis dan menepuk bahunya, "kalau terjadi sesuatu langsung hubungi kami. Secepatnya kami akan datang untuk membantumu."

Sesudahnya, Albert dan William akhirnya bisa merelakan keputusan mereka untuk meninggalkan Louis. 

Rumah mewah yang besar terasa begitu berbeda seketika. Sebelumnya juga sama sepinya, namun kali ini keheningannya terlalu dingin, dan Louis sedikit banyak membencinya. 

Langkah kakinya menggema di lorong panjang dan gelap. Pandangan matanya semakin kosong saat pintu kamarnya terlihat. Bunyi decit terdengar, menampilkan pemandangan yang sama selama tiga tahun ini. Tubuh pria yang terbaring di atas ranjang besarnya, tidak bergerak, tidak juga bernafas. Orang lain mungkin mengira dia benar-benar telah mati, namun dalam pandangan vampir John sekedar tertidur saja. 

Louis duduk di pinggir ranjang, sebelum membaringkan badannya di samping John. Tangannya mengusap pipi dingin, sama seperti miliknya. Jarinya turun menuju bibir yang suka sekali menggoda dirinya, kini bibir itu tertinggal pucat dan kering. 

"Kau benar-benar idiot. Orang bodoh yang membuatku menunggu tiga tahun setalah mengatakan akan bangun dengan cepat." 

Maniknya terpejam, Louis lebih memilih tidak menatap sosok itu daripada hati yang telah lama berhenti berdetak di tubuhnya berdenyut sakit. 

'Ironis sekali.'

"Sudah kubilang jangan terlihat menyedihkan bukan? Kau terlalu manis untuk terlihat seperti itu."

"Aku tidak menyedihkan—" 

Pandangan yang tadinya tertutup kini membelak. Senyum hangat yang menghilang selama tiga thun sekarang bisa dia lihat lagi. Tangannya bergerak memegang wajah di depannya, mengusap seluruh patahan di sana agar yakin ini semua bukan sebuah ilusi. 

"Idiot, John idiot, John bodoh. Sudah kubilang jangan membuatku menunggu, itu sangat menyebalkan." 

"Maaf, Louis. Sudah membuatmu menunggu." 

Dekapan hangat yang mereka tinggalkan tiga tahun lalu kembali dan lebih erat dari sebelumnya. Louis tidak ingin lagi 'meninggalkan' orang tersayangnya ini. Dia mau menjadi lebih egois, masa bodoh bengan sekitarnya. 

Dia hanya menginginkan John Watson sebagai pendampingnya. 

Kedua mata kini saling berhadapan, menatap dalam tanpa mengeluarkan suara. John perlahan mendekat dan membuka kancing bajunya, Louis pun hanya menutup mata membiarkan John mengisi perut kosongnya. 

Kini terbalik, Louis-lah yang mengusap surai hijau keabuan. Dia tersenyum, senyum yang sangat jarang terbentuk di wajah datarnya. Kepalanya kembali berputar mengingat pandangan yang dirinya dapatkan semenit yang lalu. 

Manik merah darah seperti miliknya, telah menggantikan musim gugur yang mnejatuhkan daun-daunnya. 

"Kali ini kita akan bersama terus, tanpa ada ruang dan waktu yang menghalangi, John."

Penantiannya tidak sia-sia. Sekarang mereka berdua bisa menghabiskan waktu tanpa ada gangguan siapa pun. Dan sisa hari mereka hanya terisi kehangatan dari balik kulit dingin dan pucat mereka. 

The End

.

.

.


Terima kasih sudah mau mampir ('。• ᵕ •。') ♡
Don't forget to Like and Comment (ノ' з ')ノ

See ya!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro