12 · Meet the Cute

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Delapan tahun yang lalu.

Kota Bogor masih berbaik hati pagi itu, menyinari dengan kehangatan tanpa menyengat terlalu panas.

Dentingan bunyi bel membuat lapangan sekolah segera dipenuhi barisan siswa-siswi kelas satu, korban pesakitan dari sistem orientasi yang mengharuskan mereka mengenakan pernak-pernik aneh, melengkapi seragam putih abu-abu yang baru pertama kali ini melekat di tubuh mereka.

"KELOMPOK KUNING! MANA INI KETUA KELOMPOK KUNING?!"

Syahrizal tersentak. Suara panitia senior OSIS yang membelah udara pagi itu membuat barisan kelompoknya bergerak-gerak, panik, mencari seseorang. Pun termasuk dirinya juga, ikut menoleh ke kanan dan kiri, mencari sesosok gadis dengan dua tali pita kuning di lengan sebagai tanda ketua kelompoknya.

Panitia OSIS tadi pun siap mengeluarkan ultimatum. "Kalau sampai hitungan ketiga ketua kalian tidak muncul, kalian semuanya yang kena hukuman! SATU! DUA!"

"Hadir, Kak!"

Grasak-grusuk terdengar dari dalam barisan, lalu dua detik kemudian, muncul gadis dengan dua pita kuning di lengan.

Ah, ini dia buronannya.

"Dari mana saja kamu?! Jangan bilang kamu terlambat!" hardik panitia OSIS tadi.

"Maaf, Kak, saya barusan menata barisan kelompok di belakang." Gadis itu menjawab dengan yakin dan berani.

"Kamu tau kan posisi ketua kelompok harus memimpin barisannya?" bentak kakak panitia.

"Iya, Kak."

"Iya apa?!"

"Saya tau posisi ketua harus memimpin barisannya."

Kakak panitia OSIS akhirnya mengangguk puas. "Ya sudah. Lapor!"

"Lapor, Kak! Moraroka, ketua kelompok Kuning kelas X-2 siap bertugas! Jumlah anggota 11 orang, lengkap tanpa absen, ijin, atau sakit. Laporan selesai, Kak!" pekik gadis itu dengan lantang.

"Laporan diterima. Lain kali stand by di depan barisan lebih awal!"

"Siap, Kak."

Jawaban tegas gadis bernama dada Moraroka itu pun sukses membuat kakak panitia OSIS berlalu.

Dari sudut pandang Zal yang memimpin barisan tepat di sebelahnya, dia bisa melihat gadis berambut panjang dan berkulit bening itu menarik napas lega. Alis dan bulu matanya yang lentik bergerak-gerak seiring pandangan gadis itu kembali memastikan jumlah kelompoknya. Anak rambut yang membingkai wajah gadis itu juga turut bergerak seiring lagi-lagi napas lega keluar dari mulut tipis gadis yang kini berdiri dalam sikap sempurna. Kelompok mereka terbebas dari masalah---dia, bebas dari masalah.

Zal menunduk, meredakan jantungnya yang sedikit berdegup. Sebagai adalah pemerhati sekitar yang andal, dia suka menikmati detail-detail interaksi manusia di sekelilingnya tanpa perlu berkomentar secara verbal. Biarlah penghakiman dan kesimpulan menjadi konsumsi pribadi yang tersimpan di benaknya saja.

Tidak sampai seminggu pertama di tahun ajaran baru saja Zal sudah bisa menyimpulkan, selain nama yang unik, sikap yang ramah dan wajah menawan yang murah senyum, semua itu menjadi paket komplit yang membuat Moraroka menarik banyak perhatian, bahkan diidolakan.

Hal itu terbukti beberapa hari kemudian, karena selain menjadi ketua kelompok ospek terfavorit, gadis yang sekelas dengannya itu juga terpilih menjadi ketua kelas dengan suara voting terbanyak.

"Lo hokinya kebangetan ye, Jal, bisa sekelas ama primadona angkatan. Rugi lo kalo nggak deketin si Mora. Tuh, duh ilah cakepnya masya Alloh!" Juno, siswa berambut plontos yang jadi teman sebangkunya, berkomentar saat melihat Mora melintas di kantin.

Zal hanya menggeleng. "Nggak dulu. Saya jauh-jauh ke sini niatnya mau sekolah, bukan pacaran."

"DU ILEEEH! Saya-saya mulu dari kemaren. Katrok lo ilangin dong, Jal! Ngomongnya tuh pake gue, gu-we." Alih-alih fokus pada isi jawaban, Juno malah lebih terpelatuk dengan gaya bahasa Zal. Dua remaja itu pun lanjut berkelakar sebentar, sebelum seseorang bergabung di meja mereka.

"Seru amat kalian."

"Eh, iya, Bang." Juno langsung mengangguk sopan, mempersilakan kakak senior yang baru bergabung itu untuk duduk di bangku kosong.

Senior yang setahun lebih tua dari mereka itu pun tersenyum. "Syahrizal, Juno, tadi gue denger kalian lagi ngomongin Mora. Beneran, Zal, lo nggak mau ngedeketin dia?" tanyanya sambil mulai melahap bakso yang dipesan.

"Iya, enggak, Kak Agung." Zal menjawab dengan santai. "Memangnya Kakak mau, sama Mora?"

Senior itu pun terbahak di tengah kunyahannya. "Kelihatan banget, ya?"

Baik Zal maupun Juno mengulum senyum dan manggut-manggut. Mereka dibikin kicep oleh kharisma dan aura Agung, senior sekaligus salah satu anggota OSIS yang mengospek mereka beberapa hari lalu.

"Rugi banget lo, Zal. Padahal udah sekelas, tinggal gebet aja. Muka lo juga lumayan kalo diliat-liat. Yakn nih nggak mau PDKT beneran?" tanya Agung, memastikan.

Dengan senyum tipis, Zal kembali menggeleng.

"Oke. Makasih kalo gitu." Sang senior mengacungkan jempolnya ke arah Zal. "Seenggaknya saingan gue berkurang satu."

🌲

Tidak hanya perhatian lawan jenis dan bahkan senior populer yang tersedot pada pesona Moraroka, ternyata di dalam kelas mereka Zal juga menemui fenomena menarik lainnya.

"Mora, gue duduk di sini ya." Suara bernada ramah itu berasal dari seorang cewek yang mendekati bangku di depan Zal, tempat Mora duduk.

"Eh... oke."

Gadis itu mengangguk sekilas, awalnya tak terlalu memusingkan kehadiran teman sebangkunya yang baru itu. Zal ingat sebelumnya sudah ada siswa lain yang menduduki bangku tepat sebelah Mora, namun setelah jam istirahat, entah kenapa dengan ajaib tas beserta siswa itu berpindah ke bangku lain.

"Kenalin, gue Laurencia. Selamat ya udah ngalahin gue di voting pemilihan ketua kelas kemarin."

Kalimat itu sukses membuat Mora kelabakan. Pasalnya, cewek yang baru muncul di sebelahnya ini adalah kandidat ketua kelas yang lain. Seketika nada segan perpaduan panik dan tak enak hati melambung dari bibir tipis Mora.

"Ah, iya, maaf juga ya, Lauren, kamu jadinya nggak...."

"Panggil gue Oren aja," potong cewek itu. "Nggak papa, santai. Gue juga happy kok jadi wakil ketua. Lagian katanya, ketua sama wakil itu cocoknya duduk sebangku loh. Biar jadi power couple, hehehe."

Keramahan dan cairnya tawa Laurencia membuat Mora ikut tersenyum. Sementara dari belakang bangku itu, Zal masih terus memperhatikan interaksi mereka sambil diam-diam menyimpulkan dalam hati.

"Oh iya, lo kemarin ketua kelompok pas ospek juga kan? Keren, gue juga ketua loh. Makanya sering liat muka lo pas apel pagi. Eh, lo kelompok apa deh?" Laurencia lanjut bertanya.

"Kuning," jawab Mora.

"Gue kelompok merah. Wah, kelompok gue kalah pas tarik tambang hari terakhir itu, inget nggak?" Cewek itu terkekeh.

Mora pun ikut tertawa. "Ah, iya iya inget."

Zal bisa melihat perbedaannya, mana senyum yang tulus dan mana yang dibuat membungkus sebuah maksud tertentu. Dalam kasus ini, Laurencia si ketua kelompok merah tergolong pada yang nomor dua.

Berbanding dengan sikap Mora yang tulus, senyum Laurencia terlihat terlalu artifisial di mata Zal, juga topik pembicaraan yang relate, dan humor serta tawa yang memancing lawan bicara untuk semakin terlibat dalam percakapan dengannya. Halus sekali, namun mematikan. Dia ada mau, dan Zal menebak hal itu adalah pertemanan dengan Moraroka, sang primadona angkatan.

Tapi lagi-lagi, sama kasusnya seperti kakak senior yang membidik Mora sebagai target gebetannya, Zal juga tak ambil pusing terhadap Laurencia yang menargetkan Mora sebagai teman sebangku, entah untuk tujuan apa.

Yang jelas, cowok itu hanya tahu, hanya memperhatikan, menyimpulkan, dan menyimpan semuanya dalam hati.

Baginya, Moraroka adalah sebuah objek yang menarik untuk diamati, tanpa perlu bersinggungan langsung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro