14 · Loud Closeness

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Waktu bergulir tanpa terasa. Tahu-tahu saja, tahun terakhir SMA menyambut Zal di depan mata. Beruntungnya, selama tiga tahun yang bergulir lancar ini, dia selalu sekelas dengan sang primadona angkatan.

"Wah, mau daftar di ITB juga, Zal?"

Pemuda itu mengangkat wajahnya yang sedari tadi fokus pada kertas formulir. Matanya beradu dengan manik bening milik Mora, yang sudah tersenyum dari meja di hadapannya.

"Iya, mau ambil Informatika," jawab Zal, dan sedetik kemudian, pemuda itu tersadar akan sesuatu. "Loh, kamu ITB juga? Nggak ambil seni, emangnya?"

Sudah lebih dari sekadar rahasia umum bahwa sang primadona ini merupakan gadis berbakat seni nan gemilang. Bukan hanya dari ekskul dan hasil karya di kelas kesenian yang membuktikan, melainkan juga setiap apa yang gadis itu buat---catatan di buku, cara berpakaian, dan segala hal yang dibuat dari tangannya---semuanya memancarkan nilai estetik yang tak bisa diimitasi orang lain.

Mora terkekeh pelan. "Di sana kan ada Fakultas Seni Rupa."

"Oooh." Zal pun mengangguk, baru sadar akan fakta terselipnya jurusan seni di tengah kampus prestisius yang terkenal akan jurusan eksaktanya. "Keren dong, semoga lolos SNMPTN ini ya."

"Iya, kamu juga." Gadis itu menyuguhkan senyum yang sedikit melumpuhkan pemuda itu, sebelum kemudian berlalu.

Zal menggelengkan kepala. Tak mudah menerima kenyataan kesempatan sekelas dengan gadis itu akan berakhir dalam beberapa bulan.

Namun melihat adanya celah sempit kemungkinan mereka akan diterima di satu almamater kampus yang sama, entah mengapa memberikan asupan semangat yang asing bagi pemuda itu.

Tiba-tiba saja, Zal ingin belajar dengan rajin.

🌲

"Lo harus tembak doi, Zal." Suara Juno timbul di tengah-tengah kunyahannya. Mereka sedang menghabiskan waktu sebelum les tambahan sepulang sekolah.

Zal melirik sekilas sambil menyeruput es tehnya. "Siapa?"

"Siapa lagi? Ya Mora lah!"

"Hm." Pemuda itu menaruh gelas es teh. "Enggak ah."

Juno melongo, hampir membuat segumpal bakso keluar dari mulutnya. "Gimana sih Bre, udah PDKT dua taon masa nggak ada closing-annya?"

"PDKT pala bapak lo," jawab Zal.

"Pffft! Nah, gitu dong ngomong pake lo-gue!" Juno tertawa puas. "Eh tapi serius dah. Masa nggak mau nembak sih? Sebelom perpisahan noh, minimal confess lah."

Zal mulai menghela napas, jengah. "Apanya yang mau dibikin pengakuan sih, Jun? Orang nggak ada apa-apa juga...."

"Yakin? Mustahil loh laki-laki normal nggak jatuh cintrong sama Morarokah," cibir Juno.

"Mustahil juga laki-laki di bumi ini diterima sama dia," balas Zal.

Seketika Juno membulatkan mulut. "Ooooo, takut ditolak ternyata."

Zal berdecak. Dia memukul kepala Juno yang plontos menggunakan botol air mineral kosong. Sobatnya itu pun mengaduh, sebelum detik berikutnya mencoba membalas Zal dengan botol teh kaca.

Dua remaja itu pun tertawa sambil berkelakar di kantin sekolah, tak menyadari langkah kaki seseorang yang mendekati meja mereka.

"Permisi, Zal...?"

Dua cowok itu berhenti, lalu menoleh dan membeku. Mora berdiri di sana.

"Ya?" balas pemuda yang baru disebut namanya itu.

"Sepuluh menit lagi masuk kelas tambahan, em... aku dapet latihan soal ujian mandiri ITB tahun lalu, nih, dari temen mamaku. Mau coba latihan bareng, nggak? Tapi harus fotokopi dulu, biar kamu megang juga. Gimana?"

Tawaran itu sontak membuat Zal langsung berdiri dari kursinya. "B-boleh!"

Juno memperhatikan sobatnya membereskan tas dan langsung pergi tanpa pamit bersama gadis itu, membuatnya menggelengkan kepala botaknya sambil membatin, kenapa kalo sama-sama suka nggak jadian aja sih? Emang kenyang ya, makan gengsi?

🌲

Minggu-minggu pengumuman kelulusan merupakan waktu yang paling menyenangkan sepanjang hidup Syahrizal. Rasanya ketegangan yang dibangun selama berbulan-bulan terbayar tuntas dalam bentuk kabar baik, menderu satu demi satu, semakin lama semakin baik.

Semua dimulai dari keluarnya nilai-nilai try out yang memuaskan.

Lalu kabar baik di Ujian Akhir membuat keluarga Zal di Jogja menjerit bangga saat dikabari lewat telepon.

Terakhir, pengumuman penerimaan kampus via jalur SNMPTN, yang membuat dunia pemuda itu terasa komplit, siap melejit menyambut masa depan.

"Mora, aku...." Zal berhenti sejenak sebelum menyebut kata 'diterima'.

Dia melihat gadis di hadapannya yang masih menggenggam kertas pengumuman, dengan mata tertuju, terpaku, pada tulisan di sana.

Ruang kelas mereka sedang ramai oleh riuh rendah perayaan sekaligus percakapan siswa-siswi lainnya, tapi mendadak telinga Zal kedap suara, dunianya tersedot hanya pada sosok Mora seorang.

"Kamu...?" gumam pemuda itu hati-hati.

Tak terbersit sama sekali di pikirannya bahwa gadis itu bisa saja gagal. Bahwa perjuangan mereka belajar selama berminggu-minggu akan berakhir pada sebuah surat penolakan. Bahwa mungkin, masa depan yang diharapkan Zal tak akan sebagus bayangannya---di mana Mora terlibat dalam hidupnya untuk beberapa tahun lagi, setidaknya sampai wisuda kuliah.

"Diterima."

Suara itu bergetar. Moraroka kini tersenyum lebar.

"Aku diterima. Kita bakal satu kampus! SYAHRIZAL, KITA KULIAH DI ITB!"

Dua remaja itu bersorak ria dan berjingkrak-jingkrak. Sekuat tenaga Zal berusaha menahan diri untuk tidak memeluk gadis yang sedang tertawa lebar di hadapannya itu. Dia hanya bisa memandang, lekat-lekat, berharap momen ini bisa abadi dalam ingatan.

"Sana cepet telepon keluarga kamu di Jogja! Pasti mereka makin seneng denger kabar ini."

Mora berhenti dan menyentuh lengan Zal, membuat pemuda itu tergagap sambil mengangguk, meraih ponsel di saku celana.

🌲

Zal mengira tiga tahun beradaptsi dengan sejuknya Bogor akan membuatnya terbiasa dengan udara dingin Bandung. Ternyata dia salah. Salah besar.

"Lagian kamu aneh, udah tau mau naik gunung malah nggak sedia jaket. Kenapa juga sih kamu gabung organisasi Mapala, Zal? Kayaknya pas SMA kamu nggak cinta-cinta banget sama alam." Mora berkomentar sambil membolak-balik jaket-jaket tebal yang digantung.

Saat itu mereka sedang thrifting di Pasar Gedebage, mencari jaket bekas yang cocok di saku jatah bulanan mahasiswa.

"Bukan nggak sedia, tapi emang nggak punya," seloroh Zal. Pemuda itu menaruh minat pada sebuah jaket The North Face bekas, dengan warna biru tua dan kondisi hampir sempurna.

"Hm," balas Mora di sisi lain rak. "Terus, kesambet apa kamu sekarang jadi tertarik naik gunung? Jadi pencinta alam?"

Zal tersenyum sambil menarik hanger jaket idamannya tadi ke luar rak. Pemuda itu sudah memantapkan pilihan.

"Sebenernya buat refreshing aja, penghijauan mata. Apa lagi aku tiap hari ketemu coding, di depan komputer terus, mumet! Hidup cuma sekali, nggak worth it kalau dihabisin di satu tempat yang itu-itu aja. Bener nggak?"

Pemuda itu menoleh pada Mora, mendapati gadis itu merenungkan kalimatnya dengan serius.

Dia pun mengembuskan tawa pelan, kemudian melanjutkan, "Mungkin kamu harus coba, Mora, sekali aja. Siapa tau jadi inspirasi lukisan kamu."

"Hmmm...." Gadis itu menatap ke arah Zal dengan pandangan berpikir. "Bukan ide yang buruk," ucapnya kemudian.

Tak lama, Mora kembali memilah-milah jaket. Kali ini dengan minat terpupuk, memilih di rak jaket perempuan.

Butuh menunggu waktu setengah semester untuk mewujudkan perkataan Zal di Pasar Gedebage itu. Mencocokkan jadwal antara dua mahasiswa beda jurusan memang agak sedikit rumit, terlebih lagi dengan Mora yang ambisius terhadap prestasi akademiknya---terhadap kemajuan skill melukisnya.

Libur minggu tenang sebelum UTS merupakan waktu yang dimanfaatkan Zal dan Mora untuk menuntaskan janji mereka, bergabung bersama kelompok Mapala tingkat Universitas untuk mendaki gunung Pangrango dan menghabiskan satu malam berkemah di lembah Mandalawangi.

Sepanjang perjalanan, Mora tidak banyak mengeluh. Malahan, gadis itu lebih sering terdistraksi dengan indahnya pemandangan di sepanjang jalur pendakian, dan decak kagum semakin sering terdengar ketika tiba di lembah penuh bunga edelweis yang menjadi tempat peristirahatan mereka.

"Ini keren banget!" gumam Mora sambil berkutat dengan sketch book-nya.

Meskipun hanya bersenjatakan pensil warna, Zal bisa mengintip panorama yang dituangkan dengan sedemikian realistis ke atas kertas.

Kumpulan bunga edelweis yang bertebaran di hadapan mereka tampak seperti gumpalan awan putih di tengah samudera padang yang hijau.

"Ya, keren," balas Zal, tak putus memandang gadis itu.

Mereka menghabiskan beberapa menit lebih lama seperti itu, duduk bersisian berdua, tanpa bertukar kata. Sampai akkhirnya datang salah satu anggota Mapala yang membisikkan sesuatu di telinga Zal, dengan bahasa tubuh sedikit menuntut, untuk kemudian pergi kembali ke tenda.

"Kenapa?" tanya Mora setelah teman Zal tadi hilang dari hadapan mereka.

"Oh, itu... si Agus kayaknya naksir kamu. Dia mau minta nomer kamu dari aku, kasih nggak?"

Ah, lagu lama ini kembali berputar. Mora berdecak, kesal.

"Lain kali kalau ada yang nanyain gitu, ngaku aja kamu jadi cowok aku, Zal. Biar nggak ribet," jawab Mora sebelum kembali pada sketsanya.

"Ribet gimana?" tanya Zal.

"Ya... kan kamu tau sendiri lah, nanti lama-lama mereka bakal coba ngedeketin, nekat nembak, dan aku harus nolak. Capek tauk, dari dulu nolakin orang terus."

Zal berpikir sejenak. "So... aku harus jadi pacar pura-pura kamu? Biar kamu dianggap taken dan nggak digangguin cowok-cowok di kampus?"

"Yap."

"Nggak mau ah."

Mora mengangkat wajah dari sketsanya. "Kenapa?"

Zal memandang menerawang. "Ya... gimana kalau misalnya, aku mau pacaran sama cewek lain? Mereka pasti ogah kalau taunya aku ini cowok kamu. Bisa dianggap fuckboy nanti aku."

"Ya... tapi...." Mora menunduk, sinar matanya padam dan pandangannya mendadak muram. "Tapi... memangnya kenapa kamu mau pacaran sama cewek lain?"

"Hm?" Pandangan Zal kini berfokus pada gadis itu.

"Kalau nggak usah pacaran sama cewek lain, emangnya nggak bisa?"

Zal memiringkan mulut, memasang wajah berpikir. "Ya kan... aku juga pengen ngerasain pacaran, Mora. Pacaran yang beneran. In a relationship, nggak cuma kedok buat cari aman aja. So, maaf ya, kali ini kamu yang harus ngerasain penolakan."

Mora tergagap. Tampak air kaca sudah menumpuk di pelupuk matanya. "Kok...?" Gadis itu tak mampu berkata-kata.

Demikian, Zal menemui pandangan gadis itu dengan senyum hangatnya. "Kenapa? Nggak enak ya, ditolak?"

Pemuda itu menepuk-nepuk pucuk kepala Mora seakan menenagkan bocah yang hendak menangis.

"Makanya, kalau udah tau gini, kamu nggak boleh nolak-nolakin orang lagi, ya?"

Gadis itu tergagap. "Hah? M-maksudnya?"

Dan entah sihir apa yang diembuskan udara sejuk Mandalawangi, yang membuat Zal berani menatap gadis di hadapannya itu lurus-lurus dan berkata dengan tenang.

"Moraroka... dari pada boong-boongan, mending kita pacaran beneran aja. Gimana?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro