01 · The Special Day

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini merupakan hari ulang tahun Moraroka. Gadis sulung itu semakin matang di usianya yang sudah dewasa.

Rumah putih di atas bukit dengan halaman megah mulai penuh oleh persiapan acara garden party. Sepanjang pagi Mama sudah berlalu-lalang, menata makanan dan meja prasmanan di halaman belakang rumah.

"Menurut lo, alay nggak sih umur segini masih dirayain?" Mora bertanya sambil mematut diri di depan cermin, melirik sekilas pada perempuan yang berdiri di belakangnya.

Pandangan Mora beradu dengan Laurencia.

"Jatohnya kayak bridal shower tau Nek," balas Oren dari belakang Mora. "Totally nggak alay. Elegan malah. Itung-itung latihan."

Oren mengisyaratkan kedipan mata saat di waktu bersamaan layar ponsel Mora menyala dari atas meja. Sebuah notifikasi WA berkedip di sana. Dari nama kontaknya saja, jelas pengirim pesan digital itu merupakan orang penting di hidup Mora; Oji-sama, yang berarti Pangeran.

"Ciyeee," cebik Oren sambil tersenyum jahil.

Mora sendiri tertawa pelan melihat kelakuan sahabatnya, sebelum buru-buru meraih ponsel untuk membalas pesan dari pangeran tadi. Jemari lentik Mora yang dihiasi cincin berlian menari cepat di atas keypad.

Sementara Mora sibuk mengetik, Oren mulai berkomentar.

"Kenape doski? Nggak jadi dateng?" Oren mengintip dari atas kepala Mora.

"Dia cuma telat," kata Mora sambil mengunci ponselnya. Mora menghela napas, seakan hendak melapangkan beban di dada.

"Better late dari pada ghosting." Oren berkata seakan-akan memvalidasi kelegaan Mora.

"Bener," jawab Mora, kemudian kembali memperhatikan pantulan dirinya di kaca.

Wajahnya tampak flawless dengan riasan tipis yang memesona. Lip tint dan perona pipi berwarna peach membuat tampilan Mora tampak segar, juga rambut Mora yang diwarna kecokelatan dan dibuat bergelombang, hasil teknik heatless curl semalaman, turut membingkai wajahnya dengan sempurna.

Gadis yang sehari-hari bercepol rambut model messy bun dan berkaos belel ini disulap menjadi princess, mengenakan dress berwarna putih tulang dengan lengan puffy yang manis, serta rok brokat yang mengukir kaki jenjangnya sampai ke bawah lutut.

Elegan dan manis, itulah kata yang cocok menggambarkan rupa Mora saat ini.

"Copot tuh mata lo liatin muka sendiri terus." Suara Oren menyela. "Sesuka itu ya lo sama hasil tangan gue?"

Mora tersenyum. Benar, polesan riasan dan style yang dikenakannya hari ini adalah ulah Oren, sahabatnya yang berprofesi sebagai beauty influencer dengan ratusan ribu pengikut di sosial media.

"Thanks ya, Mak," ucap Mora tulus, membuat sahabatnya itu tak tahan untuk tidak tersenyum.

"You're very welcome, Nek," balas Oren. "Nah, sekarang birthday girl-nya udah cantik, kita turun yuk? Pasti nyokap lo udah nyariin."

Mora mengangguk. Merasakan gugup yang naik ke ulu hatinya. Dengan melirik sekali lagi ke arah cermin, Mora coba meyakinkan diri.

"Yuk."

🌲

Sesuai dugaan Oren, mama Mora langusng menyambut dari dapur dengan sapaan kalimat 'dari mana saja kalian?'.

"Maaf ya Tante, Mora-nya aku pinjem dulu buat dipermak," kata Oren santai, merangkul tubuh ramping Mora.

Sang mama memperhatikan putri sulungnya dari atas ke bawah, sebelum akhirnya bibir yang dipulas gincu itu tersenyum menyetujui. "Oke. Cantik."

Seketika itu Mora bisa bernapas lega. Mendapatkan validasi dari mamanya sangatlah sulit.

Mama penyuka hal yang indah dan cantik. Perfeksionis. Itulah sebabnya kehadiran Oren sebagai sahabat sangat membantu hidup Mora, sebab Oren merupakan personifikasi dari semua hal itu; indah, cantik, dan sempurna. ‌Sedikit banyak, Oren menularkan itu pada Mora.

"Kalian mau makan dulu? Lauren, kamu belum sarapan kan dari rumah?" Mama menawarkan pada Oren sambil meraih piring yang tertata di konter dapur.

"Belum, Tante." Oren tersenyum manis.

"Oke, makan dulu kamu," ucap sang mama, sebelum kemudian menoleh pada anak sulungnya. "Oh iya, Mora, tolong panggilkan adik kamu di kamarnya. Dia juga belum makan dari pagi."

Mendengar itu, Mora mendengkus. "Oke...."

Berhadapan dengan Lizzy bukan hal yang paling Mora sukai di dunia. Secara, Lizzy yang makin hari makin pendiam itu adalah pribadi yang pasif, tertutup, aneh, dan kerap membuat Mora geram setiap kali melihatnya. Her little sister is a mess.

Bahkan berada dalam satu ruangan dengan Lizzy saja sudah cukup membuat mood Mora terjun bebas. Seperti saat ini, di mana Mora membuka pintu kamar Lizzy tanpa mengetuk terlebih dulu.

"Woy," panggil Mora.

Remaja yang sedang duduk di depan komputer itu tidak merespons. Dua telinganya tersumpal headset, dan matanya tertuju pada layar monitor yang sedang memutar anime.

Mora mendekati sosok adiknya yang masih mengenakan celana tidur, jaket hoodie, dan rambut acak-acakan itu.

"Heh, Curut!" Kali ini Mora menepuk bahu Lizzy.

Lizzy sedikit tersentak dan langsung menoleh. Dibukanya headset dari kepala, lalu bertanya pada kakaknya. "Kenapa?"

"Keluar, dipanggil Mama."

Kening Lizzy berkerut heran. "Tapi kan, acara Kakak...."

"Ck. Siapa yang bilang lo keluar buat gabung sama temen-temen gue? Jangan ge-er! Lo cuma disuruh makan sama Mama." Mora berkata sambil memutar mata.

Sudah dari semalam dia mewanti-wanti Lizzy untuk tidak menampakkan diri di depan tamu ulang tahunnya.

"Oh," gumam Lizzy.

Mora balik badan dan siap meninggalkan kamar, namun sesaat sebelum pintu ditutup, dia kembali berkata, "Minimal sebelum keluar, cuci muka dulu. Tampang lo beneran mirip curut."

Dan pintu pun menggebrak tertutup.

🌲

Mora memasang senyum lebar saat menyambut tamu-tamunya. Sebagai sarjana fakultas Seni Rupa kampus terbaik di kota Bandung, lingkaran pertemanan Mora cukup luas dan beragam.

Terdapat teman-temannya yang sesama seniman, baik dari kampus maupun komunitas, hadir dengan busana yang sedikit berantakan. Namun demikian, mereka tetap bisa memenuhi dress code pesta Mora yang bertemakan cottagecore dengan unik dan ekspresif.

Di sudut lain, berdiri orang-orang penyuka seni dan karya-karya Mora. Pakaian dan dandanan mereka terlihat glamor dan mahal. Cottagecore yang sewajarnya simpel dan ringan, di badan mereka bertransformasi menjadi kostum bangsawan abad pertengahan.

Mereka adalah orang-orang yang dengan entengnya bisa menghamburkan uang demi gengsi dan label barang 'seni'. Kebanyakan dari mereka adalah pengusaha, anak pejabat, hingga selebgram dengan lima digit followers di sosial medianya, yang sebagian besar bisa dikenal Mora atas jasa Oren.

Para seniman dan penikmat seni itu merupakan dua kelompok manusia yang cukup kontras dan berbeda. Mengumpulkan mereka dalam satu halaman layaknya mencampur dua sisi kepribadian Mora, yang bertolak belakang namun menyaru dalam kesatuan.

Kini, Mora dengan penampilan serta senyum sempurna berdiri siaga di sisi meja prasmanan, menerima jabatan tangan dan ucapan selamat ulang tahun dari siapa pun yang menghampiri.

Sesekali Mora mengobrol dengan mereka. Beberapa teman seniman Mora menanyakan perkembangan kreatifnya, berdiskusi tentang artblock dan sumber inspirasi karya terbaru mereka, sementara teman glamor Mora lebih tertarik dengan pameran seni serta ekshibisi yang akan datang.

"Mora, sorry ya gue nggak sempet dateng ke acara engagement lu. Sumpah, ini aja gue baru balik dari Singapore."

Seorang cowok bercelana khaki dan kemeja satin krem menjabat tangan Mora dengan dramatis, perpaduan mengucap selamat sekaligus permintaan maaf. Mora mengingat cowok flamboyan ini sebagai salah satu selebgram teman Oren, sekaligus salah satu brand ambassador perusahaan yang dijalankan tunangannya. Oh, dan dia juga pernah membeli dua lukisan Mora tahun lalu.

"Oh, nggak papa kok... Steve." Mora kesulitan mengingat nama cowok ini. "Thanks ya udah dateng sekarang."

"It's Stefan, Honey." Cowok itu terkekeh setelah mengoreksi Mora, lalu membalik tangan gadis itu untuk memperhatikan cincin yang melingkar di jari manisnya.

"You're a lucky one, dapet jodoh anak tunggal keluarga old money, businessman sukses, blasteran Jepun pula," lanjut Stefan setelah melihat ukuran berlian di cincin Mora.

Mora tersenyum tulus. Hatinya berdesir bahagia setiap kali ada orang yang memuji hubungannya. Bagaimana dia telah membuat keputusan yang tepat. Memilih lelaki yang tepat.

Yang jadi masalah hanyalah lelaki itu tidak tepat waktu hari ini. Sang pangeran belum muncul, padahal acara sudah dimulai setengah jam lalu.

"Wuih... pacaran enam taun lebih, akhirnya tunangan juga ya kalian?"

Satu suara membuat Mora dan Stefan menoleh. Sevi, teman seniman Mora satu departemen saat di kampus dulu, bergabung secara tiba-tiba.

"Enam tahun? Tapi bukannya kalian baru official setahun lalu, or...?" Stefan memiringkan kepala.

"Eh, nggak, nggak." Mora menggeleng cepat. "Sori Sev, kayaknya lo salah ngira."

Sevi mengerutkan kening. "Maksudnya, kamu nggak tunangan sama Syah--"

"Nggak." Mora memotong sebelum nama itu terucap dengan genap.

"Tapi kan dari dulu kalian--"

"Sev." Mora berdeham, tampak semakin tidak nyaman dengan arah percakapan ini. "Lo udah kenal sama Agustinus, belum? Dia yang megang Sugiharto Gallery sekarang."

Mora dengan gesit menarik seseorang lelaki yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Gus, hai, kenalin nih temen seniman gue dari jaman kuliahan dulu, Sevia. Dia jago banget bikin lukisan realism. Lo kemarin bilang masih butuh kontributor buat pameran bulan depan, kan?" Mora tersenyum ramah meyakinkan.

Sevi dan Agustinus pun berjabatan tangan dan mulai mengobrol.

Mora menghela napas, puas karena distraksinya berhasil. Dia lantas melayangkan pandangan dan bersitatap dengan Stefan yang sedang menyesap gelas sampanye, lalu mereka bertukar senyum maklum.

Mora pun melangkah menuju meja prasmanan untuk mengambil minum. Dia butuh penyegar dari situasi absurd barusan. Ditambah lagi, orang yang paling ditunggunya hari ini tak kunjung membalas chat yang dikirimnya beberapa kali sejak tadi. Bahkan dibaca pun tidak.

Mora semakin gusar.

Beberapa tamu pesta silih berganti mengajak Mora berbincang, yang dibalas gadis itu dengan minat yang semakin surut.

Tepat sesaat sebelum Mora mengeluarkan ponsel untuk menelepon, tiba-tiba saja riuh tepuk tangan menyita perhatiannya.

Dari dalam rumah, keluarlah seorang pria berkulit cerah dengan mata sipit, membawa kue tar. Lilin kecil berjumlah 24 batang menyala di atas kue, menerangi wajah pria itu yang tersenyum ke arah Mora.

Mora pun tertawa lega. Pangerannya telah tiba.

Di belakang pria itu, berdiri Mama dan Oren yang ikut bertepuk tangan.

Detik berikutnya, riuh lagu "Selamat Ulang Tahun" yang dinyanyikan seluruh penghuni pesta pun mengudara.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro