13 · Silent Distance

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Zal menjalani awal masa SMA-nya dengan riak-riak kecil permasalahan tanpa ombak yang terlalu besar. Sebagai seorang keponakan guru komputer sekolah itu yang merantau dari Jogja dan menumpang di rumah keluarga pamannya, pemuda itu tahu caranya menempatkan diri.

Terdengar pasif dan membosankan, ketika seorang remaja laki-laki diharuskan menjaga sikap dan tidak boleh membuat masalah. Tapi percayalah, Zal sama sekali tidak keberatan.

Terlebih lagi sejak mempatenkan hobi 'pemerhati Moraroka' menjadi pekerjaan tetapnya selama bersekolah, hidupnya benar-benar jauh dari kata bosan. Sungguh, hampir setiap minggu selalu saja ada hal yang menarik terjadi pada hidup gadis itu---yang tentu saja tak luput dari perhatian Syahrizal.

Seperti kelanjutan usaha senior mereka, Agung, yang mulai meluncurkan jurus-jurus PDKT canggih terhadap Mora yang sama sekali tak terlintas di pikiran Zal.

Mulai dari susu dan roti yang tiba-tiba muncul di laci gadis itu, SMS dari pengagum rahasia yang isinya menjadi bahasan seru antara Mora dan Lauren, sampai lagu persembahan yang di-request di radio sekolah dan menjadi bahan cekikian dua gadis itu, bertanya-tanya siapa pengirimnya.

Hal-hal kecil itu selalu membuat Zal sedikit gemas sekaligus penasaran, apa pergerakan Agung selanjutnya.

Sampai akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu itu tiba. Suatu siang di penghujung jam istirahat kedua, Mora didatangi oleh seniornya itu, diajak berbicara empat mata. Zal tentu saja tahu ke arah mana pembicaraan itu akan bermuara, namun tidak dengan Mora---dan Lauren, yang kini sudah resmi naik pangkat dari teman sebangku jadi sahabat sehati.

"Ada apa ya, Kak? Nggak bisa ngomong di sini aja?" tanya Mora sungkan. Dia masih memandang Agung sebagai kakak senior yang wajib dihormati, dan bukannya lelaki yang sedang menaruh hati.

"Harus berdua," ulang senior yang sedang mengenakan seragam tim basket sekolah itu dengan nada mendesak.

Mora pun akhirnya pasrah, mengangguk dan mengikutinya. Di tengah perjalanan keluar, gadis itu menyempatkan diri menoleh pada sahabatnya, Lauren, yang sejak kehadiran Agung tak pernah melepaskan mata dari kakak senior bertubuh jangkung itu.

Zal menaikkan alis. Dia merasa hal ini semakin menarik saja.

Sekembalinya gadis itu, Zal bisa melihat ada kilatan misterius di matanya. Mora menyimpan sesuatu, yang tentu saja langsung menjadi berondongan pertanyaan oleh Lauren.

"Ntar aja gue ceritain pas di rumah," bisik Mora ke telinga sahabatnya, sukses meredam ledakan rasa penasaran Laurencia untuk sementara.

Sial bagi Zal, karena drama ini harus menunggu beberapa hari lagi.

Dan beberapa hari pun berlalu dengan lambat. Zal tidak melihat adanya tanda-tanda Mora dan senior mereka yang semakin dekat.

Apa Mora menolaknya? batin Zal bertanya-tanya. Kenapa dia nggak ngebahas ini sama sekali di sekolah? Apa mereka bacstreet-an, udah jadian tapi nyimpan ini semua?

Belasan pertanyaan berlalu-lalang silih berganti, sempat membuat Zal oleng dan hampir menanyakan hal ini langsung pada Agung, senior yang bersangkutan. Tapi di penghujung ketidaksabarannya, momen itu pun tiba. Sebuah petunjuk. Sebuah jawaban.

"Wish me luck ya, Mora. Duh, sumpah deg-degan banget." Laurencia berkata sambil membenahi jepit pita di sisi rambutnya yang dikuncir tinggi. Seragam ekskul cheerleader sudah dikenakannya, menjadi penanda bahwa ini latihan pertama si wakil ketua kelas sebagai grup cheers sekolah.

"Good luck, Oren. Lo nggak perlu khawatir lagi. Di mana-mana anak basket sama cheers itu emang udah ditakdirin buat pacaran." Mora meyakinkan sahabatnya.

Zal yang saat itu lewat sambil melihat pemandangan tersebut hampir saja menabrak meja. Kepalanya ikut menjulur saat Lauren keluar dari pintu kelas.

Seminggu berselang, segala pertanyaan Zal terjawab oleh sebuah berita yang menyebar luas, meledak dan merebak bagaikan kembang api di malam tahun baru.

"Lauren sama Kak Agung jadian!"

"Sumpah? Lauren si Oren-Oren itu? Wah, calon-calon golden couple basket nih!"

"Sumpah cuy! Bener, Lauren yang digadang-gadang bakal jadi bibit cheers, sama Kak Agung yang jadi center tim basket kita, beneran cucok dah! Cucok!"

Zal hampir tersedak mi kuahnya saat mendengar kehebohan di kantin itu. Juno sampai menyodorkan air mineral gelas miliknya.

"Kalem Bos, kalem. Kebanyakan bengong sih lo, keselek kan," omel Juno sambil menepuk-nepuk punggung Zal.

"Jun...." Zal memanggil setelah puas terbatuk. "Itu... Kak Agung bukannya waktu itu bilang mau ngedeketin si...?"

"Mora? Iye."

"Terus kok jadiannya malah sama...?"

"Lauren? Ya kagak tauk! Ditolak kali sama Mora, terus belok deh ke bestie-nya."

"Emang bisa gitu?" Zal tak habis pikir.

Juno mengangkat bahu. "Tauk. Tak ada rotan akar pun jadi? Lagian kalo diliat-liat si Lauren lumayan juga loh, meskipun nggak seputih ama semanis Mora, tapi bodinya...." Juno memperagakan bentuk lekukan gitar, yang langsung membuat Zal memutar mata.

"Aneh," gumam Zal sambil kembali menyantap mi kuahnya, juga mulai tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Juno berdecak. "Lo yang aneh, kagak ada tertarik-tertariknya ama cewek. Jangan bilang... lo itu homo ye?!" Cowok itu melirik horor sembari memeluk dadanya sendiri.

Zal hanya bisa menggeleng-geleng sambil tertawa. "Dasar sinting."

🌲

Kehebohan kabar Kak Agung dan Lauren yang berpacaran itu tertelan dan redup dalam beberapa minggu. Semua orang sudah mulai terbiasa melihat kebersamaan dua sejoli itu, termasuk juga Zal, yang tidak lagi terlalu mempertanyakan apa yang terjadi di balik fenomena ini.

Sebab dalam semester itu, ternyata sudah ada tiga cowok lain yang menyatakan perasaannya pada Moraroka---sebagian secara privat, satu lagi terang-terangan---dan semua, tanpa terkecuali, mendapat penolakan.

Entah kenapa hal ini membuat hati Zal tenang.

Pun pola Mora yang selalu menolak siapa saja cowok yang mendekatinya, menjadi sebuah label yang mengiringi gadis itu hingga kini, di tahun kedua SMA, dengan rekor delapan cowok yang ditolaknya.

Si tukang nolak. Si jual mahal. Si paling pilih-pilih.

Demikian, pemuda itu berpendapat lain. Menurut Zal, mungkin saja gadis itu punya alasan tersendiri, motivasi, atau bahkan visi dalam mempertahankan status jomlonya. Zal hampir merasa relate karena dia sendiri juga melakukan hal yang sama. Dan menurutnya, hal ini sah-sah saja. Semua orang mempunyai hak untuk menentukan status masing-masing.

Zal sibuk dengan pikirannya sendiri, berjalan menuju ruang komputer tempat dia akan menunggu pamannya selesai mengampu ekskul komputer setelah jam pulang.

Rute ini membawa pemuda itu melewati ruang kesenian, di mana dia sering mendapati Mora melukis dengan anak-anak ekskul seni rupa lainnya.

Terkadang, gadis itu menetap jauh lebih lama dan lebih sore dari siswa lain, tenggelam dalam dunia dan kanvasnya sampai kemudian Lauren yang rampung latihan cheers mengetuk jendela ruang kesenian.

Namun hari ini, sebuah perbedaan terjadi. Alih-alih memperhatikan Mora selewat dari balik jendela kaca, Zal yang berjalan sambil melamun hampir saja menabrak gadis yang baru keluar dari ruang kesenian itu.

"Ups, sorry! Aduh, Maaf, maaf. Nggak sengaja." Mora buru-buru menyerahkan tisu dari dalam sakunya, dan Zal baru sadar kalau seragam yang dikenakannya ketumpahan air cat dengan warna hijau kekuningan.

Zal meraih tisu dari Mora, segera mencoba mengeringkan kemeja seragamnya. "Yah...," gumam pemuda itu. Nodanya masih bersisa. "Ini... bisa hilangnya pake apa, ya?" tanya pemuda itu sambil menunjuk kemejanya sendiri.

"Itu cat air, jadi nggak bakal nempel kok. Bisa dicuci pakai air hangat, nanti bekasnya bakal luntur sendiri. Sekali lagi, maaf ya...."

Pemuda itu mengangkat wajahnya, untuk kemudian bertemu tatap dengan mata bening gadis itu yang menyiratkan kekhawatiran. Seketika Zal bisa merasakan degup jantungnya jatuh sampai ke perut, berputar di sana bagaikan pusaran air yang menyedot segala keberanian untuk berkata-kata. Dia tenggelam dalam tatapan Moraroka.

Selama ini, sebagai teman sekelas, mereka tentu saja pernah bersisian. Bahkan dalam setahun, Zal pernah dua kali sekelompok dengan Mora. Dia sering berpapasan, bertegur sapa, dan mengobrol dengan gadis ini. Terlebih lagi, gadis ini memang tulus dan ramah ke semua orang.

Namun, tetap saja ada jarak yang kedap antara mereka. Tak pernah, sekalipun, dalam satu setengah tahun berstatus sebagai murid SMA, Zal menghabiskan waktu berduaan saja dengan gadis ini. Mengobrol, bertatap muka, dengan jarak sedekat ini.

"Apa perlu... aku yang cuciin? Sebagai bentuk tanggung jawab...."

"Eh, nggak usah!" Zal kembali tersadar pada realita. Pada mata Mora yang kini berkedip khawatir di depannya. "Nggak usah," ulangnya dengan nada lebih santai.

Setelah memastikan dengan sebersit senyum tipis, akhirnya gadis itu tersenyum juga. Tampak lega.

"Sekali lagi, maaf ya?" ucap Mora untuk yang ke sekian kalinya.

Zal, yang sudah lebih rileks, menggelengkan kepala sambil berkata ringan. "Nggak masalah. Saya percaya omongan kamu yang jadi pawang cat, kalau nanti nodanya bakal hilang pakai air hangat."

Pemuda itu kemudian menunjuk sudut lain koridor, ke ruang komputer yang menjadi tujuannya. "Saya duluan, ya," pamitnya.

Ketika Zal baru melangkah sekali, suara gadis itu terdengar lagi.

"Kamu... mau ke lab komputer, ya?"

Pemuda itu menoleh. "Ya?"

Di tempatnya berdiri, Mora menyuguhkan senyum.

"Bener, kan? Kamu ini... Syahrizal keponakannya Pak Yadi yang ngajar komputer, ya kan?" Senyum gadis itu masih belum luntur. "Aku sering lihat kamu lewat sini kalo sore."

Seketika Zal menganga, sukar berbicara. Dia sadar, bahwa pada detik itu, personifikasi pengamatannya baru saja mewujud menjadi interaksi nyata.

Ternyata, selama ini, dia juga diamati.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro