Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rumah bercat putih itu berdiri megah sendirian, di tepi bukit permai yang dikelilingi hamparan rumput hijau. Pohon pinus berdiri di sudut-sudut halamannya, bercampur dengan rumput gajah dan batu kali yang ditata menjadi jalan setapak. Embun pagi di Kota Hujan membentuk titik-titik pada jendela kamar tidur, di mana seorang gadis kecil sedang mengelus perut mamanya.


"Adek lagi ngapain ya, Ma?" tanya bocah itu.

"Hmmm... kayaknya dia lagi tidur. Nggak tau juga, masih terlalu kecil buat gerak-gerak." Sang mama membelai rambut anak sulungnya yang dikepang satu.

"Kecil segimana, Ma?"

"Se... mmm, buah kiwi. Kalau hewan, mungkin sekecil tikus."

Mendengar jawaban itu, bocah tadi meringis. "Hiiiiy! Mama hamil anak tikus!"

Sang mama sontak terkejut, namun tak ayal tertawa pada akhirnya. Dia memeluk gadis kecil tadi dengan gemas, menciumi pelipis anaknya sebagai penyaluran cute aggression yang menggebu.

Di tengah keriuhan itu, pintu kamar terbuka. Seorang pria melongokkan kepala. Di tubuhnya terpasang celemek dipenuhi noda bekas cat minyak berwarna-warni.

"Ada apa ini, kok kalian ketawa-tawa nggak ngajak Papa?" protesnya.

"Ini Mama hamil anak tikus, Pa!" ulang bocah tadi.

Pria itu tertawa sambil melepas celemeknya, lalu bergabung di atas ranjang dan mengceup kening istri dan anaknya bergantian. "Kalau si Dedek anak tikus, berarti Mora kakak tikus, dong!"

Tawa kembali membahana di kamar itu.

Gadis kecil tadi, Moraroka, berkata lantang sambil menunjuk hidung papanya. "Papa tikus!"

Sang papa berlagak kaget lalu menoleh pada istrinya. "Waduh, gimana nih Ma, kita jadi keluarga tikus!"

🌲

Beberapa tahun berlalu dengan cepat. Rumah di bukit itu mulai penuh ditumbuhi bunga dan semak yang terawat. Moraroka juga tumbuh menjadi gadis kecil yang lincah dan manis, sementara sang mama sibuk mengasuh adik bayi kecil, Mellizya, dan papa semakin sibuk menerima berbagai orderan mural.

"Mouse mousie, little mousie, hurry hurry do. Or the kitty in the housie will be chasing you...."

Suara nyanyian sang mama mengiringi suapan nasi tim yang masuk ke dalam mulut baby Lizzy, sementara sang kakak, Mora, sibuk tengkurap sambil menempelkan telapak tangannya di kertas HVS.

Lizzy adalah balita yang susah makan. Setiap tiga suap yang masuk, dia akan melepehkan dua kali. Mamanya harus banyak-banyak menyetok rasa sabar, menekan frustrasi, sementara di waktu bersamaan, gadis sulungnya Mora menjerit girang menarik perhatian.

"Sudah jadi, Mama! Ayam dari tangan aku!"

Mora menunjukkan hasil karyanya, sebuah gambar telapak tangan yang di-outline dengan krayon dan ditambahi ornamen jengger, paruh, serta sayap ayam di sisinya. Warna merah, jingga dan hijau menghiasi mahakarya gadis sulung itu.

"Kok kakinya hijau, Kak?" tanya sang mama, membagi perhatian yang terpecah antara dua anaknya.

"Iya, habis nginjek pup," jawab Mora polos.

Sang mama berecak pelan. Lizzy melepeh lagi. "Jangan warnain yang jorok-jorok gitu ah, Kak. Jelek."

Senyum di wajah Mora luntur seketika. Gadis kecil itu tidak cukup peka untuk mendeteksi perubahan mood post partum mamanya yang berkepanjangan. Apa yang dulunya bisa memantik tawa, kini berakhir dengan dengkusan lelah sang mama. Mora kecil hanya bisa kecewa.

Tak lama kemudian, terdengar salam dari pintu depan yang terbuka. Papa baru saja pulang.

"Halo bidadari-bidadariku. Eh, utuk-utuk Anak Tikus, lagi makan ya?"

Papa menyapa Lizzy dan membiarkan Mama mengelap ceceran nasi tim dari pipi bayi itu. Masih ada seperempat nasi tim di mangkoknya, tapi tampaknya sang mama sudah menyerah. Dia membiarkan Papa menggendong Lizzy kecil, lalu lelaki itu berjalan ke arah Mora.

"Tuh, Kakak lagi gambar-gambar tuh. Gambar apa, Kak?" tanya Papa sambil menimang-nimang Lizzy.

"Ayam...," jawab Mora lirih.

"Oya? Coba Papa lihat dong."

Mora mengulurkan lembaran kertas itu dengan pasrah.

"Wow... bagusnya!" puji sang papa, membuat Mora memberanikan diri mendongakkan kepala.

Kepercayaan diri Mora yang tadinya padam, perlahan tersulut kembali.

"Kakinya ijo, Pa," tunjuk Mora. "Habis nginjek pup."

"Wah iya?! HAHAHA!" Papa terbahak sampai menggoyangkan Lizzy di gendongannya. "Out of the box memang otak kreatif kamu ya, Kak!" ujar sang papa sambil mengembalikan kertas Mora.

Pujian bertubi-tubi itu membuat senyuman Mora terbit semakin cerah.

"Kok kamu bisa kepikiran pupnya ayam warna hijau gitu, dari mana Kak?"

Pertanyaan lanjutan dari sang papa membuat Mora dengan semangat menjelaskan temuannya di halaman rumah tetangga yang memelihara ayam kampung, bagaimana kotoran berwarna abnormal itu bisa bertebaran di pekarangan.

Mora menceritakan bahwa kakek pemilik ayam berkata kotoran-kotoran itu adalah 'tai yang belum matang, tapi si ayamnya sudah kebelet eek'.

Hal itu membuat Mora dan papanya terkekeh bersamaan, tidak menyadari sang mama yang membereskan sisa kekacauan di kursi makan Lizzy sambil mengerling dengan pandangan tak suka, kontra dengan pembahasan tai-taian mereka.

Bahkan ketika Mora dan papanya menggagaskan untuk berkunjung ke rumah tetangga demi melihat ayam, sang mama hanya bergumam tanpa minat.

"Mama nggak ikut deh. Lizzy alergi bulu sama debu. Nggak sehat juga tempatnya, kotor. Terserah kalian kalau masih mau ke sana," ucap sang mama sambil merebut pelan Lizzy dari gendongan papanya.

Mora kecil hanya bisa memandang dengan matanya yang polos, bagaimana papanya memaksakan senyum terlepas gurat lelah terukir jelas di wajah. Sepertinya di rumah ini bukan hanya Mora yang sedikit kecewa dengan sikap dingin mama.

"Ya udah," kata Papa sambil merangkul pundak Mora. "Nggak papa kan kita berdua aja?"

Ajakan itu menjadi penawar sekaligus moodbooster instan bagi Mora. Dengan semangat gadis kecil itu mengangguk.

Kejadian itu adalah gambaran bagaimana keluarga Mora berkembang, bertumbuh, dan berubah.

Pada tahun-tahun berikutnya, momen-momen manis ini perlahan mulai dilupakan oleh dua bersaudara itu; Mora dan Lizzy. Memori indah akan tersingkirkan, tertutup dan tertimbun oleh kejadian-kejadian pahit yang akan datang.

Keluarga ini mungkin terlihat sempurna sekarang. Namun, kesempurnaan hanyalah perspektif semu yang menunggu waktu untuk membuka cela.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro