10 · Ratting the Rat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo tuh emang tikus ya! Nggak bisa apa diem aja, nggak geratakin hidup orang, hah?!"

Malam yang damai di rumah puncak bukit itu beriak dengan emosi Mora yang meledak, sesaat setelah dia dan adiknya tiba di rumah. Sang mama bahkan belum sampai ke ruang tamu ketika sulung itu melanjutkan amarahnya.

"Maksut lo apa sih? Tujuan lo tuh apa?!"

Kali ini gadis itu mendorong satu bahu adiknya, membuat remaja berambut pendek itu hampir kehilangan keseimbangan.

Hal itu membuat si bungsu sedikit mengembus napas keras, menandakan emosi yang ikut menanjak. Sudah lama sekali dia bersabar atas perlakuan kakaknya.

"Dari dulu Kakak selalu nggak suka kalau aku diam-diam ketemuan sama Papa. Terus sekarang, waktu aku bawa Papa buat ketemu Kakak, kenapa Kakak malah nggak terima?"

Mulut Mora menganga. "Menurut lo?!"

"Ya aku kira... aku kira Kakak kangen sama Papa." Lizzy mengambil jeda untuk menggumamkan kalimat selanjutnya, "Cuma... Kakak nggak mau ngomong."

Beberapa detik menggantung dengan ganjil. Si bungsu menunduk, sementara si sulung yang masih murka membuang napas kasar.

"Ini semua salah lo!" desis sang kakak sambil menunjuk adiknya.

Mendengar itu, Lizzy balas menatap Mora tak terima.

"Kakak egois! Selalu nyalahin orang lain, selalu ngerasa jadi korban! Padahal di sini yang menderita nggak cuma Kakak doang. Paham nggak sih, Kak?!"

Mora membeku. Gadis itu lalu mengeluarkan ponsel dari tasnya.

"Kakak mau ngontak Kak Lauren?!" ujar Lizzy. "Kenapa sih Kakak selalu libatin dia? Dia itu orang luar. Masalah keluarga kita harusnya nggak---"

"Diem!" bentak Mora. "Dia bahkan lebih peduli sama gue ketimbang lo!"

"Ada apa ini?" Mama yang baru turun dari kamarnya bersiap untuk melerai, namun Mora sudah membalikkan badan.

Sambil menutup pintu, si sulung mengucap dengan nada tinggi. "Malam ini aku nggak tidur sini!"

Dan Mora pun menderapkan langkah, keluar dari rumah.

🌲

Kediaman di Pondok Indah itu dikelilingi pagar tinggi yang menyembunyikan aset properti belasan miliar, rumah semi-mansion dengan halaman yang terawat rapi---hasil tangan tukang kebun andalan yang dipekerjakan Laurencia.

Sang nona rumah berdiri dekat pintu kecil di sisi pagar utama, akses yang dibukakan oleh petugas keamanannya untuk menyambut Moraroka.

"Nek...." Oren memandang sendu ke arah sahabatnya yang tampak kacau. Air muka keruh, juga rambut yang acak-acakan hasil tertiup angin karena mengendarai ojek online.

"Mak, maaf ya, gue ngerepotin lagi, numpang nginep tempat lo." Gadis itu menyisir kasar rambutnya, berusaha tampak tegar di hadapan nona rumah yang segera meraih lengannya.

"Udahlah," ucap Oren sebelum mengajak sahabatnya masuk, meninggalkan suara pintu gerbang yang berderak dikunci sekuriti.

Setibanya di dalam, sang empunya rumah langsung menyuruh tamunya cuci muka dan berganti baju piyama.

Oren punya kebiasaan unik setiap kali menghibur Mora, terlebih saat badai permasalahan keluarga melanda. Sang beauty influencer akan mengajak sahabatnya untuk melakukan serangkaian skin care lengkap, biasanya bersinggungan dengan masker, eksfoliasi, peeling, dan diakhiri dengan menikmati wewangian yang mengepul hangat dari air diffuser sampai mereka terlelap.

"Habis kacau terbitlah glowing." Begitu kalimat motivasi yang kerap Oren suarakan sebagai moto.

Malam ini pun tak jauh beda, hampir sama seperti malam-malam badai di masa remaja mereka, saat orang tua Mora baru bercerai. Bedanya, produk-produk perawatan wajah dan badan yang kini Oren gunakan jauh lebih mahal dan prestisius ketimbang apa yang bisa mereka beli dari uang saku sekolah dulu. High-end, luxury brands.

Di tengah-tengah uap berbau eucalyptus yang segar dan menenangkan, Oren melirik pada Mora yang sedang berbaring dengan masker silikon di kantung matanya. Netra gadis itu terpejam, namun sahabatnya itu tahu dia tidak tidur.

"So, what happened? Tadi... beneran ketemu sama bokap lo? Terus gimana? Did he say something, tujuan dia ke sini, or...?"

Mora menghela napas. "Ngak tau. Mungkin mau pinjem duit lagi ke gue."

"Lo nggak kasih?" tanya Oren.

"Belum."

"Terus, sekarang dia di mana?"

Butuh satu helaan napas panjang sebelum Mora menjawab pertanyaan sahabatnya.

"Nginep di hotel melati, nggak jauh dari Senen. Entar deh, gue transferin sekalian beliin tiket pulang. Biar kelar urusan, terus dia balik ke Jogja secepatnya."

Jawaban itu membuat nona rumah seketika duduk dengan tegak. "Wait, Jogja? Berarti, sekota sama...."

"I know," potong Mora.

Oren masih terperanjat."Did they...?"

"Ya. Mereka masih kontakan. In fact, katanya dia yang bantuin Papa pas baru pindahan ke sana."

"Damn! Gue...." Nona rumah mencari kata yang tepat untuk mengekspresikan keterkejutannya. "Speechless."

"Ya udah lah. Biarin aja. Toh gue udah nggak ada hubungannya lagi sama mereka." Mora kembali memejamkan mata, kode halus bahwa percakapan ini tak lagi ingin dilanjutkannya.

Tidak peka---atau tak peduli---akan kode tersebut, Oren malah lanjut bicara, "Iya sih, lo udah nge-cut off mereka sejak jaman batu. Cuma, tadi lo bilang... Aji ketemu kan, sama bokap lo?"

"Hmmm...." Gadis itu hanya membalas sahabatnya dengan gumaman. Matanya masih terpejam, tanda benar-benar selesai dengan pembahasan ini.

Oren akhirnya menyerah. Dia membiarkan tamu sekaligus sahabatnya itu berbaring tanpa gangguan di ranjangnya, lalu mematikan lampu utama kamar yang langsung temaram berganti lampu tidur otomatis, memancarkan cahaya oranye hangat dari langit-langit kamar.

🌲

Sepanjang sisa minggu menjalani pameran, Mora kesulitan untuk fokus menjalankan peran.

Laurencia dengan sukarela menampung sahabatnya itu untuk menginap sementara di rumahnya. Gadis itu tidak pulang ke rumah Bogor, layaknya sedang mengungsi dari wabah mematikan jika seatap dengan adiknya. Oren sangat mengerti, dan siap membantu sepenuh hati.

Setelah menghabiskan beberapa hari, penutupan pameran pun akhirnya tiba.

Upacara semi-formal dilaksanakan, dengan puncak berupa pidato singkat dan ucapan terima kasih dari Pak Sugiharto. Beliau juga menginformasikan bahwa sisa lukisan yang belum terjual di pameran akan terus dipajang di Sugiharto Gallery, menjadi tontonan publik sebelum kembali diperjualbelikan pada perlelangan dua bulan mendatang.

Mora sendiri bisa bernapas lega karena empat dari enam lukisannya laku terjual selama pameran, menjamin kehidupannya finansial keluarganya aman untuk setahun ke depan.

Tepat setelah acara penutupan itu, saat menyeduh teh di pantry galeri, Mora menerima telepon dari mamanya.

"Kak, nggak pulang? Mau sampai kapan ngambeknya? Besok adikmu sudah berangkat ke Bandung lho."

Gadis itu mencibir. Bahkan pilihan kota tempat berkuliah pun Lizzy tiru darinya.

"Aku balik kalau dia udah nggak di rumah aja, Ma."

"Kak...." Sang mama siap membujuk, namun gadis itu buru-buru memotong.

"Kasi tau aja butuh uang berapa. Kebetulan insentif Kakak udah cair sebagian."

"Bukan gitunya, Kak...."

"Masuk DKV harus punya gadget macem-macem, kan? Belum lagi nyiapin kos-kosan, bayar uang kampus ini-itu. Kakak transfer aja habis ini ya."

"Kakak...." Suara sang mama melirih, tanda perlawanan mulai lunak.

Mora pun menghela napas. Hatinya juga ikut lunak kalau sudah menyangkut sang mama.

"Ma, Kakak cuma nggak mau Mama harus sampe make uang tabungan haji buat modalin dia kuliah."

Akhirnya sang mama pasrah. Wanita di ujung sana mengiyakan kalimat putrinya, dan percakapan mereka kemudian berakhir dengan informasi bahwa Mama akan mengantar Lizzy ke Bandung sampai besok lusa.

Setelah sambungan telepon ditutup, Mora langsung membuka aplikasi mobile banking untuk mentransfer sejumlah uang ke dua rekening yang sudah tersimpan di daftar transaksinya; rekening papa dan mamanya.

Sekarang, pilihan gadis itu ada dua; antara menginap sendirian di rumah Bogor, atau lanjut menumpang di kediaman sahabatnya.

Sambil mengunci ponsel, Mora sudah membulatkan keputusan.

Gadis itu memilih opsi pertama.

Ada satu hal yang harus dia lakukan, dia bereskan, yang tidak bisa diganggu dengan distraksi apa pun di rumahnya---bahkan kehadiran Mama sekali pun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro