20 · Unwanted Encounter (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selama ini, Zal sadar dia sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menjadi mapan. Dia sudah terbiasa ditempa tanggung jawab dan ekspektasi orang-orang di sekitarnya, mulai dari nenek, ibu, keluarga besar, hingga karyawannya di Artikulasi.

Menjadi mapan dan mampu adalah tujuan hidup pemuda itu setiap hari.

Namun selama ini definisi dua kata itu masih menjadi abu-abu bagi Zal, bagai kabut yang dia coba gapai, tak terbayang bagaimana bentuk solidnya.

Itu sebelum Zal tiba di titik ini. Menginjakkan kaki di gedung kantor Funance telah membuka matanya akan jarak antara mimpi dan keberhasilan, usaha dan kesuksesan.

"Sialan, ngiri gue." Umpatan tertahan yang dikeluarkan mulut Juno membuat Zal menoleh. Pemuda itu pun segera paham apa yang dimaksud sobatnya.

Mereka baru saja melewati sekat enterance yang terbuka otomatis menggunakan kartu vistor yang didapat setelah menyebutkan satu baris kalimat sakti mandraguna di hadapan resepsionis; kami ada janji sama Pak Aji dari Funance.

"Gue juga ngiri, Jun." Zal menggumam lirih, tampaknya tidak sampai ke telinga Juno yang sudah melangkah lebih dalam mengarungi lobi. 

Tujuan mereka memang ke arah lift, namun sepanjang perjalanan ke sana, Zal dan Juno disuguhi pemandangan layaknya hotel bintang lima. Gedung ini bukan hanya mewah, namun juga elegan, efektif, dan sepenuhnya mengintimidasi.

"Lantai berapa tadi katanya?" 

"Hm?"

"Lantai berapa." Zal mengulang pertanyaannya yang sempat diindahkan oleh Juno. 

Sobatnya itu masih sibuk celingukan memperhatikan interior lantai dasar gedung ini, juga sesekali menghentikan pandang sejenak pada orang-orang yang berseliweran di sekitar mereka. Para pekerja korporasi.

"Mmmm, delapan?" Juno balik tanya sambil melangkah masuk ke dalam lift.

Zal berdecak tak jauh di belakangnya. Jujur saja, dia tadi juga tidak terlalu memperhatikan instruksi resepsionis karena dia menjaga jarak di belakang Juno, sibuk dengan pikirannya sendiri. Pemuda itu butuh memantapkan nyali untuk bertemu lelaki yang masuk nominasi CEO of the year pada Mitra Awards tahun ini.

Sambil melamunkan betapa jauh jurang yang memisahkan statusnya dan calon pemimpin korporasi yang akan ditemui dalam beberapa menit, Zal membiarkan Juno menekan tombol lift, membiarkan kubus baja itu membawa mereka naik dan berdenting, juga membiarkan langkah kakinya berjalan dengan sendirinya mengikuti Juno.

Adegan yang hampir sama seperti di lantai dasar kembali terjadi. Juno take over di hadapan seorang perempuan berpakaian formal dan berpotongan rambut sangat pendek.

Awalnya Zal membiarkan saja Juno menyelesaikan urusan mereka, namun fokusnya terpecah seketika saat perempuan di hadapan mereka itu memanggil namanya.

"Mas Zal, ya?" ucap si rambut pixie.

"Ya?" Berkedip seakan memastikan pendengarannya, Zal maju selangkah. "Benar. Mbak ini...?"

"Saya yang kontakan sama Mas lewat e-mail sama Whatsapp, lupa ya?" 

"Oh! Mbak Dewi?" Zal mengulurkan tangan, yang segera dijabat oleh perempuan itu.

"Panggil Uwi saja. Oh iya, Pak Aji-nya lagi ada keperluan mendadak barusan, tapi harusnya sudah balik sebelum jam makan siang. Mas Zal sama Mas Juno silakan duduk di ruang tunggu dulu, nggak papa kan?"

"Oh, iya iya." 

Zal dan Juno mengikuti Uwi ke sisi lain ruangan, melewati kubikel yang berisi pegawai dengan kesibukan masing-masing, sampai akhirnya berhenti di sebuah ruang ber-AC yang dikelilingi pintu dan jendela kaca. 

Embusan wangi rempah-rempah tercium dari air humidifier dekat TV layar lebar. Terdapat beberapa set sofa dan meja kopi serta pantri kecil di sudut ruangan. 

Sejak menapaki kaki pertama saja Zal dan Juno bisa menyimpulkan, bahwa ruang tunggu ini adalah common room yang berwujud seperti akuarium. Akuarium yang nyaman.

"Mau minum apa? Teh? Kopi? Soda? Silakan duduk dulu, Mas."

Uwi menjelaskan dengan sigap sambil menyiapkan teko di pantri. Baru saja tamu-tamunya itu menoleh, dia sudah melanjutkan lagi.

"Oh iya, itu TV-nya bisa dinyalain dan udah login Netflix. Kalau mau connect Wi-fi bisa langsung akses aja tanpa password, terus kalau AC-nya kurang dingin remotnya ada di situ...." 

Tak butuh waktu lama untuk Juno mendudukkan bokongnya di atas sofa empuk, sementara Zal masih termenung berdiri di dekat pintu masuk kaca.

Untuk sekarang memang hanya mereka bertiga yang ada di ruangan ini, namun Zal bisa membayangkan bagaimana semaraknya ruangan ini saat jam istirahat atau selepas waktu kerja, terlebih lagi dengan fasilitas lengkap selevel rumah kos premium ini. 

"Saya tinggal dulu ya, Mas Zal, Mas Jun. Nanti kalau dalam 30 menit Pak Aji belum kembali, saya coba telepon langsung ke nomor pribadinya," pamit Uwi setelah menyajikan kopi dan membereskan nampan, bersiap meninggalkan ruangan.

"Wi, tunggu," tahan Zal. "Kalau boleh tau... Pak Aji ada urusan apa, ya? Memang sering ninggalkan kantor di jam kerja, atau...?"

"Oh, urusan keluarga, Mas. Biasa, Ibu Suri suka minta dijemput dadakan." Uwi tersenyum jenaka, membiarkan mulutnya yang sedikit kelepasan.

Zal pun mengangguk, melepaskan sekretaris Funance itu dengan senyum balasan yang terpaksa ditarik bibirnya. Rasanya kelu. Ibu Suri, ya? ulang pemuda itu dalam hati.

Saat akhirnya pemuda itu duduk di sebelah Juno, sobatnya itu sudah sibuk memilih tontonan di layar TV sambil memangku setoples keripik kentang. 

"Buset Jun, udah settle aja lo di mari." Zal berucap, dibalas kekehan percaya diri oleh Juno.

"Hidup itu harus chill, man. Jangan kaku terus, bengong terus, plonga-plongo kayak kura-kura Madura lagi nge-fly," balas Juno sambil mulai melahap keripik kentangnya.

Zal merasa tersindir. "Emang gue keliatan setolol itu?"

"Yap." 

"Sialan!" umpat Zal sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. Mungkin distraksi sudah terlalu jauh merenggut pikirannya, sampai orang sebebal Juno saja bisa peka.

Beberapa detik berlalu dengan Juno yang terpaku pada layar televisi dan mengunyah keripiknya. Zal membuat catatan mental untuk lebih present pada saat ini; hadir, fokus, dan tidak memusingkan pikiran-pikiran yang liar.

Baru saja Zal mengecek jam di arlojinya, Juno menyeletuk lagi.

"Kenapa sih, bolak balik ngecek jam mulu, gue itung-itung ada kali enam kali dari sepuluh menit terakhir. Ada janji sama siapa lo? Kan jemput nyokap lo masih besok."

"Mmm... janji ketemu sama temen kampus, nanti jam tiga. Terlalu mepet nggak, ya? Apa gue kabarin aja buat reschedule?" jawab Zal, masih tak putus memperhatikan jam di tangannya.

"Temen kampus?" Juno mengulang. "Cewek?"

Pertanyaan itu membuat Zal mengangkat kepala. "Kepo."

Juno mencibir, lalu melanjutkan tontonan yang sempat dijedanya. Zal sendiri mulai mengeluarkan ponsel, membuka jendela chat dan mengetikkan sesuatu di sana. Sesuai ucapannya tadi, dia menata ulang janji temu dengan seorang teman lama.

Tanpa sepengetahuan Zal, Juno iseng mengintip ke layar ponsel pemuda itu. Sebenarnya Juno agak sedikit penasaran, siapa perempuan yang bisa membuat sobat berhati betonnya itu resah sepanjang hari ini.

"Sevia? Namanya kayak judul lagu Sheila On Seven yak."

Refleks Zal langsung mematikan layar ponselnya. Dia melotot pada Juno.

Tanpa rasa bersalah, Juno malah lanjut bertanya. "Dia anak ITB juga?"

"Jun," protes Zal.

"Kita kan beda kampus, jadi gue nggak tau kalo lo deket sama cewek mana aja pas di ITB dulu. Seinget gue sih lo kan cuma pacaran sekali sama si...."

"Udahlah, Jun."

"Wait, tunggu-tunggu!" Juno memotong. "Jangan bilang ini ada hubungannya sama si itu...? Eh, Zal, sumpah lo?! Nggak nyangka gue!"

"Apa sih, woy! Pikiran lo kejauhan bego. Sevi tuh klien, kontributor Artikulasi dari tahun lalu! Dia yang username-nya BaksoGabut itu, tau kan lo? Kebetulan aja dulu kita sekampus." Zal menjelaskan dengan nada frustrasi.

Juno membulatkan mulut sambil bergumam. "Oooo." Sedetik kemudian, dia kembali menoleh pada Zal dengan ekspresi muka horor. "BENTAR! BERARTI DIA ANAK JURUSAN SENI ITB?!"

"Bukan gitu, Jun---"

"Si anu juga jurusan kesenian ITB kan? Berarti mereka sejurusan dong? Tahun angkatannya gimana? Jangan-jangan sekelas? Jangan-jangan emang temennya!"

Zal mulai memijit pelipis kepala.

"Atau jangan-jangan...." Juno melanjutkan sambil memandang curiga pada Zal. "Lo sengaja ya, bangun relasi sama temen-temen ono, biar pas ke sini ada---"

"Mulut lo ngawurnya nggak kira-kira ya," sela Zal. Dia menghela napas. "Enggak Jun, aman, clear. Emang gue kenal si Sevi dari jaman kuliah, dan emang mereka sejurusan. Tapi ini semua purely business, semuanya buat Artikulasi. Masa gitu aja lo nggak paham sih?"

Juno kembali tenang dan kini tampak menimbang-nimbang penjelasan sobatnya.

"Jadi... beneran nih ye, lo nggak ada urusan apa-apa sama si ono? Udah nggak pengen nyari-nyari lagi ato diem-diem ketemu? Entar galau lagi, mabok lagi, tepar lo."

"Aman." Zal mengacungkan dua jempolnya.

Sedetik Juno memperhatikan kesungguhan di mimik wajah sobatnya, sebelum kemudian dia mengangguk percaya. "Oke, bagus."

Namun demikian, perlahan ada perasaan cemas yang membumbungi dada Syahrizal. 

Sobatnya itu tidak tahu bahwa hubungan antara CEO Funance yang akan mereka temui ini erat kaitannya dengan Moraroka, mantan yang haram hukumnya disebut oleh mulut Juno.

Rasanya menyembunyikan kenyataan ini seperti mengkhianati satu-satunya teman yang paling setia bersahabat sejak remaja, membuat Zal tak bisa duduk dengan tenang.

"Jun, gue mau ngasih tau sesuatu."

"Hm?" Mata Juno melirik sekilas, sebelum kembali terpaku pada layar TV.

"Ini soal...." Zal menarik napas. "Soal Mora. Gue mau ngomong tapi lo harus janji tetep chill, ya?"

Juno langsung menoleh dengan cepat. "Apa?"

Zal berdeham, lalu memajukan posisi duduknya untuk berkata lirih di depan Juno.

"Sebenernya, Aji yang mau kita temuin itu...."

Mendadak pintu ruang tunggu terbuka. Uwi melongokkan kepala dari sana, lalu tersenyum ramah. "Mas Zal, Mas Jun, makasih sudah nunggu."

Zal langsung menegakkan duduknya dan menjauh dari Juno, membuat sobatnya itu menoleh dengan mata yang masih bertanya-tanya.

Pintu dibuka lebih lebar oleh Uwi, menampilkan sesosok lelaki berwajah oriental dengan mata tajam dan senyum tipis. Lelaki itu melangkah masuk dengan percaya diri, seketika membuat atmosfer ruangan penuh dengan campuran karisma dan sedikit intimidasi.

"Halo, maaf ya, udah jauh-jauh datang dari Jogja tapi malah saya tinggal-tinggal. Lama nggak, nunggunya?"

Aji mengulurkan tangan yang langsung dijabat oleh Juno, disusul Zal beberapa detik berikutnya. Jabatan tangan itu terasa ganjil; mantap, tegas, aman, sekaligus membuat Zal merasa kecil.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro