05 · Pre-Interview

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Papa kamu datang nggak ya?"

Pertanyaan itu membuat sendok tiramisu Mora mengambang di udara, digenggam tanpa menyuap.

"Kenapa... nanya itu?" Gadis itu buru-buru menyumpal mulutnya dengan sesuap tiramisu.

"Ya nggak apa-apa sih, soalnya dari dulu kan aku belum officially meet keluarga dari sisi papa kamu. Mereka asal Magelang, kan?"

Aji mengatakan semua itu dengan santai, namun efektif membuat Mora kehilangan selera makan.

"Ya...." Gadis itu menggumam.

"Ya apa? Mereka bakal dateng ke pernikahan kita?"

"Ng...." Gadis itu menggeleng. "Nggak. Maksudku, bener mereka asal Magelang."

Lelaki itu mengangguk-angguk. "Terus papa kamu, sekarang tinggal di Magelang juga?"

Merasa sudah hampir mencapai batas, Mora menelungkupkan sendok kecil tiramisunya lalu tertawa sumbang.

"Hahaha, apaan sih Ji, kamu ini wartawan dadakan, ya? Mau ngelatih aku buat interview nanti?"

Komentar yang tak menjawab pertanyaan itu hanya membuat lelaki itu tersenyum. Sejujurnya, dia tidak suka membuat gadis kesayangannya ini merasa tak nyaman. Maka, dengan lembut Aji menggenggam tangan tunangannya dan menyapukan ibu jari ke punggung tangan gadis itu.

"Daijobu (ya udah). Santai aja ya, nanti pas interview sama media jangan grogi kayak sekarang." Lelaki itu membawa tangan yang ada di genggamannya dan mengecup jemari lentik milik Mora.

Gadis itu hanya membalas dengan senyuman kecut, lalu mengajak Aji untuk menyudahi makan siang mereka.

Sekembalinya ke Sugiharto Gallery, suasana hati Mora kembali melorot tatkala melihat satu titik di dinding galeri.

"Gus... ini...?" Mora menunjuk sambil melemparkan tatapan ke satu sudut ruangan berdinding putih itu.

"Kenapa, kenapa?" Gusti menyahut sambil mengecek ulang ceklis di iPad-nya. "Lantai satu bener dibikin jadi set konferensi pers kan? Terus didekor sama beberapa lukisan yang udah ada, nah itu yang masih---"

"Enggak, ini...." Gadis itu memotong penjelasan sang pewaris galeri. "Yang ini lukisan submit-an siapa? Punya siapa?"

Pandangan Gusti mengikuti mata seniornya yang tertuju pada beberapa kanvas yang belum dibingkai, tertata berjejeran agar tidak menumpuk satu sama lain. Lukisan-lukisan dengan objek yang hampir sama; perempuan dan laki-laki berpakaian tradisional Bali, di berbagai latar belakang mulai dari pantai hingga sawah.

Mora kenal style guratan kuas itu. Teknik hingga tema yang hampir tiap minggu dia lihat progressnya semasa kuliah. Terutama inisial 'S' melingkar yang tertera di setiap sudut lukisan itu, bentuknya masih tak berubah dari yang diingat Mora dulu.

"Oh, itu punya temen lo! Siapa sih namanya, yang lo kenalin pas di garden party kapan hari itu loh! Sendy... Seli... Selena...."

"Sevia?" tebak gadis itu.

"Nah! Ya, dia! Duh, saking banyaknya nama kontributor jadi pikun nih gue. Anyway, temen lo si Sevi-Sevi itu oke juga loh! Paling gercep dan nggak ribet pas submit karya."

"Ooh." Mora menggumam sekilas. Fakta ini baru. Dan sedikit mengganggunya.

Dia tidak terlalu suka ada orang dari masa lalu yang tiba-tiba muncul di kehidupannya, juga tidak menyangka bahwa basa-basi di pesta ulang tahunnya akan berdampak sejauh ini.

"Ya udah." Gadis itu mengibaskan tangan, seakan mengusir pikirannya sendiri. "Lo atur aja deh, Gus. It's your responsibility anyway."

🌲

Konferensi pers Sugiharto Gallery berjalan dengan lancar. Pak Sugiharto, pemilik galeri tempat Mora mencari penghidupan dan inspirasi, mengisi acara dengan kalem dan kharismatik. Setiap pernyataan dan kalimatnya akan menjadi tajuk yang menarik untuk dikutip dalam judul artikel garapan para wartawan yang hadir.

"Terima kasih kepada para narasumber, Bapak Sugiharto Trihatmodjo selaku pemilik Sugiharto Gallery, Bapak Imanuel Cokro dari Cokro Group selaku sponsor utama, juga kepada rekan-rekan media yang sudah bergabung pada sore hari ini."

Suara moderator yang diamplifikasi pengeras suara itu membahana di lantai pertama Sugiharto Gallery.

"Sebelum press conference resmi ditutup, kami persilakan teman-teman media untuk memanfaatkan sesi foto bersama para narasumber."

Mora menepi dari keramaian, memperhatikan bagaimana para wartawan dan jurnalis mengerubungi panggung kecil untuk memotret Pak Sugiharto, Agustinus, dan lelaki yang sering dipanggil Pak Manu, sahabat karib pemilik galeri sekaligus pengucur dana untuk pameran ini.

Gadis itu yakin, tak butuh waktu hingga malam untuk melihat artikel dan berita tentang pameran di galeri ini bertebaran di jagat maya.

"Permisi, Kak Moraroka?"

Salah satu wartawati dengan kamera DSLR yang dikalungkan menghampiri Mora.

"Ya? Oh, Mbak ini... Mbak Rasti yang dari ONews itu, ya?" sambut gadis itu dengan senyum ramah.

"Iya, betul, yang DM-an sama Kak Mora kemarin-kemarin itu."

"Oooh, iya iya." Mora menyambut jabatan tangan wartawati itu.

"Mau langsung mulai wawancarnya sekarang aja, Kak?" tanya Rasti tanpa basa-basi.

Mora melirik ke sudut galeri, tempat lukisan-lukisan miliknya digantung, tertata dan berbingkai kayu pinus yang kokoh.

Barisan karya dengan dominasi warna hijau, biru dan ungu itu bergurat sematan nama Moraroka yang di sudut-sudut bawahnya, menandakan bahwa lukisan-lukisan itu memang terlahir dari tangannya.

Gadis itu menghela napas lega karena Gusti tidak mengacaukan sudut artistik miliknya.

"Boleh, Mbak. Ayo." Mora menuntun Rasti ke dekat barisan dinding karyanya.

Sejenak wartawan itu terpekur melihat hasil tangan seniman di hadapannya. "Saya merasa beruntung bisa jadi orang yang ngelihat lukisan Kak Mora duluan sebelum pameran dibuka," ucapnya.

Mora tersenyum lalu mengucap terima kasih. Rasti pun mengeluarkan ponsel dan meminta izin untuk merekam percakapan mereka, yang dijawab dengan anggukan oleh gadis itu.

Sebagai salah satu program promosional pemeran galeri, Pak Manu dengan koneksinya telah memberi akses untuk beberapa wartawan dan jurnalis untuk mewawancarai setiap seniman yang berkontribusi dalam pameran ini.

Khusus ONews, Mora mendapat bocoran bahwa konsep promosi dan dokumentasi mereka merupakan video pendek bernarasikan hasil wawancara dengan seniman terkait, dengan latar belakang hasil karya mereka dan juga figur si pelukis di depan sudut atristiknya.

Karena pameran baru dimulai dua hari lagi, Mora yang berstatus sebagai pengurus sekaligus kontributor mendapat giliran lebih awal ketimbang seniman-seniman lainnya, yang akan diwawancara selama pameran berjalan.

"Baiklah, kita mulai dari yang paling umum dulu. Sebagai seniman yang juga berkecimpung mempersiapkan pameran ini, bisa nggak sih Kak Mora ceritakan sedikit kenapa pameran tahun ini bertajuk 'Rendezvous', dan apa artinya buat seniman yang terlibat di dalamnya?"

Wartawati itu memulai pertanyaan dengan mikrofon ponselnya yang terangkat ke arah Mora. Butuh dua detik gadis itu mencerna pertanyaan Rasti, sebelum dia mengangguk tanda siap menjawab.

"Oke, jadi rendezvous ini sebenarnya istilah yang diangkat dari bahasa Perancis, yang artinya 'pertemuan'. Lebih tepatnya, titik temu yang sudah disetujui, kayak waktu dan tempat yang dijanjikan gitu. Jadi, kita sebagai panitia menentukan satu tema tersebut, dan membiarkan seniman-seniman berbakat kepercayaan Sugiharto Gallery untuk berkreasi seputar tema itu dalam jangka waktu delapan bulan terakhir."

"Wow, delapan bulan?" Wartawati itu terkesiap.

"Yap. Selama pandemi, kita sengaja ngasih waktu yang panjang supaya para seniman bisa mengekspresikan bakat mereka tanpa diburu-buru. Great things takes times, bukan?" ucap Mora.

Rasti mengangguk. "Menarik. Jadi, Kak Mora juga sudah menyiapkan karya-karya ini dari delapan bulan lalu?"

"Betul. Pada pameran Rendezvous tahun ini, saya hadir dengan enam karya lukis. Semua ada di sini, disusun berurutan dari timeline saya mengerjakannya."

Mora menunjuk pada lukisan-lukisan di belakang mereka. Rasti mengangguk sekali lagi dan meminta sang empunya untuk menjabarkan hasil karyanya satu per satu. Mora pun mundur selangkah untuk memberi Rasti ruang, lalu gadis itu mulai menjelaskan dengan lancar setiap karyanya; apa judulnya, makna di dalamnya, hingga proses kreatif di balik setiap lukisan itu.

Hampir seluruh lukisan menggambarkan tempat. Lokasi yang dihiasi dengan lampu, gedung, dan guratan abstrak serupa rumput dan bukit. Beberapa objek manusia yang ada hanya menjadi siluet pengisi, bukan fokus dari karyanya.

Semuanya berpadu dalam kanvas yang silih berganti menarik perhatian Rasti di tengah-tengah wawancara mereka.

"Seperti yang Mbak tau, saya penganut surealisme akut. Saya suka memadukan objek dan lokasi dunia nyata dengan imajinasi di dalam kepala saya, therefore...." Gadis itu membuka tangan di hadapan salah satu lukisannya, seakan menunjukkan hasil kalimat tadi pada Rasti.

"Ooo." Rasti kembali mengangguk. "Tapi Kak Mora, kemarin waktu saya riset, saya nemuin beberapa dokumentasi karya debut Kak Mora empat tahun lalu. Dan itu... beda banget sama karya-karya Kakak yang sekarang."

Wartawan itu masih memandangi lukisan-lukisan tadi, lalu melanjutkan pertanyaannya.

"Alasan apa yang membuat karya Kak Mora jauh berbeda, antara saat debut dulu dan sekarang?"

Kali ini pertanyaan Rasti membuat narasumbernya tertegun. Gawai yang dipegang wartawati itu merekam beberapa detik yang hening, sampai akhirnya Mora berhasil mengumpulkan pikirannya dan menjawab dengan penuh percaya diri.

"Saya cuma bisa bilang, kalau karya seni merupakan cerminan dari kehidupan senimannya. Jadi bisa disimpulkan sendiri kalau kehidupan saya yang dulu itu... sepi, bland, tawar, dan sangat terasa amatir, sementara sekarang itu jauh lebih... meriah."

Mora melihat sekilas pada lukisannya yang digantung di dinding. Gemerlap, imbuhnya dalam hati.

"Wah, menarik banget." Rasti berkomentar, puas. "Kalau berkenan, kita masuk ke pertanyaan yang lebih personal seputar kehidupan Kak Mora. Boleh?"

"Oh, iya. Silakan."

Gadis itu kembali tersenyum pada Rasti, sepenuhnya yakin kalau apa yang wartawati itu tanyakan akan berhubungan dengan Aji.

Tidak sekali dua kali wartawan infotaimen bisnis menanyakan klarifikasi hubungannya dan sang tunangan, terlebih di waktu mereka baru lamaran dulu. Pebisnis muda dan seniman yang sedang naik daun memang perpaduan yang cukup menarik untuk digoreng media.

"Saya dengar, Kak Mora sudah melukis sejak kecil. Apa sih, alasan yang membuat Kak Mora melukis untuk pertama kali?"

"Ya?" ulang Mora, terkejut.

Dia tak menyangka pertanyaan ini yang keluar. Sebuah pertanyaan simpel dan mendasar, namun sangat enggan Mora sentuh.

Sebab jawabannya, sungguh-sungguh ingin dia lupakan.

Pada penasaran nggak sama lukisan karya Mora di bab ini?

Nih, yang sekarang kira-kira begini:

Terus coba bandingin sama lukisan debut Mora empat tahun lalu, yang di-mention pas wawancara:

Kira-kira hal apa ya, yang bikin Mora ngubah art style-nya sebegini drastis? 🤔

Ada yang punya teori?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro