07 · Old Friend, New Life

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pada hari pameran dimulai, Mora bangun dan merenggangkan badan di ranjang kamar tamu rumah sahabatanya.

Setelah mandi dan bersiap-siap, gadis itu turun dari lantai dua dan disambut Oren di sisi meja makan dengan sarapan yang sudah tersaji, menandakan asisten pribadi selebgram itu sudah bekerja sepanjang pagi untuk menyiapkan ini semua untuk mereka.

"Mau nasi uduk apa nasi goreng, Nek?" tanya Oren begitu melihat sahabatnya.

"No thanks, gue sarapan bareng Aji," jawab Mora.

"Cih. Bucin." Nona rumah berdecak sambil menggigit roti bakarnya. Perempuan itu lalu meneliti sahabatnya dari atas ke bawah, menilai penampilannya.

Merasa diperhatikan begitu, gadis yang sedang membalas pesan tunangannya itu langsung menurunkan ponsel. Dia lantas balas menatap Oren.

"Baju gue aneh ya, Mak?" tanya Mora. Keraguan terdengar jelas di nadanya.

Sang nona rumah menggeleng. "Nggak kok."

Setelan yang dipakai Mora adalah blazer cokelat muda dan celana kain berwarna senada, membalut kemeja putih berpotongan kerah segitiga. Elegan.

"Terus, apa? Makeup gue? Atau rambut?"

Gadis itu semakin resah. Dia menyentuh rambutnya yang dikepang french braid tunggal dengan susah payah, juga melontarkan pandangan sekilas pada pintu kulkas dapur yang berfungsi layaknya cermin, memantulkan bayangan wajah Mora yang dibalut riasan tipis dan tampak cemas.

Hari ini Mora mempercayakan penampilannya pada cushion, maskara alis, serta eyeliner tipis dan lipstik nude. Tak ada warna mencolok yang mendominasi, sebab dia ingin perhatian pengunjung terarah pada warna-warna di kanvas lukisannya, bukan di wajahnya.

"Nggak kok, lo udah oke." Oren memberikan validasi yang membuat sahabatnya menghela napas lega.

"Oke deh kalo gitu. Gue...." Mora melirik pada ponselnya yang menyala, ada panggilan masuk dari Aji. "Gue pamit dulu, Mak. Aji udah di depan. See you at lunch?"

"Sure," jawab Oren sambil kembali mengunyah roti bakarnya, melepas sahabatnya yang bergegas keluar untuk menyambut sang pangeran.

Selepas Mora hengkang, sang nona rumah melirik nasi uduk di hadapannya yang masih beruap, hangat. Perempuan itu lantas menaruh roti bakarnya yang baru tergigit setengah.

Napsu makannya sirna setelah melihat perawakan Mora dengan setelan formal dan celana yang memeluk kaki serta bokongnya tadi. Semua yang menempel pada tubuh gadis itu, meskipun simpel dan sederhana, tapi terlihat pas. Sempurna. Terlalu sempurna.

Sambil meneguk jus jeruk, Oren merutuk dalam hati. Apa sekalian saja dia tidak perlu sarapan agar bisa menyaingi bentuk tubuh sahabatnya sendiri?

🌲

Sugiharto Gallery masih tergolong sepi saat Mora tiba.

Setelah melahap bubur ayam perempatan, gadis itu di-drop oleh Aji yang langsung berpamitan, meluncur ke tempat meeting besarnya.

Ketika gadis itu menapakkan kaki di lantai pertama galeri, pandangannya langsung bersirobok dengan seseorang yang hendak berjalan ke pintu keluar.

"Moraroka?" sapa perempuan itu.

"Sevi...." Mora menggumam pada teman lamanya.

Sevia tersenyum dan melambaikan tangan, maju selangkah untuk memulai percakapan.

"Apa kabar? Pas terakhir aku ke pesta ultah kamu, kita nggak sempet ngobrol banyak. Makasih ya, udah ngenalin aku sama Mas Gusti. Akhirnya karya kita bisa digantung satu atap lagi."

Mora tersenyum tipis. "Ya. Well, my pleasure."

Sebersit rasa bersalah menyeruak di batinnya.

Dulu, dia dan Sevi kerap melukis bersama di studio kampus. Dia juga sering mengandalkan Sevi setiap kali berurusan dengan kelas perkuliahan, menanyakan tugas, bahkan sesekali menitip absen. Sevi adalah teman kelas yang paling ringan memberikan bantuan.

Setidaknya, kini Mora bisa membalaskan bantuan kecil untuk teman lamanya itu. Meskipun secara tidak sengaja.

"Oh, Mora, aku duluan ya." Teman lamanya itu menunjuk pada seseorang di balik punggung gadis itu.

"Okede... eh, loh? Mbak Rasti?" Mora menoleh dan mendapati wartawan itu berjalan masuk dari pintu galeri.

Perempuan yang mengalungi kamera DSLR itu tersenyum dan melambai ke arah mereka. Setelah bertegur sapa dan mengobrol singkat, Mora melepaskan Rasti dan Sevi untuk sesi wawancara mereka sendiri. Mumpung pamerannya belum dimulai, begitu kalimat terakhir wartawati itu.

Mora lantas berkeliling, mengecek pekerjaan beberapa staf katering yang menyiapkan sajian untuk para tamu pameran, menyapa seniman lain, dan terakhir mencari Gusti untuk memastikan tidak ada masalah. Sejauh ini, meski kadang tersandung sedikit kerikil, ternyata pewaris utama Sugiharto Gallery itu sudah mulai bisa beradaptasi dengan tanggung jawab barunya.

Tepat tengah hari, setelah mengisi amunisi dengan makan siang bebek peking bersama Oren, Mora menjadi saksi dibukanya pameran ini dengan kata sambutan oleh Pak Sugiharto sendiri.

Seketika, gadis itu beralih tugas dari penanggung jawab menjadi seniman yang harus stand by di sekitar karya-karyanya, menyambut tamu dan pengunjung yang selalu punya pertanyaan untuknya.

Menjelang malam, ketika tamu pameran sudah mulai menipis, Mora tersenyum lebar menyambut kedatangan tamu istimewa: Aji, yang datang bersama Stefan.

"Wah, ada kehormatan apa ini, kok orang-orang penting Funance mampir kemari semua? Ada CEO, ada BA juga. Hai."

Mora menyapa dua lelaki itu dengan candaan ringan, yang disambut oleh Stefan, sang brand ambassador, dengan tawa dan jabatan tangan, sementara Aji langsung melingkarkan tangannya di pinggul Mora.

"Oh, it's nothing, Babe. Gue cuma disuruh sama Bos Besar buat dateng ke pameran lo." Stefan melirik ke arah Aji dengan kerling jenaka. "And also, I need some new paintings. Bokap gue butuh hiasan buat dinding vila barunya di Bali."

Mora menyenggol rusuk Aji, tanda melayangkan 'terima kasih' tanpa ucapan verbal. Bahasa cinta.

Gadis itu lantas berucap pada calon pembelinya. "Gue ada, Stefan. Bisa cek langsung, nih. Semuanya on sale. Eh... kecuali yang pojok itu, satu, udah di-book sama temennya Pak Manu tadi."

Stefan kini memusatkan perhatian pada lukisan-lukisan Mora, sedikit maju dan merunduk untuk mendekatkan pandangannya. "Hmmmm...."

"Gimana?" tanya Mora setelah semenit penuh Stefan mengamati lukisan gadis itu, satu per satu.

"Well... it's nice. Tapi beda banget yah, sama lukisan lo yang dulu-dulu?"

Komentar Stefan dengan nada lembut itu sedikit menghapus senyum Mora.

"Yah... katanya kan the only constant in life is change. Perubahan itu hal yang mutlak toh?" Gadis itu berdeham. "Tapi... ummm... lo nggak suka, ya?"

"Oh, no, no, Darling!" Stefan melambai dramatis. "Change is good, it is! Gue suka lukisan lo yang sekarang kok, it's unique. Cuma, gue nyarinya tema lukisan yang... asri, gitu. Yang damai, hijau, permai."

"Ah." Mora mengangguk. Meskipun lukisan miliknya juga dibubuhi warna hijau, tapi sama sekali jauh dari kata damai. Corak warna yang Mora tuangkan pada karya-karyanya tahun ini lebih terkesan ramai.

"Ouh, kayak gitu tuh!" Stefan tiba-tiba berseru sambil menunjuk ke sudut lain ruangan. "Sorry, Babe, tapi yang gue cari kurang lebih yang kayak gitu. Vibes-nya pedesaan, buat di vila kan, apa lagi di Bali, so...."

Stefan melemparkan senyum bersalah ke arah Mora, yang dibalas dengan anggukan maklum oleh gadis itu, sebelum lelaki itu kemudian undur diri untuk mendatangi sudut artistik pilihannya tadi.

Mora mengikuti dengan matanya, bagaimana Stefan mendatangi seniman yang langsung menyambutnya dengan senyum lebar. Mereka tampak bertukar sapa, yang meskipun tak sampai ke telinga Mora, tapi gadis itu yakin mereka membicarakan hal yang sama.

Kamu yang waktu itu ada di pesta ulang tahunnya Moraroka, kan?

Pasti begitu pertukaran interaksi antar mereka. Stefan dan Sevia.

"You okay, Sayang?" suara Aji menenangkan gemuruh otak Mora yang mulai berkelana jauh.

"Ya..." jawab gadis itu. Dia menatap wajah Aji yang memberikan senyum simpati, merasakan telapak tangan lelaki itu mulai menggosok lengannya.

"Maaf karena aku bawa calon pembeli yang PHP, ya? Si Stefan biasanya nggak gitu. Dia biasanya suka belanja."

Mora terkekeh. "Nggak apa-apa kok. Memang bukan selera dia kali, karya-karyaku tahun ini."

Mendengar itu, Aji pun mempererat rangkulannya pada pundak Mora.

🌲

Jarum jam mengarah ke angka sembilan. Mora membereskan tasnya sementara Aji disandera oleh pemilik galeri, Pak Sugi, untuk mengobrol tentang proyek kolaborasi mereka di masa depan.

Saat hendak meninggalkan lantai galeri, Mora menyempatkan berhenti di sudut artistiknya. Dia memperhatikan lukisannya yang sudah terjual dua buah pada malam ini, bersyukur karena harga yang dibayarkan akan mampu menanggung hidup keluarga Mora hingga beberapa bulan ke depan.

"Kamu makin jago, Mora...." Sebuah suara membuat gadis itu menoleh.

"Sevi? Belom balik?"

Teman lama Mora itu menggeleng. Dia lalu kembali memperhatikan lukisan di hadapan mereka sebelum lanjut berkomentar, "Beda banget ya, sekarang. Teknik yang kamu pakai makin rumit juga."

Mora tersenyum. "Kamu... tetep sama," ucapnya.

Sevi tersenyum. "Aku udah nyaman sama style-ku. Udah nemu jiwanya. Aku harap kamu juga ngerasain itu sama style kamu yang sekarang."

"Makasih." Mora kesulitan menelan ludah.

Beruntung detik berikutnya, Aji tiba menyelamatkan, mengajaknya pulang.

Sepanjang perjalanan di mobil Aji, Mora merenung. Dia tidak pernah berniat melibatkan teman lamanya, terutama teman-teman dari kampusnya, di kehidupannya yang sekarang.

Cara aman membatasi mereka sebagai guest list di pesta ulang tahun dan follower sosial media ternyata tak cukup untuk membendung jalan semesta, membuka keterkaitan mereka pada hidup Mora.

Sepertinya, Mora tidak bisa memanipulasi takdir, membatasi siapa saja orang dari masa lalu yang ingin dia tinggalkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro