11 · Memory Box

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rumah bercat putih itu berdiri megah sendirian, bagai monumen di tengah-tengah halaman luas di puncak bukit, dilapisi rerumputan dan tumbuhan hijau.

Tadinya, rumah ini merupakan vila milik keluarga besar ibunda Mora. Aset warisan yang seharusnya dijual untuk dibagi rata hasilnya antara sang mama dan keempat saudaranya.

Namun, sejak menikah dengan Papa dan tidak mempunyai tempat untuk tinggal, rumah ini diperbolehkan untuk ditempati oleh Mama, bentuk belas kasih dari saudara-saudaranya. Bayarannya? Ah, hanya cibiran dan sindiran sekali-sekali, saat keluarga besar sedang berkumpul.

Sebagai anak sulung perempuan, Mora bertekad untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin hingga suatu hari bisa membeli kontan rumah ini, membayar harga diri dan mulut paman bibinya yang sangat gemar membicarakan mamanya.

"Nggak papa Kak, om tante kamu memang benar dulu bilang Mama salah pilih suami. Pada akhirnya, ucapan mereka terbukti toh?"

"Harusnya kita berterima kasih sama mereka, karena kita boleh tinggal di sini."

Begitu kata-kata Mama yang terngiang di ingatan Mora.

Gadis yang sedang memindahkan kotak-kotak kardus dari dalam kamarnya itu sengaja menyibukkan dirinya hari ini, saat dirinya berdiam di rumah seorang diri, karena Mama tidak akan kembali dari mengantar adiknya mempersiapkan kuliah di Bandung sampai besok.

Pakaian yang jarang dikenakan, selusin sketchbook yang berisi konsep-konsep gagal, sepatu dan sandal yang usang, sampai make up lama yang kadaluarsa sudah disortir ke dalam kardus-kardus yang kini bertebaran di kamar gadis itu.

Moraroka sengaja membersihkan 'sampah' yang ada di hidupnya, dimulai dari barang-barang lama. Dengan rambut dicepol dan kaus katun yang dingin, gadis itu memilah kardus mana yang akan didonasikan, dan mana yang akan dibuang.

Setelah puas, dengan mengusap sedikit keringat di kening, Mora meneguk banyak-banyak air minum. Bogor adalah kota dengan cuaca yang bipolar, kadang dingin menggigit, kadang panas menggelegar. Siang itu, matahari sedang terik-teriknya eksis di langit kota ini.

Setelah merasa lebih segar, Mora lanjut membereskan satu pekerjaan terakhirnya. Membersihkan satu tempat yang menjadi tujuan utamanya hari ini.

Gadis itu berdiri di hadapan sebuah pintu, sebuah ruangan terpisah di sudut halaman belakang, berteduh di bawah kungkungan pohon mahoni rimbun.

Ruangan itu adalah paviliun studio lamanya, yang entah sudah berapa bulan dibiarkan terkunci.

Dengan satu tarikan napas, Mora memutar kunci pintu kayu dari ruangan yang mati-matian dihindarinya itu. Setelah kunci diputar, dengan satu tarikan kenop pintu itu pun berderik pelan, terbuka.

Debu yang tebal menyambut pernapasan gadis itu, membuatnya terbatuk-batuk sebentar.

Pemandangan berikutnya yang menyambut mata Mora sama sekali tak berubah sejak terakhir kali dia mengawasi ruangan ini; lukisan-lukisan lama, yang rampung maupun setengah matang---atau bahkan karya gagal yang dilupakan---bejejer di lantai, tergantung di dinding, dan ditaburi lapisan debu.

Sebagian besar lukisan itu bertema warna hijau, berkisar antara panorama hutan dan padang bunga, juga beberapa sketsa wajah manusia; orang-orang yang enggan Mora lihat lagi, sehingga dia tutupi dengan kain putih yang menggantung di kanvas.

Style karya di dalam ruangan ini sungguh berbeda dengan apa yang dia suguhkan di Sugiharto Gallery.

Gadis itu melangkah lebih dalam ke dalam studio gudang yang dia warisi dari papanya ini. Setiap sudut ruangan ini mengingatkannya pada momen-momen tertentu, kejadian sederhana antara anak gadis dan cinta pertamanya, sang papa.

Dulunya, pavilion ini merupakan gudang penyimpanan karya Papa sekaligus tempatnya berkreasi. Hampir setiap hari Mora menghabiskan waktu di sini sepulang sekolah.

Dulu, gadis itu yakin suatu hari nanti akan mempunyai kemampuan setingkat papanya; menggurat gambar wajah Mama dari sketsa pensil saja, membuat pemandangan yang hidup dari cipratan cat air, sampai memodifikasi warna peralatan rumah yang bisa mereka pakai sehari-hari.

Hidup berdampingan dengan sang papa membuat gadis itu sadar bahwa seni bisa ditemui di setiap sudut dunia, dari hal paling remeh hingga paling rumit.

"Cangkirnya diwarna-warnain gini nggak akan dimarahin Mama, Pa?" Mora kecil bertanya sembari menggenggam kuas dan mug porselen putih polos. Satu set cangkir dengan bentuk sama tertata di atas meja, berjumlah empat buah. Di sampingnya, sang papa mengawasi sambil memangku Lizzy yang baru belajar jalan.

"Nggak papa, kalau Mama marahin Kakak, nanti Papa sama Adek yang belain. Ya kan, Dek?" Sang papa beralih pada balita di pangkuannya, menimang dan mengguncang lengan Lizzy hingga bocah itu tertawa.

Mora kecil sedikit cemberut melihat afeksi sang papa pada adiknya. Dalam hati dia bertanya-tanya, kalau dia yang diberi tugas menghias cangkir, kenapa Lizzy yang malah disayang-sayang dan diperhatikan? Bukannya dia juga butuh perhatian papanya, diajari dan dibimbing agar hasil karya di gelas mereka jadi bagus?

Ingatan itu mengabur seraya Mora mendapati set cangkir yang dihiasnya dulu terkoyak di sudut kotak kayu, pecah sebagian. Memang Mama tidak marah saat melihat hasil karyanya di cangkir-cangkir itu, tapi benda porselen tersebut menjadi korban di salah satu pertengkaran hebat mama-papanya beberapa tahun kemudian.

Kini, layaknya cangkir-cangkir yang berlukis pemandangan gunung dan sawah itu, ruangan ini ditumpuki debu dan sisa-sisa kreasi Mora dari satu dekade lalu. Rusak dan ditinggalkan.

Dalam keadaan telantar pun, ruangan ini masih bisa mencerminkan jati diri dan selera Moraroka yang sesungguhnya. Bagaimana gadis itu sangat mencintai outdoor, pemandangan hijau yang sampai saat ini masih asri mengelilingi rumahnya.

Ruangan ini berisi banyak penyebab luka batin yang Mora coba untuk pendam bertahun-tahun. Luka yang dekat, yang masih berdenyut, menyebabkan gadis itu tak pernah sanggup membuang semua benda yang menyakitinya hingga hari ini.

Namun, pertengkarannya dengan Lizzy semalam membuat Mora sadar, bahwa ada hal yang lebih penting ketimbang benda emosional dan memori yang dipendam.

Mora harus membuang semua itu. Demi mendapat ketenangan, legawa, dan bernapas lega tanpa merasa dibayang-bayangi masa lalu.

Gadis ini ingin menyambut masa depan bersama Aji tanpa beban itu.

Mora sudah memantapkan hati, bahwa sejak dia mengenalkan tunangannya pada sang papa tempo hari, dia akan menyingkirkan serpihan masa lalu yang mungkin saja akan mengganggu. Sebab Aji adalah kepastian, dan bukti dari keadaan ini masih melingkar di jari manisnya.

Jari-jemari itu kini mulai merambah, menjalari lemari penyimpanan dan laci-laci kayu. Dia mencari sesuatu.

Mora terbatuk pelan ketika dia berjinjit untuk menggapai sesuatu di atas lemari, dan setumpuk debu turun ketika tangannya berhasil meraih sebuah kotak dari sana. Sambil mengibaskan satu tangan di depan muka, gadis itu menatap penemuannya. Bingo. Ini dia harta karun yang dicarinya sedari tadi.

Sebuah kotak berukuran sedang, terbuat dari besi yang sudah mulai berkarat di sudut-sudutnya. Kotak itu berwarna kuning dan bergambar sepasang kelinci yang sedang berciuman---atau saling mengendus hidung masing-masing---di tutupnya.

Mora duduk di kursi kayu dan menaruh kotak itu di atas meja, menggeser beberapa bungkus cat dan kuas yang sudah kaku dan mengering.

Dibukanya kotak tanpa kunci itu. Memory box. Selembar kartu ucapan menyembul di permukaan, menutupi sebagian besar isi lain kotak itu. Perlahan, Mora meraih kartu tersebut.

Di sampulnya tertulis kalimat happy anniversary dengan huruf-huruf yang berupa potongan dari majalan dan surat kabar. Ketika dibuka, di dalamnya ada dua halaman yang masing-masingnya disemat selembar foto.

Halaman kiri bertuliskan "from this", berisi foto sekelompok anak SMA berseragam putih-abu, dengan tali pita berwarna kuning yang mengikat rambut serta lengan mereka, dengan aksesoris berupa permen yang dirangkai menjadi kalung dan topi dari kertas koran berbagai bentuk. Dari dandanannya, sekelompok siswa ini sedang dalam masa ospek.

Ada wajah Mora di sana, di barisan kiri bawah dengan senyum manis menawan. Coretan spidol merah bergambar hati membingkai sekitar wajah gadis itu, menandakannya sebagai objek istimewa di foto ini. Uniknya, di sudut kanan atas, terdapat wajah seorang pemuda yang digambari hati dengan spidol berwarna sama. Waja itu tak tersenyum. Matanya lurus menatap kamera, datar saja.

Ragu-ragu jemari Mora menyentuh pasangan hati spidol merah di sudut gambar itu. Wajah itu.

Wajah yang sama yang terdapat di foto halaman kanan kartu, di mana sebuah tulisan "to this" membingkai gambar Mora yang tersenyum, kali ini dengan mata yang juga ikut berbinar, di samping foto pemuda yang sama. Mereka mengenakan jas almamater kampus yang berwarna senada, dengan name tag berupa kartu besar dan aksesori khas masa orientasi perkuliahan yang sedikit berbeda, tanda status mereka yang mahasiswa baru di universitas yang sama---meski beda jurusan.

Kali ini jarak mereka begitu dekat. Bahu bersentuhan. Mora menyandarkan kepala. Dan pemuda itu tersenyum. Sedikit berbeda dari foto saat mereka berseragam SMA. Tampak lebih hangat, lebih bebas, dan lebih terbuka.

Mora bisa merasakan dadanya mulai sesak. Mungkin ini debu, atau juga memori yang mendadak menggebu. Cepat-cepat ditutupnya kartu perayaan anniversary itu, yang malah memberi akses pada lebih banyak lagi benda pernak-pernik di dalam kotak kenangan.

Surat-surat. Hadiah kecil. Tiket-tiket bioskop.

Gadis itu menelan ludah. Membongkar semua ini adalah kesukaran yang harus ditelannya pahit-pahit, namun tetap harus dilakukan.

Sebab untuk yang terakhir kali, Mora ingin melihat pada serpihan hidupnya yang sudah dikubur lama, pada satu pemuda yang sempat mengajarkannya arti cinta.

Satu nama yang berkali-kali tertulis di surat dan kartu dalam kotak itu, juga nama yang menjadi penghuni tetap blocked list dari semua sosial medianya.

Nama itu, tertulis dan terbaca berkali-kali dalam pernak-pernik di kotak kenangan. Zal. Syahrizal.

Mora pun menghela napas. Sudah waktunya kotak ini aku bakar, batin gadis itu memutuskan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro