19 · It's a Fluke

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Syahrizal sering merasa dipermainkan oleh hidup.

Sejak lahir, dia menjalani masa kecil yang terbengkalai, diasuh neneknya sebab sang ibu bekerja sebagai TKW di Malaysia. Bapaknya sendiri adalah pengangguran tak berguna, hobi bermain togel dan menenggak ciu, menghabiskan uang kiriman dari sang istri.

Bagi Zal, sosok Bapak tidak lain dari seorang gelandangan yang menumpang tidur dan makan di rumah sang nenek. Sejak sebelum sunat pun dia sudah tahu kalau dia tidak wajib berbakti pada pria itu.

Meskipun begitu, kehadiran bapak yang kelihatannya nirguna ternyata masih mempunyai sepercik fungsi. Melihat pemandangan sepat sedari kecil telah menanamkan sebuah kesungguhan dalam diri Zal, sebuah cita-cita, bahwa kelak jika dewasa dia sama sekali tak ingin menjadi pria seperti bapaknya.

Zal juga belajar sesuatu dari ibunya, sosok abstrak yang tak pernah dia ingat ekspresi wajahnya selain senyum yang terplester di album foto.

Memiliki ibu seorang TKW yang merantau selama belasan tahun membuat Zal harus terpisah dari wanita pemijak surga di telapak kaki itu.

Sosok ibu yang selama ini terekam di memori pemuda itu adalah suara asing di telepon, kabar dari neneknya bahwa sang ibu memperpanjang kontrak (lagi), atau sesekali, setiap empat tahun sekali, wanita yang akhirnya menampakkan diri di hari raya Idul Fitri untuk pulang selama dua minggu.

Zal selalu menganggap kepulangan singkat ibunya itu sebagai sebuah formalitas, retret yang wajib, sekadar ada dan bertamu untuk melihat perkembangan anak lelakinya.

Pemuda itu tidak merasakan pelukan sang ibu adalah hangat, melainkan asing. Asing tanpa obat.

Demikian, Zal bukanlah anak yang tidak tahu terima kasih. Dia paham harus bersikap baik pada ibunya, wanita yang membiayai hidup Zal dan keluarga besar di desa.

Itu lah sebabnya dia setuju-setuju saja dengan gagasan ibunya yang ini menyekolahkan pemuda itu ke ibukota saat masuk SMA, menumpang di rumah pamannya dan berakhir berkuliah di Bandung.

Selanjutnya, kita tahu bagian hidup Zal yang satu ini.

Namun setelahnya, ternyata hidup kembali mempermainkan Zal saat dia mulai merintis usaha, membangun Artikulasi.

Awalnya, Zal kira segala hal akan lancar-lancar saja. Terlalu lancar, sampai mencurigakan.

Kecurigaan itu terjawab saat dia mendengar nama Funance---dan kemudian, siapa yang ada di baliknya.

Semua bermula saat rapat triwulan di tahun kedua Artikulasi. Zal yang memimpin sebagai founder mengajukan sebuah gagasan yang cukup urgen; bahwa perkembangan Artikulasi membutuhkan sarana transaksi yang lebih luas ketimbang transfer bank dan pembayaran via minimarket.

"Coba Jun, riset platform pembayaran digital yang lagi in sekarang. Yang user based-nya cocok sama pasar kita," titah Zal di penghujung rapat, berbalas anggukan Juno yang berperan sebagai pawang finansial sekaligus co-founder Artikulasi.

Persahabatan Zal dan Juno yang dirajut sejak SMA ternyata berbuahkan kerja sama yang sejalur dengan disiplin ilmu mereka masing-masing; Zal sebgai jebolan jurusan teknologi informasi, dan Juno yang merupakan sarjana ekonomi.

"Maksimal deadline-nya kapan?" tanya Juno dari layar video call Google Meet.

Zal berpikir sebentar. "Akhir bulan ini, bisa?"

"Harusnya bisa sih." Juno memastikan sambil mengecek jadwal di kolom sheets pada shared screen yang juga diperhatikan oleh Zal.

Benar saja, Juno menepati janjinya pada akhir bulan. Laporan riset itu mengerucut pada tiga aplikasi finansial yang sedang kencang-kencangnya digunakan di negara ini. Salah satu dari tiga kandidat itu, adalah Funance.

"Kayaknya kalo kita coba reach tiga-tiganya oke nih," ucap Zal, menyimpulkan setelah membaca softcopy report yang diserahkan oleh Juno. Kali ini mereka bertukar suara lewat telepon biasa.

"Gue sih setuju." Balas Juno dari seberang sana. Co-founder Artikulasi itu lantas melanjutkan. 

"Data yang gue kasih tuh bagus-bagus prospeknya. Kalau dilihat dari trend, aplikasi O lagi naik-naiknya, bakar duit buat promo di mana-mana. Penggunanya juga banyakan anak-anak muda sama remaja. Di sisi lain, aplikasi D punya keunggulan karena disokong sama BUMN, memudahkan orang-orang tua buat bayar tagihan air, listrik, sampai pajak. Nah, tapi yang satu lagi...."

Zal langsung tahu yang dimaksud oleh Juno adalah Funance. Pemuda itu menajamkan telinga, mendengarkan penjelasan sahabatnya lebih lanjut.

"Gue bisa ngerasain yang ini punya potensi jauh lebih besar. Fundamentalnya kuat, nggak banyak gimmick tapi penggunanya tiap tahun naik dengan konsisten. Ditambah lagi, dia juga punya keunggulan sama seperti dua aplikasi sebelumnya. Komplet dah."

"Ya, gue setuju banget. Makanya kita kirim proposal ke tiga-tiganya. Makin banyak makin baik. Tapi tetap pastiin yang terakhir ini bisa lolos, yang Funance." 

"Noted. Nanti gue suruh Siska rapihin proposalnya. Kita bikin dulu aja kerangkanya yang paten. Eh, untuk treatment-nya mau disamain atau beda-beda nih, tiga app ini?"

Zal melanjutkan diskusi dengan Juno yang barusan menyebut nama asisten pribadinya. 

Sambungan telepon itu berlanjut menjadi video call, lalu Google Meets di keesokan hari, dan berevolusi menjadi dilema beberapa minggu kemudian, ketika proposal itu lolos dan kontak terhadap Funance berlanjut, sampai di titik Zal membaca sebuah nama yang tertanda di bagian bawah kontrak perjanjian mereka: Yamamoto Aji, CEO.

🌲

Zal sudah terbiasa dipermainkan oleh kehidupan. Diajak bercanda, dijungkir balikkan nasibnya. Semua terasa lucu.

Tapi kali ini, lelucon semesta sepertinya agak keterlaluan. 

Setelah dua bulan berkirim surel, back and forth membangun kerja sama dengan Funance, merencankan campaign dan meniti masa depan kemajuan perusahaan yang sedang lancar-lancarnya berkembang, semua digoyahkan dengan satu fakta bahwa 'Aji' pemilik Funance yang akan berkerja sama dengannya adalah 'Aji'-nya Moraroka.

Hal ini efektif membuat Zal terjepit dalam sebuah situasi klise yang sungguh memuakkan. Dilema antara kepentingan personal atau profesionalnya, yang sepenuhnya terjadi karena kebetulan.

Kebetulan aja Funance aplikasi uang digital yang sedang naik daun.

Kebetulan Juno sebagai tangan kanan sekaligus sahabat kepercayaannya sangat berminat memnjalin kerja sama dengan perusahaan ini.

Kebetulan banyak pegawainya sendiri yang menggunakan dan menyarankan Funance.

Kebetulan project campaign dan perencanaan launching produk kolaborasi mereka berjalan lancar dan mulus.

Dan kebetulan juga, pihak Funance meminta Zal pribadi untuk bertemu tatap saat mereka tahu lelaki itu akan mengunjungi Jakarta.

Sepanjang perjalanan menaiki kereta Singasari dari Jogja, Zal kerap termenung di depan layar ponsel, memperhatikan display picture dari profil WA pemilik perusahaan Funance, memperlihatkan wajah lelaki blasteran Jepang itu tersenyum sambil merangkul seorang gadis yang seketika membuat dada Zal sedikit berdenyut nyeri.

Moraroka tampak cantik sekali di foto itu.

Hal ini membuat belasan jam perjalanan kereta terasa begitu menyiksa bagi Zal. Bukan hanya karena dudukan kursi tegak yang tidak ramah pinggang, namun juga pikiran-pikiran berat yang membayang-bayang.

Pasalnya, tujuan utama Zal pergi ke ibu kota bukan hanya untuk memenuhi panggilan Funance untuk meeting secara langsung, melainkan juga untuk menjemput ibunya di bandara setelah tidak pulang dari negeri jiran selama lima tahun terakhir.

Tekanan itu membuat kepala pemuda ini pening, dan dia bersusah payah untuk mengalihkan itu semua dengan cara tidur selama sisa perjalanan.

Saat akhirnya kereta Zal berhenti di stasiun Pasar Senen, Juno sudah siap menjemput dengan mobil Jeep andalannya. Sobatnya itu langsung merangkul pundak Zal begitu melihat pemuda itu keluar dari stasiun.

"Gila! Makin ganteng aja temen gue yang satu ini!" Juno menjitak kepala Zal sambil tertawa-tawa.

"Kelakuan lo makin kayak homo, Jun," balas Zal sembari menyingkirkan lengan sobatnya yang melingkari bahu. 

Alih-alih terlepas, Juno semakin mengeratkan rangkulannya. "Diem dulu dah, gue kangen nih, kita setahun full nggak ketemu, LDR Jakarta-Jogja mulu!"

"Astagfirullahalazīm!" Zal bergidik, membuat Juno semakin tertawa.

Mereka akhirnya meninggalkan kekacauan di Pasar Senen untuk mencari makan siang sebelum singgah di apartemen Juno, supaya Zal bisa menitipkan tas sekaligus membersihkan diri. Setelah itu, mereka langsung meluncur ke Jakarta Pusat untuk memenuhi janji dengan pihak Funance.

🌲

Gedung-gedung yang mencakar langit Sudirman membuat kepala Zal tak lelak-lelahnya melengok ke luar jendela mobil Jeep. 

Dia pun menoleh ke kanan dan berkata pada Juno, "Kapan ya kita bisa punya kantor di salah satu gedung di sini? Pengen gue. Ini tuh pusat peradaban korporasi di Indonesia. Hebat kalo bisa goal sampai ke sini, jauh-jauh ngerintis dari Jogja."

Juno menoleh sekilas. "Bisa lah itu. Anything is possible! Tanpa priviledge dan kucuran dana dari ortu konglomerat, yaaah palingan kita butuh lima sampai sepuluh tahunan lah biar bisa nempatin salah satu lantai di gedung sini."

Zal terkekeh. "Anjrit lama."

"Proses Bro, proses." Juno pun menekan pedal gas menembus lampu merah yang sudah berkedip hijau.

Sementara Juni mengemudi dan mengeraskan volume musik yang mengisi kekosongan di antara mereka, Zal melanjutkan lamunannya, menyatukan pikiran yang bertebaran ke mana-mana.

Beberapa hari kedepan di kota ini akan terasa sangat berat. Dan semua itu dimulai dari siang ini, ketika Jeep Juno menepi dan masuk ke parkiran underground salah satu gedung tinggi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro