08 · Her Very Own Place

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perbedaan mencolok antara pagi di Jakarta dan di Kota Hujan ada pada tetesan embun yang mengudara, cuaca dingin yang segarnya menusuk dada, juga suara cuitan burung yang hinggap di pohon-pohon sepanjang jalan menanjak ke rumah keluarga Mora.

"Pagi Kak, kok baru turun? Mau sarapan? Hari ini kamu ke galeri? Pameran masih jalan kan?"

"Iya, Ma." Satu kalimat itu menjadi jawaban dari berondongan pertanyaan mamanya.

Mora sedikit curiga kalau kebiasaan mamanya yang suka mengoyak anak-anaknya untuk beraktifitas di pagi hari tak akan luntur sampai dia tua nanti, terlepas dari profesi Mora yang lebih terkesan santai dan tidak terpaut begitu erat dengan waktu dan rutinitas, tidak seperti pekerja pada umumnya.

"Mama udah masakin nasi goreng, nih. Tolong bangunin adik kamu ya Kak, kita sarapan bareng."

Mendengar itu, Mora langsung mendengkus kesal dan hendak melayangkan protes. Beruntung pada detik berikutnya, Lizzy sudah turun dan bergabung di ruang makan dengan sendirinya.

Sambil sekilas melirik adiknya yang hadir dengan rambut pendek berantakan, kantung mata bertumpuk hasil dari bergadang, juga earphone yang menyumpal telinga, Mora menerima piring nasi goreng dari mamanya dengan satu tangan.

"Mama jadi dateng ke pameran aku hari ini?" tanya Mora di tengah sarapan mereka.

Mamanya adalah satu-satunya orang yang cukup pantas untuk diajak bicara, sebab jika menegur Lizzy, Mora harus usaha ekstra memanggil adiknya itu untuk melepas earphone. Benar-benar merepotkan.

"Mmmmm, liat nanti ya Kak. Mama ada pesanan katering lumayan banyak. Itu loh, untuk acara sunatan anaknya Bu Nanik."

"Oooh." Mora menyumpal mulutnya dengan nasi goreng.

"Maaf ya, Kak. Mungkin besok atau lusa? Pameran kamu masih jalan sampe hari Minggu, kan?"

"He'eh," jawab Mora santai sambil terus mengunyah.

Dia sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan kehadiran sang mama. Toh sudah jadi rahasia umum dari dulu, kalau wanita yang melahirkannya ini jadi sedikit alergi dengan karya seni sejak bercerai dari Papa.

"Kalau...."

Tiba-tiba suara Lizzy yang lirih terdengar, membuat Mora seketika menoleh. Adiknya itu sudah melepas earphone dan sedang memutar-mutar sendok di jarinya.

"Kalau nanti aku mampir ke pameran Kakak, boleh... nggak?" Lizzy bertanya takut-takut. Matanya terarah lurus ke piring nasi goreng alih-alih pada Mora.

Dalam hati Mora menggerutu, jengkel dengan manner adiknya yang bahkan tidak bisa menatap langsung lawan bicara.

"Terserah," ucap Mora beberapa detik kemudian, lalu kembali menyuap nasi goreng.

Tak ada jawaban apa-apa dari Lizzy, selain helaan napas lega.

🌲

Matahari sudah tinggi saat Mora beranjak keluar dari rumahnya. Bangunan putih itu melepaskan anak sulung yang sudah berdandan rapi, siap untuk pergi ke galeri tempat kerja kerasnya selama berbulan-bulan sedang dipamerkan.

"Titip salam buat Aji sama Lauren ya, Kak!" Suara Mama melengking dari dalam rumah.

"Yaa! Aku berangkat, Ma!" balas Mora tak kalah kencang.

Hari itu dia akan menempuh waktu dua jam menggunakan kereta, menjadi pejuang commuter karena tidak ingin mengganggu jadwal Aji yang sibuk.

Sekilas Mora melirik pada satu bangunan yang berada tak jauh dari bangunan utama rumahnya, menyempil di sudut halaman belakang.

Paviliun kecil yang berdinding kayu, menyepi di bawah naungan pohon mahoni yang rimbun. Bangunan itu adalah gudang yang menjadi studio seni Mora, dulu, sebelum bekerja di Sugiharto Gallery.

Mora buru-buru membuang muka, seakan enggan bersitatap lama dengan paviliun itu. Terlalu banyak memori tersimpan di sana, ditutup dan dikunci hingga berdebu.

Gadis itu pun melangkahkan kaki ke luar halaman, di mana sebuah ojek daring sudah menunggunya, siap membawanya menuju stasiun Bogor.

🌲

"Kirain nggak bakal dateng hari ini."

Agustinus menyambut Mora dengan senyum lebar begitu gadis itu menapakkan kaki di galeri.

"Kesiangan ya gue?" balas Mora dengan nada bercanda.

Pasalnya, waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Mora barusan menyempatkan mampir ke kantor Aji, menghabiskan waktu makan siang bersama di kafetaria gedung kantor tunangannya itu.

Gusti terkekeh sambil menunjuk ke dalam galeri. "Kayaknya lo nggak dateng juga nggak papa deh. Semuanya udah under control, aman jaya sentosa."

"Thanks, Gus," ucap Mora ringan memberikan validasi atas kerja keras Gusti, membuat lelaki itu tersenyum bangga.

Dia mulai percaya Gusti, yang perlahan tapi pasti menunjukkan kemampuannya memimpin pameran bersama beberapa volunter yang menjadi staf sementara. Tampaknya, kinerja Gusti melejit cukup signifikan karena ocehan Mora selama berminnggu-minggu.

Kini, alur pameran di galeri bisa berjalan semi autopilot setelah pembukaan, tidak mewajibkan setiap kontributor untuk siaga di dekat karya-karya mereka karena Gusti bisa mengatasi semuanya---mulai dari tur kecil hingga negosiasi harga lukisan.

Demikian, Mora bukan hanya kontributor biasa. Sebagai penanggung jawab yang masih peduli dengan keberlangsungan galeri ini, Mora merasa salah kalau lepas tangan sepenuhnya, berleha-leha di rumahnya sendiri.

"Gus, kalau butuh gue cari di studio ya," ucap Mora saat meninggalkan Gusti yang sedang mengomando staf katering di lantai bawah.

"Ya, ya," jawab Gusti di tengah kesibukannya.

Mora pun beranjak menuju sanctuary-nya, tempat khusus yang berupa ruang lukis pribadi di sudut lantai dua Sugiharto Gallery. Tadinya ruangan ini merupakan gudang penyimpanan, namun dengan negosiasi halus, Pak Sugiharto memperbolehkan Mora menyulap ruang ini menjadi sangkar pribadi.

Dengan sejarah hampir sama, ruang kreasi Mora di rumah dan di tempat kerjanya ini ternyata memiliki vibrasi yang berbeda. Banyak memori dan karya yang Mora bangun di ruangan ini, dibuka dan dibeberkan, siap untuk dipamerkan.

Di ruangan berukuran sedang ini, semua peralatan lukis Mora lengkap tertata. Mulai dari barisan kuas-kuas berkualitas, easel, palet kayu yang penuh dengan campuran warna cat kering, serta satu lemari penuh berisi cat lukis---yang kebanyakan berupa akrilik.

Juga di sekeliling ruangan dipenuhi kanvas-kanvas berbagai ukuran; sebagian terisi dengan WIP--work in progress--yang belum atau tidak diselesaikan Mora, sebagian lagi kosong dan bahkan masih terbungkus plastik.

Mora langsung melemparkan diri ke atas kursi bean bag empuk yang ada di atas lantai. Disapukannya pandangan ke seluruh ruangan, ke arah kekacauan yang artistik.

Tujuan Mora ke sini bukan untuk melukis, melainkan untuk istirahat saja. Berdiri berjam-jam di sekitar galeri tanpa duduk membuat Mora khawatir akan kakinya. Dia ogah mengidap penyakit varises, urat-urat yang menonjol tanpa terkendali. Membayangkannya saja Mora sudah bergidik.

Pasti mamanya tidak terima jika gadis sulungnya memiliki tubuh yang bercela.

Mora pun menghela napas, memeluk bantal dan menyandarkan kepalanya di gundukan kursi bean bag. Tubuh gadis itu terasa nyaman dipeluk butiran styrofoam di dalam kursi. Tak berapa lama, Mora pun terlelap dalam tidur yang dangkal.

🌲

"Ka... Roka...."

"Moraroka! Woy, bangun."

Gusti menepuk-nepuk bantalan bean bag di sisi kepala Mora yang terlelap, membuat gadis itu perlahan membuka mata.

"Mmmh... kenapa, Gus?" tanya Mora sambil mengusap wajahnya. Kantuk masih sedikit mengganjal mata bening gadis ini. Ditambah lagi, barusan dia bermimpi kurang enak.

"Ada yang nyariin tuh." Gusti bangkit dan mengedikkan kepala ke luar ruangan.

"Oh?" Mora meraih ponselnya, mengecek jam dan notifikasi chat.

Aji bilang dia akan menjemput Mora jam dua siang, yang ternyata masih 20 menit lagi, dan anehnya tidak ada pesan sama sekali yang hinggap di ponsel Mora. Biasanya kalau sudah janjian pun, lelaki itu selalu mengirimkan pesan "otw" dan tiba tepat waktu---tak pernah terlalu cepat, dan jarang sekali terlambat.

Tidak biasanya Aji menjadi impulsif seperti ini.

"Udah dari tadi, Gus?" tanya Mora sambil berjalan keluar dari ruang pribadinya, diikuti Gusti yang mengekor tepat di sisinya.

"Mmmm, lumayan. Tadi sempet keliling sih, liat-liat, sebelom akhirnya nanyain lo."

Kening Mora berkerut. "Loh? Emangnya siapa...."

Kalimat gadis itu terpotong dan mengambang di udara, tak dilanjutkan karena Mora sudah terpaku akan satu titik, satu sosok, yang berdiri di hadapan mereka.

"Papa?" gumam Mora, hampir tanpa suara.

Pria di hadapan mereka pun menoleh.

Lelaki paruh baya dengan jenggot tipis itu bersitatap dengannya, lalu melontarkan senyum hangat. Rahang kotaknya mirip sekali dengan Lizzy, yang tampak sedang bersembunyi di balik bahu sang papa.

Seketika Mora merasa dadanya sesak.

Sepenuh hati, dia berharap saat ini masih bermimpi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro