09 · The Old Muse

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada alasan kuat mengapa Mora anti sekali bersinggungan terlalu lama degan adiknya, terlebih lagi papanya.

Setiap kali Mora melihat Papa dan Lizzy, ada perasaan seperti perutnya jatuh sampai ke mata kaki. Mual, muak, dan pahit.

Seumur hidup tumbuh bersama adiknya, Mora kerap merasa bahwa Lizzy selalu menginginkan apa yang Mora punya; mulai dari baju, peralatan gambar, kosmetik, hingga perhatian lelaki yang ada di hidup Mora. Cinta pertama yang menemaninya tumbuh hingga remaja. Papa mereka.

"Kakak, kalau disuruh milih tinggal di sini atau di Magelang, lebih pilih mana?"

Lizzy, yang berusia delapan tahun kala itu, melontarkan satu pertanyaan yang jauh lebih berat dari yang seharusnya ditanyakan bocah seumurannya.

Mora menatap adiknya itu selama sedetik. Dulu, masih belum ada kebencian mengakar di pandangannya. Gadis itu mendadak ingat pada hari yang sama, orang tua mereka baru saja bertengkar masalah uang. Di ekonomi yang sulit ini, Papa yang beranggapan bahwa arisan Mama merupakan pemborosan yang tak perlu, sementara Mama berpendapat bahwa arisan itu investasi masa depan. Tabungan yang menyenangkan.

Hasilnya? Kedua orang tuanya berakhir dalam perang dingin.

"Nggak akan disuruh milih lah." Mora menyangkal pikiran itu. Prasangka itu. "Mama sama Papa bakal baikan lagi. Nggak akan pisah, kok."

Mendengar jawaban yang menenangkan, Lizzy pun menyandarkan kepala di bantal milik kakaknya.

"Tapi aku kangen ke rumah Eyang," ucap si bungsu kemudian.

Mora mencolek pipi adiknya yang gembul. "Ya nanti pas lebaran kita pasti ke sana lagi."

Tak pernah gadis itu sangka, kepolosan adiknya yang kemudian menyatakan permintaan yang sama pada papa mereka, malah menghasilkan keputusan impulsif dari sang papa untuk berangkat ke Magelang seminggu kemudian, hanya mengajak Lizzy.

"Kamu temani Mama jaga rumah ya, Kak." Begitu bunyi pesan Papa kala itu.

Betapa ironisnya pengkhianatan yang Mora terima kemudian.

Andai saja gadis itu tahu, bahwa kepergian Papa dan Lizzy ke Magelang merupakan pemantik jarak yang absolut antar mereka di kemudian hari.

Andai saja dia punya mesin waktu, bisa mundur untuk bertemu dirinya yang kala itu berumur 14 tahun, makan dia akan mati-matian meyakinkan dirinya sendiri untuk mencegah Lizzy mengutarakan keinginannya.

Mungkin jika saat itu Papa tidak berlibur ke kampung halamannya out of the blue, maka Papa dan Mama punya waktu lebih banyak bersama dan bisa berdamai atas masalahnya. Perceraian itu mungkin tak akan pernah terjadi.

Semua ini salah Lizzy.

Karena keegoisannya, Mora harus kehilangan Papa sedikit demi sedikit. Minggu demi minggu. Kunjungan demi kunjungan. Hingga akhirnya, Mora memutuskan untuk sekalian saja tidak usah bertemu sama sekali.

Ada api dendam dan kebencian yang terbersit dan tak kunjung padam, meski sudah bertahun lewat, dan kini menjadi bara api yang harus Mora telan bulat-bulat berbalut senyuman.

"Papa...," gumamnya lirih, membuat lelaki di hadapannya menoleh.

"Kakak, cantik sekali sekarang." Suara papanya mengudara, masih serak dan hangat nadanya, sama seperti dulu kala.

Mora menipiskan senyumnya yang tak sampai ke mata. "Makasih."

Gadis itu menahan untuk tidak menembak papanya dengan pertanyaan yang sudah ditahannya di ujung lidah; kenapa ke sini? Ngapain? Mau apa? Bukannya aku udah sering nolak kalau Papa mau ketemu? Memangnya itu nggak cukup tegas ya buat Papa baca, kalau aku udah nggak mau Papa ada di hidupku lagi?

Tidak. Tentu saja tidak. Gadis itu masih punya hati---dan sopan santun---untuk tidak membuat onar dan merusak atmosfer tenang pameran ini.

Sambil menata emosi, Mora mulai memperhatikan papanya dari atas ke bawah. Lelaki itu masih kurus, kini dengan janggut tipis yang mulai tumbuh, dan rambut yang memanjang sampai ke puncak telinga. Dia butuh cukuran, begitu batin gadis itu menilai.

Tiba-tiba saja, lelaki yang sedang Mora perhatikan itu menyeletuk. "Lukisan kamu hebat banget, Kak."

Gadis itu mengerjap. "Ya, makasih." Ucapan terima kasih yang kedua kalinya keluar dari mulut Mora itu bernada datar. Formal.

Masih berdecak kagum, sang papa melanjutkan, "Tapi beda banget ya, sama dulu? Inget nggak Kak, dulu kamu sukanya gambar padang rumput, bukit-bukit, terus diselipin ayam, kelinci, tupai. Simpel sekali, tapi manis."

Komentar itu sempat membuat Mora sedikit goyah. Dulunya, gadis itu melukis semua itu karena ajaran sang papa.

"Iya. Sekarang udah nggak." Gadis itu berucap sambil membuang muka. Tak ingin menyiksa diri lebih lama lagi, akhirnya dia mengeluarkan satu pertanyaan yang mengganjal tadi. "Papa ada urusan apa ke sini?"

Bukannya langsung menjawab putri sulungnya, Papa malah menoleh sekilas ke arah si bungsu. "Yah... Papa mau ngunjungin kalian, lihat pameran kamu."

"Oh ya? Ngunjungin kita apa nyamperin Lizzy aja?" Mora melempar pandangan sinis pada adiknya yang kini menunduk dalam-dalam. Gadis itu yakin bahwa sang papa tidak akan punya inisiatif sendiri untuk hadir di kota ini, jika bukan karena adiknya.

"Kakak...," tegur sang papa sambil berusaha menyentuh lengan Mora, tapi gadis itu refleks mundur dan mengatur napasnya.

Si sulung menahan diri untuk tidak melempar belati dari mulutnya.

"Kita... kita ngobrol di luar aja." Mora tidak mengajukan saran, melainkan perintah yang tanpa perlawanan diikuti oleh Papa dan Lizzy.

🌲

Mereka berhenti di kafe yang berjarak dua gedung dari Sugiharto Gallery. Kafe ini bukan hanya menjadi tempat langganan Mora membeli kopi, tapi juga lokasi makan siang dengan menu bervariasi. Mulai dari salad hingga pasta dan nasi goreng, gadis itu sudah mencoba hampir semuanya bersama Aji.

"Nggak sekalian pesen makan? Papa punya asam lambung kan?" Lizzy bertanya pada papanya yang memilih americano, kopi hitam tanpa gula. Menu paling murah.

Dalam hati Mora mencibir perhatian kecil itu, terlebih dia tahu kalau nantinya dia yang akan membayar ini semua.

"Nggak usah," tolak sang papa sambil melipat menu.

"Pesen aja. Aku juga mau pesen makan kok." Mora mengangkat tangan untuk memanggil pramusaji.

"Nggak usah, Kak," ulang Papa sambil menggeleng.

"Nggak papa. Aku yang bayar. Mbak...." Mora beralih pada pelayan kafe yang baru saja tiba. "Pesen carbonara-nya satu, sama... Pa, mau apa?"

Lelaki itu masih menggeleng.

"Nasi goreng spesial, telornya mata sapi. Nggak pedes ya, Mbak. Lizzy, mau makan juga?" tandas Mora, yang dibalas gelengan adiknya, sebelum menyerahkan menu kembali dan lanjut membacakan pesanan minum mereka.

Setelah pelayan tadi pergi, Mora bersitatap sekilas dengan papanya.

"Makasih ya, Kak," ucap lelaki itu, yang dibalas dengan anggukan oleh si sulung.

Gadis itu membuka botol air mineral yang ada di meja dan meneguk isinya, diam-diam memperhatikan papanya yang pada hari ini datang dengan setelan kemeja kusam dan celana kain. Sepatu yang dikenakan sang papa juga terlihat usang. Bohong kalau dia tidak merasa sedikit irisan di ulu hati melihat keadaan papanya saat ini.

"Jadi, Papa apa kabar? Sekarang kerja di mana?" Mora bertanya setelah menandaskan setengah isi botol airnya.

"Papa sekarang tinggal di Jogja, kerja jadi guru kesenian," jawab lelaki itu.

"Jogja??" Mora tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Kenapa Jogja, Pa?"

Sang papa tersenyum. "Kota seni. Biaya hidup juga paling murah, nggak kayak di Jakarta."

"Oh." Mora kembali meraih botol minumnya, meneguk isinya dengan harapan gemuruh di dadanya sedikit mereda. Satu kota itu selalu membangkitkan ingatan buruk di benaknya.

"Kamu masih ingat teman kamu yang asli sana itu, kan? Beruntung sekali Papa, waktu awal pindahan dibantu sama dia, si Syahriz---"

"Ya, ya," potong Mora. Dia ingat. Dia sangat ingat. Masalahnya adalah gadis itu ingin sekali melupakan.

Ditambah lagi, sekarang fakta baru timbul ke permukaan. Benang merah yang mengaitkan papanya dan kota itu. Orang itu.

Dia dan Papa sekarang satu kota. Kesimpulan itu membuat Mora jengah. Namun tak ayal, ada sebersit kelegaan yang menyisip. Baguslah, mereka nggak di Jakarta.

Beruntung kereta pikiran tak mengenakkan itu terjeda oleh pelayan kafe yang datang membawakan pesanan mereka. Makan siang itu dilalui dengan cepat. Mora yang mengunci mulut, Papa yang diam-diam mencuri pandang, dan Lizzy yang sibuk menggulir ponselnya sambil membaca webcomic.

"Kamu sekarang suka pasta yang pake krim ya, Kak? Udah nggak suka marinara lagi?" Papa berusaha memulai percakapan kembali.

Mora menghentikan kunyahannya. Sejak kecil, dia selalu suka pasta dengan campuran saus berbahan dasar tomat. Marinara adalah menu favoritnya, dulu.

"Kakak pernah nggak sengaja makan spageti yang sausnya kecut, Pa. Jadi kapok, nggak pernah mesen lagi." Lizzy menjawab dengan gumaman dari sisi meja.

"Oh ya?" balas sang papa.

Mora memutar mata atas jawaban adiknya. Memang akurat, tapi tak perlu. "Ya," gumam gadis itu tak acuh.

Percakapan lantas menggulir seputar makanan yang kini menjadi kesukaan mereka. Mora tak berminat mengambil bagian dari basa-basi ini. Beruntung pada menit berikutnya, ponsel di dalam tas Mora berbunyi, tanda panggilan masuk.

Buru-buru gadis itu mengeluarkan gawai tersebut, yang ternyata menampilkan nama Aji. Oh, sial. Mora melihat jam di sudut layarnya. Pukul dua lewat empat menit.

"Emmm, sori, aku harus angkat...." Mora berdiri dengan terburu-buru, lalu berjalan ke luar kafe.

Gadis itu hanya punya waktu beberapa detik untuk meredakan kepanikannya, memutuskan apa yang akan dilakukan selanjutnya.

Pada detik-detik yang pendek itu, sembari melihat nama Oji-sama berkedip di layar ponselnya, Mora pun membulatkan nyali.

Dia akan mengajak Aji ke sini, bertemu dengan papanya.

Sudahlah, mari kita berbasah-basah. Mungkin sudah waktunya Aji kenalan sama Papa.

Dengan sedikit keberanian yang tersisa, dia pun menekan tombol hijau.

Tak sampai dua menit kemudian, gadis itu kembali memasuki kafe. Kali ini dengan Aji yang mendampingi.

"Pa, kenalin, ini Aji. Maaf kemarin... nggak sempat ngundang Papa di acara pertunangan kami."

"Tunangan?" Sang papa terlihat kaget, namun buru-buru menetralkan sikapnya tersenyum. "Ooo... jadi benar ya, kabar itu? Ini calon menantu Papa?"

Kalimat ramah itu keluar diiringi dengan uluran tangan sang papa, yang dengan cepat dijabat oleh Aji.

"Senang akhirnya bisa ketemu sama Om," ucap lelaki itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro