Witch's Tower

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning: One Shoot, Fluff, Boys Love, OOC, Typos

Pair: Human!John H. Watson x Witch!Louis James Moriarty

Seluruh chara bukan punya saya, saya hanya meminjam untuk menistakan dan memenuhi asupan nutrisi yang kurang

Happy Reading!!!

Zaman itu tidak ada yang tidak mengenalnya. Seorang penyihir besar yang tinggal di atas menara paling tinggi yang terletak di dalam hutan paling di takuti karena kegelapan juga banyaknya makhluk mistis yang ada di sana. Rumor menyebar bahwa jika kau masuk di hutan itu maka kau tidak akan pernah bisa keluar lagi, yang membuat semakin sedikit orang yang berani untuk pergi ke sana.

Semua tidak tidak membuat para warga sekitar menghiraukan keberadaan penyihir itu. Mereka mengetahuinya bahkan menakutinya dan membenci keberadaannya yang dianggap sebagai pembawa kesialan. Kebencian itu bukannya tidak hanya beralasan karena prnyihir itu tinggal di sana, melainkan tragedi yang pernah terjadi lima tahun lalu yang membuat kebencian serta kemarahan para warga semakin menjadi-jadi.

Tragedi yang melibatkan hampir seluruh penghuni negeri itu. Tragedi besar yang hampir menghanguskan daratan negeri itu. Tragedi yang akhirnya membuat penyihir itu menjadi kambing hitam atas kesalahan yang bukan perbuatannya.

Sungguh padahal saat tragedi itu terjadi dirinya bahkan sedang dalam masa tidur panjangnya, artinya tepat saat kejadian itu berlangsung dia tidak terlibat di dalamnya. Jangan kan terlibat, menyaksikannya saja tidak mungkin dia lakukan, kecuali dia memiliki kebiasaan berjalan sambil tidur yang sangat tidak mungkin dimilikinya. Ingin membela diri tapi dia tau denan pasti jika itu semua tidak ada gunanya. Dan lagi dia tidak membutuhkan manusia-manusia itu untuk melanjutkan hidupnya, malah lebih bagus mereka tidak mendekati dan menggangu hidupnya, pikir sang pinyihir yang dengan 'senang hati' menerima ketidaksukaan para warga.

Hari terus saja berlalu, berganti bulan, berganti tahun. Penyihir itu masih terus hidup dalam lembabnya menara juga gelapnya hutan di sekelilingnya. Sedikit disayangkan memang dia jarang sekali bisa menikmati paparan sinar matahari juga kehangatan yang biasa menjadi pendamping hidup manusia-manusia di sana. Tapi, dia tidak akan mengeluh. Dia juga adalah makhluk 'dingin' -menurut klaimnya sendiri- sehingga panasnya matahari tidak mungkin mencapainya.

Sayangnya lagi, hal itu hanya terjadi seblumnya. Dan seperti yang sebelumnya, semua berubah karena tragedi- sepertinya menyebut kejadian kebakaran besar itu sebagai sebuah tragedi terlihat sedikit melebih-lebih kan untuk kapasitas penyihir sepertinya. Benar mungkin jika yang menyebutnya tragedi adalah warga yang mengalami kerusakan fisik serta banyaknya nyawa mereka yang hilang akibatnya. Namun, penyihir itu sendiri tidak mendapatkan kerusakan sedikit pun. Jadi bukankah sedikit melebihkan jika menyebutnya tragedi dalam sudut pandang sang penyihir?

Entah apapun itu, sang penyihir tidak peduli asalkan kehidupannya akan kembali tenang, yang mungkin kurang beruntungnya tidak mungkin bisa terjadi lagi, seperti yang sudah dia katakan sebelumnya. Tragedi lima tahun lalu itu memang membawanya terbebas dari manusia-manusia sok tau akan tempat tinggalnya -hutan kegelapan- namun membawa juga seorang lain yang menjadi penghuni -mungkin tetap- di menara kesayangannya.

Kalau ditanya apakah dia sadar dan dengan sukarela menyetujui keberadaan manusia itu di sana, maka jawaban tegas "tidak" akan kalian dapatkan. mana mungkin seorang penyihir besar yang terkenal akan kekejaman- sepertinya kata itu terlalu 'keras', seorang penyihir besar yang terkenal akan sifat penyendirinya -sepertinya ini lebih baik dari yang tadi- bisa membawa seorang anak, sekali lagi seorang anak untuk tinggal bersamanya.

Tinggal berdua dengannya, di menara lembab, tengah hutan gelap itu.

Bagaimana itu semua bisa terjadi, lebih baik kita melihat kembali ke lima tahun lalu dimana titik putar ini terjadi.

Flashback -5 tahun lalu-

Ruangan itu masih sama gelap dan dingin dari sebelumnya. Masih tidak ada yang berubah lantaran sang pemilik tempat itu yang masih terlelap dalam tidur panjangnya, juga dirinya yang terlalu terfokus pada hal lainnya hingga melupakan keadaan sekitarnya walau sejujurnya dia termasuk orang yang tergila-gila akan kebersihan dan kerapihan.

Meninggalkan hal itu, sekarang dalam keadaan yang masih remang-remang terlihat jika kelopak mata dari sang penyihir yang masih terbaring di atas ranjangnya perlahan terbuka, menampilkan manik delima yang bercahaya dalam gelapnya suasana saat itu. Pendangannya memang masih kosong, seperti belum selesai mengumpulkan nyawanya setelah bangun dari idtirahat yang cukup lama. barulah akhirnya setelah kurang lebih setengah jam hanya menatap kosng perlahan tubuh yang terbalut jubah panjang berwarna ungu tua itu beranjak berdiri dari posisi berbaringnnya.

Sedikit linglung dirinya memang tapi jangan terlalu meremehkan sang penyihir yang paling disegani pada zaman itu. Dengan langkah yang terkesan sedikit terburu-buru dirinya menuju ke meja kerjanya dan dengan cepat mengambil beberapa kertas di sana serta mulai membacanya.

Ada rasa tidak nyaman, seperti sebuah firasat -walau tidak terasa seburuk itu- yang masuk dalam hatinya. Dia, mungkin juga dapat merasakannya jika ada sesuatu yang terjadi pada manusia-manusia yang tinggal di negeri itu. Dirinya yang biasanya tidak akan peduli -tolong tekankan pernyataan ini- akan apapun yang terjadi pada bangsa mortal itu kini menjadi sedikit panik akan apa yang pikirannya putar sekarang.

"Tidak, bukan, kenapa ada hal seperti ini? Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?" gumam itu terus terlantun saat matanya bergerak secara cepat dari kanan ke kiri menuju bawah lalu berpindah lagi ke atas tepat waktu kertas di tangannya di balik oleh tangannya. Rautnya terlihat begitu gusar karena manik semerah darah miliknya baru saja melihat sebuah informasi mengejutkan untuk seorang penyihir besar sepertinya.

"Bagaimana mungkin aku tertidur hingga berdekade lamanya?"

Dirinya takut, bukan pertama kali dia melakukan tidur panjang ini, namun ini pertama kalinya dia terlelap hingga menyentuh hitungan dekade. "Pantas saja firasatku tidak enak. Sudah terlalu lama aku tidak keluar, dan mungkin saja ada kejadian penting yang terlewat saat aku tertidur."

Akhirnya dia meninggalkan tumpukan kertas itu dan memilih untuk duduk di bangku kaju yang dia biarkan lantaran terlalu panik mencari berita. Napasnya menghembus keras hingga terlihat gumpalan putih di sana, menandakan waktu itu sudah memasuki penghujung musim gugur juga bersiap memasuki musim dingin.

Kalau dirinya ingin jujur, entah sudah berapa lama dia tidak merasakan kehangatan saat waktu seperti ini datang. Dia, hampir melupakan bagaimana rasa hangatnya perapian serta berisiknya saat harus memanggang kue dan mendekorasi rumah tempat tinggal mereka. Sebuah kenangan terlintas, hanya sekejab saja tapi. Baginya walau hanya untuk sedetik dia sudah lebih dari puas, membuatnya tidak perlu merasakan sakit lagi saat harus melihat masa lalu yang ingin sekali dia lenyapkan.

Perlahan dirinya bangkit, memutuskan untuk bersiap -sedikit berdandan agar wajahnya tidak terlihat terlalu mengerikan- dan keluar dari menaranya, hanya untuk sebentar. Menghirup udara segar setelah beberapa dekade bukan hal yang buruk bukan?

Air dingin yang mengucur dari pancuran benar-benar menjadi sebuah terapi yang dia idamkan. Badannya memang tidak lengket -hei, walau dia tidur dalam waktu lama udara sekitarnya relatif dingin sehingga keringat menjadi hal yang mustahil ada padanya- tapi dirinya ingin berbenah, sekali kata lagi, bukankah tidak sopan jika kau ingin keluar lalu tidak berpenampilan yang rapi?

"Benar-benar sejuk." Gumamnya pelan sembari tangannya mengusap dengan perlahan seluruh bagian tubuhnya. Sejuk? Suhu saat itu hampir mencapai nol derajat. Tapi, mungkin karena dirinya adalah penyihir besar yang disegani maka dari itu udara seperti ini hanya hal biasa baginya.

Selesai dengan ritual mandinya, sang penyihir kini mengambil bathrobe miliknya dan berjalan keluar menuju ke lemari pakaian yang sedikit berdebu. Dibukanya lemari tersebut dan dengan cepat matanya mengamati, memilah pakaian mana yang masih layak dia pakai keluar. Dan setelah beberapa menit kesulitan untuk menentukan, pilihannya jatuh pada kemeja putih dengan celana kain berwarna hitam serta jas beludru berwarna ungu kehitaman.

Hanya tak lama hingga pakaian pilihannya telah melekat sempurna ditubuhnya. Sedikit berbalik melihat jika sudah rapi bajunya, dirinya kini menghadap cermin untuk memakai dasi hitam serta mengatur rambutnya yang masih sedikit basah sehabis mandi. Senyumnya mengembang kecil sembari tangannya mengambil jubah kesayangannya dan memakainya, hampir menutupi seluruh tubuhnya.

"Sekarang mari kita kunjungi para manusia menyebalkan itu dan menyelesaikan semuanya," bisiknya pada angin -mungkin- seraya tangannya mengambil tongkat yang terlihat terbuat dari kayu dan tidak terlalu panjang serta meletakannya pada saku jubahnya. Ingat, dia adalah penyihir besar, melakukan sihir tanpa tongkat hanyalah hal kecil dari banyaknya hal lain yang dapat dia lakukan.

"Ianuae," gumam pelan itu membawakannya sebuah angin kencang yang sekajab dirinya telah berpindah ke tempat yang terlihat begitu gersang, dan hitam?

'Apa yang terjadi di sini?' monolog-nya saat matanya perlahan mengedar, berusaha mencari tau apa penyebab yang dia ingat dulu berwarna hijau segar berubah menjadi penuh abu gosong.

Langkahnya terus dia bawa mengitari lahan tandus yang beberapa tempatnya masih mengeluarkan asap, mungkin dari kebakaran yang terjadi -munurutnya- dan mungkin juga karena suhu yang sangat dingin ditambah dengan salju yang mulai turun saat itu.

Salju? Sontak kepala bermahkotakan surai pirang sedikit panjang, sedikit menutupi mata kanannya, mendongak ke atas menastikan apa yang baru saja dia lihat adalah sebuah kenyataan.

Dan benar saja, apa yang -tidak dia sadari- harapkan benar-benar terjadi saat mata scarlet mendapati ratusan bahkan ribuan butiran putih hampir transparan jatuh perlahan dari langit kelabu di atasnya. Dirinya diam walau tak lama tangannya perlahan diarahkan ke atas, seakan ingin menyentuh dan meraih salju-salju itu, yang pada akhirnya hanya meleleh tidak lama kemudian di telapaknya.

"Benar, tidak ada yang bisa bertahan di dekatku," dan langkahnya berlanjut, menyusuri jalanan yang sedikit rusak.

Sunyi masih menyelimuti dirinya, hingga dia berpikir hanya itu yang akan menemaninya. Hanya berpikir karena pada akhirnya telinganya bisa menangkap suara samar dari balik tumpukan runtuhan bangunan yang berada di ujung jalan itu. Jangan kaget jika dia bisa mendengar sejauh itu. Dia adalah penyihir besar yang ditakuti saat itu, ingat?

Jalannya memelan, hanya sedikit pelan dari yang tadi, tidak tau mengapa dia melakukannya. Menggambarkan jika dirinya takut akan apa yang ada di sana yang sebenarnya dirinya sendiri juga tidak tau kenapa dia berhati-hati seperti itu. Hanya tinggal beberapa langkah da dirinya bisa melihat apa yang menyebabkan bunyi itu. Sedikit lagi, tapi sayangnya ada yang mebuatnya harus -dia hanya menghormati walau pada dasarnya dia bisa saja terus bergerak, menghiraukan- menghentikan gerakannya.

"Berhenti! Kau tidak boleh mendekati'nya'!"

"Dan apa yang membuatku tidak bisa mendekatinya," pernyataan itu hanya bernada pelan namun di saat para warga melihat keseluruhan wajahnya, maka terkejutlah mereka jika itu adalah sang penyihir. Tidak perlu sekata dua kata karena sang penyihir bermanik merah delima itu bisa melihat dengan jelas ketakutan mereka. Bagaimana mereka tunduk padanya karena takut adalah sebuah hal yang kurang dia sukai, namun pada akhirnya dia hanya bisa menerimanya.

"I-itu sang penyihir." "Dia sudah bangun?" "Astaga kenapa bencana terus menerus datang pada kita?"

Matanya hanya menatap datar kumpulan warga yang mulai membicarakannya tepat di depan hidungnya. 'Sungguh beradab sekali mereka,' batinnya sarkas dan tulus saat berpikir demikian.

Tanpa memperdulikan kebisingan manusia-manusia yang ada di sana, dirinya kembali berjalan menuju gundukan kayu serta beton yang menumbun 'sesuatu' yang tidak ingin para orang itu lihat. Dan hal itu justru meningkatkan rasa penasarannya.

"Tidak! Jangan!"

"ut de medio fiat," hanya mantra sederhana dan semua gundukan itu menghilang, menyingkir dari jalan dan penglihatannya untuk mengetahui apa yang ada di sana.

"Ugh-"

"Ah! Tidak! Habislah kita!" "Ampuni hidupku!" "Aku masih mau hidup! Jangan bunuh aku!"

'Menyedihkan,' matanya kini bisa melihat dengan jelas apa yang ditakuti oleh orang-orang itu. 'Itu' atau lebih tepatnya seseorang itu adalah anak kecil yang terlihat begitu lusuh. Wajahnya belum terlihat karena kepalanya menunduk serta tertutupi debu dan kerikil. Dan walau pencahayaan tidak begitu memadai di sana, manik delima si penyihir bisa melihat banyaknya luka, bauk luka gores, luka pukul, serta luka-luka lain yang masih basah serta yang sudah mengering.

'Menyedihkan,' batin itu kembali menggumamkan kata yang sama walau dalam intonasi yang sangat berbeda. 'Darimananya mereka melihat anak ini sebagai monster?' pertanyaan yang jawabannya mungkin saja akan dia dapatkan dalam waktu dekat itu tidak dia ucapkan.

Dia tidak pernah merasa begitu kasihan tapi hatinya kini meronta melihat keadaan anak itu. Seakan mendapat kilas balik, mungkin itulah yang membuatnya merasa dia harus menolong anak itu. Seringainya seketika terbentuk dengan cantik di wajahnya. Entah apa yang otaknya pikirkan, hanya saja dirinya juga menyukai apapun itu.

Dengan perlahan penyihir itu mendekati serta menyentuh pelan punggung kecil sang anak, membalikannya perlahan agar anak itu tidak terlalu merasa sakit -yang tidak begitu berguna karena ringisan perih dari sang anak- dan mengusap pelan rambut hijau keabuan yang terasa begitu lembut walau terlihat sangat berantakan.

"Penyihir kau tidak boleh-!"

"Satu kali lagi kau berkata maka jangan berharap bisa merasakan mulutmu lagi."

'Malang sekali. Sudah terluka tidak mau disembuhkan pula dari orang-orang tidak berguna itu. Tangan kirinya sudah tidak bisa diselamatkan, begitu juga dengan matanya ya?'

Senyumnya mengembang dengan lebar, hampir terlihat menakutkan bagi mereka yang melihatnya. Mulutnya perlahan bergumam selagi tangannya terus mengusap lembut rambut sang anak. 'Sepertinya ini akan menyenangkan untuk sementara waktu,' firasatnya sudah mengatakan demikian dan dirinya selalu percaya akan hal itu.

"Ego in nomine Ludovici, magus astri septentrionis, benedicam filio meo. Dabo omnia quae habeo huic puero in commercium chordae nostrae implicatae."

.

.

.

Mata itu membuka. Menatap ke arah atas tempat langit-langit kamarnya berada. Tubuhnya masih diam tidak bergerak. Kulitnya yang pucat bisa merasakan bagaimana dinginnya udara saat itu. Derap langkah kaki dengan jelas bisa dia dengar menghantam lantai kayu menara itu.

"Master, sudah saatnya bangun. Jangan tidur terus. Sangat tidak baik untuk kesehatanmu."

Derap itu baru saja berhenti namun sudah digantikan dengan suara sedikit menyebalkan dari sosok yang diketahui tinggal bersamanya. Helaan napas dapar terdengar saat kain penutup jendela itu terbuka membuat sinar dari mentari masuk menyinari kamarnya, sesuatu yang tidak akan pernah dia lakukan untuk dirinya sendiri.

"Master-"

"Iya, aku tau. Berhentilah berbicara karena itu sangat menyebalkan."

Tawa pelan dapat dia dengar dari sosok yang kini berada di sampingnya, menarik pelan selimutnya, mungkin agar dia segera bangun dan tidak lagi tiduran seperti sekarang. Kepalanya dia miringkan dan tangannya merentang ke atas, seperti tanda untuk membantunya bangun dari posisinya.

Senyum melebar di wajah sosok yang kini membantu sang master untuk bangun dari tidurnya. Tangannya yang lincah mengangkat sang tuan dan di bawa ke kamar mandi untuk di basuh oleh dirinya. Sedang sang tuan sekarang menyamankan dirinya dalam gendongan sosok itu sambil sesekali menguap pelan, menandakan dirinya masih mengantuk dan ingin sekali tidur di atas kasur kesayangannya.

Hangatnya air yang dia rasakan tidak membantu sama sekali untuk terbangun. Gelengan pelan, tanda bahwa dia sudah terbiasa melihat kelakuan dari sang master membuatnya tidak terlalu memusingkan dan terus melakukan tugasnya. Hanya tak lama hingga dirinya selesai membasuh tubuh master-nya dan melanjutkan membawanya kembali ke dalam kamar setelah sebelumnya dia mengeringkan tubuh kurus itu dengan handuk dan memakaikannya jubah mandi.

"Saya akan menggantikan baju anda sekarang."

"Humn," gumaman itu cukup menjadi sebuah persetujuan dari tuannya untuk melanjutkan tugasnya. Sebuah kemeja hitam degan celana bahan menjadi pilihannya untuk sang tuan. Tangannya dengan cekatan pula merapihkan rambut keemasan itu dan menyisirnya supaya rapi. Tak lupa tangannya mengambil sepotong kain dan melingkarkannya dibagian mata tuannya.

"Nah selesai. Aku sudah membawakan teh dan obat untuk master minum," nada riang itu sungguh berbalik dengan raut sang master yang berubah menjadi sedikit kesal mendengar kata 'obat' di sana.

"John, aku tidak mau meminum cairan mengerikan itu," pintanya pada sosok yang dia panggil dengan nama 'John' itu.

Gelengan pelan John lakukan saat melihat master-nya begitu tidak menyukai obat buatannya sendiri. Sedikit aneh tapi begitulah sifat tuannya. Maniknya yang berwarna hijau kemerahan terlihat lembut saat melihat wajah masam tuannya yang meminum cairan dalam mangkuk yang dia bawa. Ada sedikit denyutan sakit pada kedua matanya juga tangan kirinya tepat pikirannya melayang pada kehidupan sag master beberapa tahun ini. Namun secepat pikiran itu datang, secepat itu pula menghilang bertepatan dengan panggilan dari sang master yang berusaha menggapai kacamatanya dengan tangan kanannya.

"Jangan hanya menghanyal dan bantu aku, John."

"Baiklah, master."

"Berhenti memanggilku master. Bukankah aku sudah mengatakan untuk memanggilku Louis saja?"

"A-ah, maaf sudah kebiasaan bagiku untuk memanggilmu master, Louis."

"Cepat hilangkan. Aku tidak menyukainya."

"Akan aku usahakan, master- maksudku Louis."

Helaan napas kembali sang penyihir itu keluarkan. Waktunya untuk tinggal sendiri dalam menaranya sepertinya telah selesai saat dirinya bangun dari tidur beberapa tahun lalu. Sebuah pertanyaan yang selalu dia tanyakan pada dirinya sendiri dari saat itu adalah,

'Apakah aku menyesal?'

Sungguh menarik memang. Oarang lain mungkin akan berpikir bagaimana susahnya hidup dengan kehilangan beberapa organ penting, apalagi jika kau adalah penyihir besar yang disegani saat itu. Tapi sedetik kemudian dia menemukan jawaban yang sejujurnya membuatnya lebih dari puas.

"Master-"

"Louis, John. Hanya Louis, bodoh."

'Yah, sepertinya tidak buruk juga mempunyai teman yang tinggal bersama dalam menara dingin itu.' Dan jangan lupakan petualangan lain, yang lebih besar daripada ini, yang mungkin menunggu mereka kedepannya. Walau tanpa dikata, keduanya yakin bisa mengatasi semuanya selama mereka saling bersama.

Terima kasih sudah mau mampir ('。• ᵕ •。') ♡
Don't forget to Like and Comment (ノ' з ')ノ

See ya!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro