06 · Post-Interview

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa yang membuat Kak Mora melukis untuk pertama kali?" ulang Rasti sambil mendekatkan gawai yang sedang merekam.

Mora berkedip. Sekali, dua kali.

"Oh... itu...." Gadis itu pun berdeham. Ini bukan pertama kali dia mendapat pertanyaan serupa. Tentang asal-usul, yang paling membuatnya enggan.

"Saya... pertama kali melukis itu, karena... ayah saya."

Hening menyusul selama beberapa detik. Tampaknya Rasti berharap narasumbernya akan melanjutkan jawaban itu, menjelaskan lebih detail. Namun yang didapatnya hanya udara kosong. Dead air.

"Oke...." Jurnalis itu memutar otak. Sepertinya dia harus melempar umpan agar seniman di depannya mau bicara lebih banyak.

"Saya pernah baca di beberapa artikel lama, kalau ayah Kak Mora memang pelukis, benar? Jadi, apakah dari situ bakat seni Kak Mora muncul? Karena belajar dari ayah sendiri?"

Pancingan yang dilempar Rasti butuh sedikit waktu untuk direspons oleh gadis itu, seakan gadis itu perlu menata ulang bagaimana kata-kata dalam kepalanya itu akan keluar, dikemas untuk konsumsi publik. Bungkus yang bagus.

"Ya. Sedari kecil... saya sudah melihat ayah saya melukis. Hadiah pertama yang saya terima bukan mainan, melainkan buku gambar dan krayon. Ayah juga sering mengajak saya mencoba berbagai media. Melukis di kain, pot bunga, dinding, papan triplek...."

Dia menelan ludah, seakan butuh jeda napas tambahan untuk melanjutkan jawabannya.

"Jadi, yah... begitulah. Apa jadinya saya sekarang, itu semua berawal dari ayah saya."

"Begitu ya? Manis sekali." Rasti tersenyum puas dengan jawaban gadis itu. Narasi panjang dan menyentuh itu akan menjadi voiceover yang bagus dalam video promosi nanti.

"Terus sekarang, apa Kak Mora masih sering melukis bersama Ayah di rumah?"

Mora menghela napas. Rasanya wawancara ini semakin lama semakin berat saja.

"Nggak. Kami lost contact hampir sepuluh tahun. Ayah sama ibu saya bercerai waktu saya SMP."

Kali ini jawaban yang didapat sukses membuat Rasti tercengang. Kenapa dia bisa lupa mencari tahu detail sekrusial ini? Apakah memang Moraroka terlalu rapat menyembunyikan polemik keluarganya?

Sebagai jurnalis profesional, dengan cepat dia mengendalikan diri. Dia melirik sekilas pada gawai yang masih menunjukkan angka waktu rekaman.

"Baik. Makasih sekali Kak Mora sudah mau terbuka masalah itu. Terakhir nih, ada nggak keinginan Kak Mora untuk ketemu lagi sama ayahnya? Kalau misal ayah Kak Mora lagi nonton ini, Kak Mora mau menyampaikan apa?"

Mora memejamkan mata sejenak, bersyukur karena Rasti hendak mengakhiri wawancara sialan ini.

Dengan satu tarikan napas, gadis itu berkata, "Semoga bahagia dengan kehidupan yang sekarang."

🌲

Langit Jakarta sudah menggelap saat Mora akhirnya selesai dengan segala tetek bengek perisapan pameran.

Setelah wawancara, dia kembali memastikan susunan display lukisan di lantai satu dan dua. Gusti merupakan orang yang bertanggungjawab dengan hal itu, tapi dia masih belum sreg kalau tidak melakukan double check.

Malam itu dia tidak pulang ke rumah Bogor, tempat mama dan adiknya tinggal. Gadis itu lebih memilih menginap di tempat Oren. Dia terlalu lelah untuk menempuh perjalanan satu jam dengan GoCar, atau lebih parahnya jika harus berdesakan di kereta, menjadi pejuang commuter line sampai stasiun Bogor.

Gerimis turun perlahan saat Mora menunggu mobil Aji di depan parkiran galeri. Tunangan yang memimpin perusahan itu harus rela berganti profesi menjadi supir langganan tiap kali Mora menghabiskan malam di Jakarta.

"Hai Cantik, kenapa ngelamun? Nanti kamu basah. Hujannya udah mulai deres nih."

Suara Aji memanggil dari jendela mobilnya. Gadis itu mengerjapkan mata, lalu buru-buru berjalan cepat untuk masuk ke mobil itu.

"Maaf, maaf," gumam Mora sambil memasang sabuk pengaman. Dia tidak sadar sempat melamunkan wawancara dengan Rasti tadi. Pertanyaan yang mengingatkan Mora pada berbagai momen di masa lalu. Masa yang sungguh berbeda.

"Are you okay?" tanya Aji.

"Ya. Baik." Gadis itu menjawab tanpa melihat lawan bicaranya.

"Lemes banget muka kamu. Udah makan malam? Kita cari makan dulu yuk."

"Nggak usah. Langsung ke rumah Oren aja."

"Are you sure?" Aji tampak mulai khawatir.

"Ya." Mora berdeham. "It's just... aku capek banget, mau cepet istirahat."

Lelaki itu kembali menelisik air muka tunangannya. Gadis bertubuh ramping dengan wajah manis itu tampak cantik sekali, namun juga kelelahan. Bayangan hitam mulai tampak samar dari kantung matanya yang seharian ini ditutupi concealer.

"Oke. Berarti besok pagi aku jemput lagi dari rumah Lauren, terus kita sarapan sebelum ke galeri. Deal?"

Mora mengangguk cepat-cepat mendengar tawaran Aji. "Ya," imbuhnya.

Dan mobil itu pun berjalan lurus menembus kepadatan jalan Jakarta. Mora tau, setidaknya mereka akan membuang 40 menit waktu perjalanan terjebak macet. Dan dalam kurun waktu tersebut, gadis itu akan memejamkan mata, terlelap di kursi sebelah Aji.

🌲

"Sayang, udah sampai."

Merasakan pipinya ditepuk pelan oleh Aji, gadis itu pun membuka mata. Pagar rumah megah Oren yang terletak di Pondok Indah menyambut pandangannya.

"Oh, ya...." Mora mengumpulkan kesadaran sambil membuka sabuk pengaman, lalu meraih tasnya. "Kamu mau mampir dulu?" tawarnya pada lelaki itu.

"Nggak usah, aku harus cepet pulang buat kroscek materi besok. Big meeting with a big client, aku udah cerita kan?"

"Oh, iya iya." Mora tidak ingat klien yang mana yang dimaksud Aji, tapi gadis itu tidak terlalu peduli. "See you besok, then."

Gadis itu maju untuk mengecup pipi pangerannya, lalu keluar dari mobil.

Mora disambut Oren yang tidak bebas berbicara, karena wajahnya disandera sebuah sheet mask.

"Itu ngapain? Routine lo tiap minggu atau endorse-an?" Gadis itu menunjuk wajah Oren, sambil menjatuhkan bokongnya di sofa super empuk ruang TV sahabatnya.

"Huwa-huwanyha," balas sang nona rumah dengan sedikit terbungkam.

"Dua-duanya?" ulang Mora. Oren mengangguk.

Gadis itu pun tak berkomentar lebih panjang. Dia paham sisi lain dari pekerjaan sahabatnya yang terlihat glamor di permukaan, namun sesungguhnya tak jauh beda dengan kelinci percobaan brand-brand kecantikan dalam praktik nyatanya.

Beauty is, indeed, a pain.

Dua perempuan itu lantas memfokuskan perhatian mereka pada layar TV yang sedang menayangkan sebuah seri yang diikuti Oren di Netflix, Inventing Anna.

Setelah satu episode berlalu, Oren menekan tombol pause di remotnya. Perempuan itu bangkit dan memberitaku Mora dengan gerakan tangan di depan wajahnya, bahwa dia akan cuci muka.

Mora mengangguk tanda mengerti, sambil meraih ponsel di dalam tasnya. Gadis itu mendapati mamanya mengirimi pesan, menanyakan apakah Mora jadi menginap di rumah Oren, dan jika iya, Mama akan mengunci pintu depan.

Gadis itu pun mengembuskan tawa, pelan. Meski sering digelanyuti rasa cemas dan takut berbuat salah, namun terkadang ada sebersit kehangatan yang terasa saat melihat mamanya masih memperlakukan dia seperti anak kecil, terlepas tahun-tahun belakangan ini, Mora-lah yang malah berganti peran sebagai 'orang tua' yang memenuhi segala kebutuhan keluarga.

Sambil menatap layar TV yang terjeda, pikiran Mora kembali melayang. Pada wawancara siang tadi, pada mamanya, dan pada keluarganya.

Gadis itu hanya bisa mengingat samar-samar momen ketika dia kecil, Lizzy baru belajar jalan, dan papanya yang masih sering menjemur lukisan-lukisannya di halaman rumah.

Keluarga kecil mereka terberai saat kehidupan mulai menggedor batas ketabahan Mama. Tekanan finansial yang terus memberatkan, pemasukan Papa yang sebagai pelukis mural dengan bayaran tak seberapa, dan omongan keluarga besar Mama yang sedari awal tak setuju dengan pernikahan mereka akhirnya mampu menghancurkan pertahanan Mama. Wanita itu menyerah.

Perceraian panjang yang memakan waktu berbulan-bulan pun terjadi.

"Nek, udah makan belom lo?" Suara Oren menyadarkan Mora yang masih melamun.

"Eh, oh...." Gadis itu buru-buru menyapu gumpalan air mata yang tak sempat jatuh. "Belum. Gue nggak laper, Mak."

"Yakin?" Oren menatap Mora sambil berkecak pinggang. Wajah perempuan itu tampak lembab oleh lapisan skincare.

"Iya. No worries," jawab Mora.

"Oke." Oren mengangkat bahu dan ikut duduk di sebelah Mora, lalu lanjut menonton seri yang terjeda tadi.

Beberapa detik berlalu, tiba-tiba Oren berkata lagi. "Kalo entar laper, bikin mi sendiri ya Nek."

"He'em." Mora menjawab acuh.

Tanpa disadari oleh gadis itu, Oren diam-diam melirik ke arah Mora. Ke tubuh Mora yang ramping dan mungil.

Dalam hati, Oren membatin untuk memperketat dietnya sendiri. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro