18 · Unknown Encounter

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seumur hidup, Yamamoto Aji selalu percaya pada satu hal; doryoku wa uso o tsukanai, bahwa hasil tak akan pernah mengkhianati usaha.

Peribahasa ini terbukti berulang kali, lagi dan lagi, sejak dia kecil hingga masuk ke dunia kerja kini. Hampir semua hal yang diusahakan oleh Aji, yang diberikan curahan waktu dan energi, berujung menjadi kenyataan dengan hasil yang memuaskan.

Sebut saja pembukaan anak perusahaan keluarga papanya di Indonesia. Funance yang tadinya merupakan lahan bermain Aji, sebuah objek penelitian sekaligus tempat magang dengan bimbingan ayah sendiri, kini bisa dia pimpin di negara kelahiran ibunya. Sebuah negara berkembang dengan sejuta potensi.

Hal itu juga yang dia harapkan terjadi di kehidupan asmaranya dengan Moraroka. Sejauh ini dia berusaha, dan hasil tak pernah mengkhianatinya.

Aji berusaha menekan gengsi dan mendekati Mora, menyambangi gadis itu di galeri tempatnya bekerja terpaut beberapa hari sejak mereka awal bertemu.

Dia juga berkorban banyak waktu untuk Mora---yang jauh lebih berharga ketimbang uang melimpah yang akan selalu ada gantinya---dan itu semua berujung sebuah kepastian yang mengikat di jari manis gadis itu. Sebuah pertunangan.

Sejauh ini, Aji merasa puas dan berhasil dalam memimpin alur hubungannya dengan gadis itu. Kecuali malam ini, saat realita tidak berjalan lurus dengan ekspektasinya.

Ini semua bermula sejak pembahasan rumah dan properti setelah mereka menikah nanti.

Dalam hemat Aji, dia sengaja mengangkat topik itu di momen yang tepat, di mana dua wanita terpenting dalam hidupnya sedang duduk di meja makan yang sama. Lelaki itu beranggapan bahwa caranya ini akan menghasilkan sebuah persetujuan kolektif antara mami dan tunangannya, mendukung keputusan Aji tanpa perdebatan lagi.

Tapi kenyataannya, konsep 'tinggal terpisah' dari rumah sangat ditentang oleh sang mami. Yang ini, Aji bisa pahami. Maminya memang sedikit posesif, teritorial karena memang dia wanita yang butuh ditemani oleh orang tersayang.

Di sisi lain, respons Mora-lah yang membuat Aji sedikit terperanjat.

Baru pertama kali dia melihat gadis yang dimilikinya tampak tidak setuju, bahkan menjurus kontra dari rencana yang sudah disiapkannya.

"Ya ya aku paham kita akan bahas ini cepat atau lambat. Tapi kenapa harus sekarang banget sih, Ji? Kenapa harus di depan mami kamu? Ini tuh hal yang semestinya kita obrolin privat berdua dulu, kita harus satu kepala sebelum menyampaikan kabar ini ke mami kamu---juga mama aku, kalau perlu."

Gadis itu berargumen sambil berjalan mondar-mandir di teras rumah Aji.

Mereka baru saja menyelesaikan makan malam yang berakhir memanas, sebab sang nyonya rumah bersikukuh bahwa apa yang diucapkan putranya adalah sebuah hal yang konyol; tinggal terpisah, pindah dari rumah ini, meninggalkan sang ibu sendiri. Sungguh tidak bisa diterima.

"Doesn't matter di mana atau gimana kita nyampeinnya, yang terpenting itu aku tanya ke kamu sekali lagi, kamu setuju kan, sama ide kita pindah setelah nikah?"

Aji mencoba meraih lengan Mora, menghentikan tunangannya yang masih mondar-mandir itu, namun dengan cepat gerakannya ditepis oleh gadis yang balas memandang dengan tatapan keruh.

"Penting? Aji, komunikasi itu juga penting! Harusnya kamu ngomongin ini dulu sama aku. Masalahnya tuh di situ!" tukas Mora sambil membuang napas kasar.

Aji masih kukuh. "Masalahnya yang sebenarnya itu, ya kamu setuju nggak sama gagasan aku? Atau kamu lebih milih tinggal di sini aja, pindah ke rumahku dan nemenin Mami?"

"Ya nggak...." Mora menghela napas pelan, tampak berusaha menata emosinya. "Maksudnya, aku sama sekali nggak kepikiran kalau harus tinggal di sini. Kalau misalnya kamu bawa omongan ini lebih awal dan minta pendapatku, aku pasti setuju kita pindah dan tinggal di rumah sendiri setelah nikah."

Aji menjentikkan jari. "Nah, ya udah. Itu aja, done and clear. Yang penting kita satu kepala, satu suara. Bener kan?"

"Bukan gitu juga caranya!"

"Cara apa lagi sih, Mora? Yang penting kan kita udah sama-sama setuju sama keputusan aku. Sekarang cara yang harus kita pikirin itu gimana ngomongnya ke Mami biar dia mau berubah pikiran, biar aku bisa pindah nanti."

"Aji...." Gadis itu menggeleng. "Kamu nggak paham."

"Enggak. Kamu yang nggak paham." Aji menuntun pundak Mora untuk menghadap dirinya, lurus menatap matanya. "Goals itu lebih penting ketimbang masalah yang kamu buat-buat ini, Mora."

"Maksud kamu?" Tatapan Mora ikut mengeras.

"Aku paham, kamu ingin dilibatkan dengan diajak ngomong dulu sebelum aku sampaikan kabar ini di depan Mami. But can't you see, you are included all along! Kamu pikir aku mau beli rumah buat siapa?"

"Tapi aku nggak pernah minta ini!"

Aji terdiam. Mora mendadak bungkam.

Sadar akan emosinya yang sudah lepas, gadis itu pun melepaskan diri dari Aji.

"Maaf, maksudya, aku...." Gadis itu menarik napas. Ekspresinya wajahnya kuyu, seperti baru kalah berperang. "Ji, antar aku pulang. Kita bahas ini di lain waktu."

Maka begitulah, Aji menuruti kemauan gadis itu. Mora berpamitan pada ibunda Aji, dan lelaki itu mengantar gadisnya kembali ke Bogor.

Pada perjalanan pulang yang sepi, Aji menyetir dengan pikiran tak terlalu fokus dengan kemudi. Beruntung jalanan sudah mulai lengang, sehingga lelaki itu bisa bebas mengemudi dengan auto-pilot sambil melamunkan hal yang baru saja terjadi pada hubungannya.

Ini pertengkaran besar mereka yang pertama. Saking besarnya, sampai-sampai Mora enggan diberi kecupan selamat tinggal saat Aji menurunkan gadis itu tadi.

Lelaki itu tidak dapat memprediksi apa yang akan dilakukan Mora esok hari. Silent treatment kah? Mendiamkan, menjaga jarak? Atau malah akan ada konfrontasi lanjutan---hal yang sebenarnya tidak disukai Aji.

Selama memimpin perusahaan, dia terbiasa menjalankan peran yang absolut dan dominan, sehingga membuahkan kemajuan sesuai dengan keinginannya. Dan selama ini juga, semua hal di kantornya berjalan lancar.

Kalau pun ada sedikit kendala, beberapa bawahan yang tidak setuju dengan keputusannya, hal itu akan terselesaikan dengan sendirinya, terjawab oleh waktu, bahwa pada akhirnya Aji memang tahu apa yang terbaik untuk perusahaan. Untuk kehidupan semua orang.

Kini, Mora bertingkah layaknya bawahan Aji yang sedang protes. Dan lelaki itu sudah membuat catatan mental untuk memperlakukan tunangannya seperti dia memperlakukan pegawainya di kantor; disiplin demi kebaikan mereka.

Malam itu pun ditutup Aji tertidur dengan penuh keyakinan, bahwa waktu akan kembali berpihak padanya. Pada pemimpin yang tahu apa yang terbaik untuk bawahannya.

🌲

Gedung headquarter Funance menempati salah satu bangunan tertinggi di area perkantoran Sudirman. Sebagai executive officer, Aji yang baru saja tiba di lantai ruangannya langsung disambut oleh sekretaris berpotongan rambut ekstra pendek yang berjaga di kubikel dekat pintu masuk.

"Pagi, Pak Aji. Untuk schedule hari ini, pagi kita agak longgar tapi nanti siang kita kedatangan tamu klien yang dari Jogja itu. Oh iya, untuk tempatnya belum ditentukan. Meeting-nya mau di sini atau di luar, Pak?"

Pertanyaan beruntun itu membuat Aji yang sedang menyeruput americano menghentikan langkah sejenak.

"Di luar aja, Wi, saya lagi agak suntuk. Tolong atur reservasi di resto sushi yang kita datangi dua minggu lalu itu, ya. Saya suka di sana."

Uwi, sang sekretaris, sigap mencatat dengan pentab di tabletnya. "Consider it done, Pak."

"Good. Selain itu ada apa lagi?" Aji bertanya sambil menyalakan komputer di mejanya. Uwi masih berdiri dengan setia di hadapan sang CEO, kali ini sibuk menggulir tablet yang ada di tangan.

"Sore... ada meeting internal sih, Pak, sama anak-anak IT. Kemarin kan habis maintenance ya? Jadi mereka mau report feedback-nya gitu. Tapi bisa nunggu Bapak selesai sama klien yang Jogja itu tadi kok, atau kalau mau bisa dikasih softcopy dari report-nya biar Pak Aji baca sendiri."

Aji menggumam sambil mulai membuka-buka fail dan halaman surel di komputernya, mencari data dari klien yang sedang mereka bicarakan tadi. "Oke. Ada lagi?"

"Untuk hari ini dua itu aja agenda pentingnya, Pak."

Uwi menurunkan tabletnya dan siap pamit keluar ruangan. Namun sebelum perempuan berpotongan rambut pixie itu melangkah lebih jauh, Aji menghentikannya.

"Wi, sorry bentar, ini keyword buat klien yang Jogja nanti apa, ya? E-mail tenggelam semua sama spam. Udah saya bilang kan kemarin untuk nge-filter, belum kamu lakuin ya?"

"Oh, iya Pak, maaf." Uwi berbalik menghadap Aji dan mengecek tabletnya. "App developer dari Jogja ini, Pak, nanti founder-nya langsung yang ketemu Bapak. Namanya Zal. Cari aja di e-mail bapak keyword 'Artikulasi'."

"Arti apa?" Aji siap mengetikkan di atas tuts keyboard.

"Ar-ti-ku-la-si." Uwi mengejakan per suku kata. "Ada semua kok di e-mail, lengkap dari awal, proposal sampai MOU lengkap semua PDF-nya."

Sang CEO mengangguk setelah mendapatkan surel-surel yang dimaksud sekretarisnya.

Aji pun mempersilakan Uwi untuk kembali ke kubikelnya, sementara dia siap menghabiskan pagi dengan mempelajari ulang calon klien yang akan dihadapinya siang nanti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro