17 · Downside of a Princess

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak biasanya Mora berdandan lebih glamor dan niat ketimbang Oren. Demikian, hari ini juga bukan hari biasa.

Setelan dengan rok sepanjang tulang kering, dibungkus jaket wol berwarna biru lembut yang senada dengan corak gerombolan bunga hortensia di ujung rok melengkapi penampilan gadis itu. Atasan rajut model turtle neck menyembul manis di balik jaket, melindunginya dari cuaca dingin kota Bogor yang gerimis sejak pagi.

"Gilak. Berasanya kayak lo yang jadi artis Nek, bukan gue." Oren berkomentar sambil memperhatikan sahabatnya dari atas ke bawah.

Mereka berdua sedang berada di ruang tamu rumah Mora, menunggu jemputan Aji yang sekaligus juga akan memulangkan Oren.

"Lo kan yang paling artis. Artis Internet," balas Mora. "Bare face aja masih bisa dikontenin buat morning skincare routine. Ckck."

Oren tertawa. "Ya tapi maksud gue, lo bare face aja udah caem, jadi pas glam up dikit begini kerasanya kayak artis. You have the face of it, Nek. Kenapa nggak mau jadi art influencer juga sih lo di Instagram? Selfie-selfie dikit kek di depan lukisan gitu, review sana-sini."

"Ini lagi...." Mora terkekeh. "Udah berapa kali juga gue bilang, nggak mau, skip. Gue masih pengen hidup tenang."

Perdebatan remeh dari dua bersahabat ini berlanjut selama beberapa menit, terjeda sedikit oleh Mora yang mengecek pesan di ponselnya, tanda Aji sudah hampir sampai. Gadis itu pun mengajak mereka untuk menunggu di teras depan.

Tak lama, mobil Aji tiba. Ketika masuk menduduki kursi depan, Mora mendapati tunangannya itu tak berkedip memandanginya.

"Hai? Kenapa?" Gadis itu bertanya sambil memasang sabuk pengaman.

"Kamu cantik." Itu saja komentar dari mulut Aji, pelan dan lirih, namun matanya berbicara lebih.

Sementara di kursi belakang, Oren yang melihat kebucinan mereka berpura-pura mengeluarkan suara muntah.

Melihat aksi sahabatnya, Mora pun tertawa. "Maafin ya, Ji, si Oren emang selalu lebay kalo liat aku uwu-uwuan sama pacar dari dulu."

"Dari... dulu?" ulang Aji.

"Eng, maksudnya...." Seketika Mora sadar dia kelepasan bicara. "Nggak."

Gadis itu mengunci mulut. Untungnya perjalanan dari Bogor ke Pondok Indah dihiasi rintik-rintik gerimis yang masih setia menaungi langit Jakarta, melancarkan laju mobil Aji tanpa tersendat kemacetan yang berarti.

Setelah men-drop Oren di Pondok Indah, Aji mengemudikan mobilnya dengan lebih pelan, sengaja membuat jarak tempuh antara Selatan dan Pusat Jakarta berjalan sedikit lebih lama.

Sesekali, ketika mobil berhenti di lampu merah, dia melirik pada yang duduk di sebelahnya.

Merasa diperhatikan, Mora akhirnya protes. "Kenapa sih? Dari tadi ngeliatin mulu. Dandananku nggak cocok, ya? Bajuku kurang apa?"

"Nggak," balas Aji. "Tiap kamu pake baju apa aja cocok terus, kok. You look so cozy, ditambah cuaca hujan-hujan gini, jadi pengen meluk."

Lelaki itu membawa satu tangan Mora ke dalam genggaman, lalu mengecup buku-buku jarinya. Aji lantas menempelkan punggung tangan tunangannya di pipi, menunggu lampu merah berubah hijau.

"Apaan sih." Mora terkekeh, namun tak menarik tangannya dari sanderaan Aji.

Gadis itu membiarkan Aji memain-mainkan jari-jari tangannya, merasakan kulit wajah dan jemari lelaki itu yang saling bertautan, bergesekan. Tak biasanya Aji jadi affictionate seperti ini, menjalankan kontak fisik tanpa alasan yang kuat.

"I'm just very happy to have you, itu aja." Aji berkata sambil mengecup tangan Mora untuk terakhir kalinya, sebab angka counter di lampu merah sudah mulai berkedip, hitung mundur dari detik kelima.

"Aku laki-laki paling beruntung karena bisa milikin kamu," lanjutnya sesaat setelah lampu berubah hijau, sebelum menekan pedal gas.

Mora tidak berkata apa-apa. Gadis itu hanya tersenyum, menutupi gemuruh samar dalam hati untuk dirinya sendiri.

🌲

Ketika mereka tiba di kediaman keluarga Aji di Menteng, Mora yang baru turun dari mobil langsung disambut meriah oleh seorang wanita yang tampak anggun dan ceria, yang pada hari ini tepat menginjak usia kepala lima.

"Moraaa, aduuuh, cantiknya anak gadisku yang satu ini." Ibunda Aji merenggut lengan gadis itu, mengelusnya dengan sayang. "Nggak kehujanan kan tadi? Nggak kena macet dari Bogor?"

"Aman semua kok, Mi." Mora menerima kecupan di pipi kanan-kirinya. "Selamat ulang tahun ya, Mi. Mami sehat?"

"Sehat, Sayang. Makasih ya. Yuk masuk yuk, temani Mami nyiapin masakan. Dikit lagi jadi nih."

Mora pasrah digiring calon ibu mertuanya ke arah dapur, sekilas melempar pandangan pada Aji yang sudah terkekeh pelan. Lelaki itu memberi tanda dengan kedipan mata bahwa Mora dipersilakan menjalankan peran sebagai tamu pengalih perhatian, sementara Aji akan menyiapkan kue ulang tahun yang dipesannya untuk sang mami.

Ya, kehadiran Mora kali ini untuk menjalankan birthday dinner ibunda Aji.

Sepanjang sore menjelang malam itu, Mora menghabiskan waktu yang sangat kontras dengan cuaca dingin di luar. Hangat, hangat yang menjalar dari interaksi Aji dan maminya, perlahan bisa mencairkan senyum Mora menjadi tulus juga.

Sambil menyiapkan masakan yang sudah matang di meja makan, Mora berbasa-basi menanyakan kabar dari anggota lain keluarga ini.

"Papinya Aji kapan balik dari Jepang, Mi?"

"Masih hari Kamis besok. Untung ada kamu yang mau nemenin, Mora, jadi Mami nggak harus ngerayain ulang tahun berduaan doang sama Aji."

Wanita itu membantu Mora yang sedang menaruh seloyang lasagna di atas meja, lalu melanjutkan, "Kemarin Aji cerita katanya dia akhirnya dikenalin sama papa kamu. Benar itu, ya?"

"Ah, iya...." Seketika Mora merasa serba salah.

Masalah keluarganya sudah menjadi rahasia umum bagi keluarga Aji. Sama seperti Mora yang paham akan permasalahan papi Aji yang terlampau sibuk bekerja, bolak-balik Jepang-Indonesia, meninggalkan istrinya yang haus kegiatan di rumah mewah ini.

Namun lagi, ini bukanlah masalah yang sebanding.

Mora merasa keluarga Aji---terutama ibu dan anak lelaki satu-satunya itu---memiliki cinta yang sangat kentara, ringan dibagikan dan ditunjukkan kasih sayangnya. Sementara keluarga Mora, tidak demikian.

"Baguslah kalau akhrinya ada kesempatan buat Aji ketemu papa kamu. Memang sulit kalau keluarga sudah pisah atap, lebih-lebih pisah kota. Ini aja Mami ngerasain pisah negara sekali-sekali, nggak enak!"

Ucapan yang dilontarkan oleh ibunda Aji itu bernada ringan, berbalut sedikit candaan, sehingga berhasil membantu menenangkan kegelisahan Mora. "Iya, Mi," balas gadis itu sambil menata garpu besar untuk menyerok lasagna.

Dengan begitu, lemas sudah urat tegang Mora sepanjang makan malam. Di meja makan yang panjang ini, tersaji berbagi hidangan lezat yang juga merupakan kreasi chef pribadi yang dipanggil oleh ibunda Aji khusus untuk hari ini.

Mora menikmati santapan ini, obrolan dengan Aji dan maminya, serta suasana yang tenang di tengah perumahan elit Pusat Jakarta. Rasanya wajar kalau dengan gaya hidup seperti ini, mami Aji masih terlihat begitu muda dan bersemangat. Mereka menjalani hidup yang mudah sekaligus mewah.

Alih-alih merasa iri, Mora malah bersyukur bisa mencicipi jadi bagian dari keluarga ini.

Menjelang akhir makan malam, Aji meninggalkan meja makan sejenak hanya untuk kembali membawa kejutan; kue dengan lilin angka 50 yang menyala di atasnya.

"Ayo Mam, make a wish dong." Aji berucap sambil menerima tiga pasang piring dan garpu untuk kue dari ART mereka.

"Mmmm, oke," jawab wanita yang kini sudah memejamkan mata itu.

Alih-alih menyimpan sendiri, ibunda Aji sengaja mengucapkan harapannya.

"Mami berharap, semoga hubungan Aji dan Moraroka dilancarkan sampai ke pelaminan. Semoga kalian menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis, utuh, kuat, dan karena umur Mami sudah cocok jadi nenek, semoga anakku ini segera diberkahi keturunan nantinya, supaya rumah ini nggak sepi lagi. Amin."

"A... amin." Berat sekali rasanya Mora mengucapkan kata itu, ditambah senyum yang kini terasa kaku di pipinya.

Sementara Aji, setelah mengamini dengan sepenuh hati, turut merajut harapan maminya itu dengan sebuah pembahasan cukup serius.

"Mam, kebetulan kan rencana nikahnya aku sama tuh Mora tahun depan. Nah, pas banget tadi aku udah sempat tanya-tanya sama temanku yang punya perusahaan properti. Terus...."

"Tunggu." Sang mami memotong ucapan Aji, tepat juga sesaat sebelum Mora menyela lelaki itu.

"Properti? Maksudnya, kamu mau beli rumah sendiri?" tanya ibunda Aji, lengkap dengan tatapan tak percaya.

Mora sendiri juga sulit percaya. Aji sama sekali tak pernah membahas ini dengannya. Rumah? Properti? Kenapa baru kali ini telinga Mora mendengar kata-kata itu keluar dari mulut tunangannya?

"Ya, gimana pun kan nanti aku sama Mora harus tinggal di rumah sendiri, Mam, kalau udah nikah." Aji menjawab santai sambil menyendok potongan kue.

Wanita yang melahirkan Aji itu tampak tidak paham. Dia menggeleng sambil berkata, "Sebentar, tunggu dulu. Kamu kapan ya memutuskan ini? Bukannya kalian nanti jadi pindah ke sini? Tinggal sama Mami? Iya kan, Mora?"

"Ah, itu...."

Semakin parah. Bahkan untuk hal yang ini, Mora sama sekali tidak paham. Tak pernah sekali pun ada bahasan topik ini.

Gadis itu curiga bahwa dia sedang menjadi objek tarik-ulur antara kemauan Aji dan maminya. Dia clueless, sama sekali hilang arah dalam pembicaraan di meja makan ini.

"Kayaknya kita perlu ngobrolin ini berdua dulu deh, Mi. Ya kan, Aji?" Gadis itu beralih pada lelaki yang memulai ini semua.

Aji, di satu sisi meja, masih mengunyah kue tanpa rasa bersalah. "Mmmm, ya, well... kenapa nggak kita obrolin sekarang aja kalau gitu?"

Seketika punggung Mora terasa kaku. Kenapa Aji menempatkannya di posisi serba salah begini? Apakah ini taktik bos Funance untuk mengikatnya tanpa memberi waktu untuk berpikir?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro