PART 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


PART 1

"Karena dia Jati, Na."

Yasmin tersenyum kepada bayangan wajahnya di depan cermin. Sepulang dari kumpul-kumpul bersama kedua sahabatnya, Yasmin memilih pulang ke rumah. Ana mengeluh bahwa waktu berkumpul hari itu terlalu singkat. Jika ditotal antara waktu nongkrong di kafe dan shopping, hanya sekitar dua jam lebih. Dua jam dua puluh menit sekian. Yasmin beralasan, dia tidak bisa berlama-lama di luar rumah, karena dia harus pulang sebelum sore. Dia tidak mau ketika Jati pulang dari kantor, dia tidak berada di rumah. Jati mungkin tidak akan protes karena suaminya itu terlalu sibuk dengan proyek pembangunan cluster perumahan di sebuah kawasan Jakarta Utara. Waktunya begitu terfokus pada pekerjaan sejak pulang dari bulan madu.

Entah, jika Jati adalah seorang workaholic.

Atau Jati melakukannya sebagai alasan untuk menghindarinya.

Yasmin hanya mengambil kesimpulan sendiri karena dia melihat hubungan mereka masih cukup canggung satu sama lain. Jati tidak banyak bicara kepadanya sejak mereka bertemu untuk pertamakali di acara ulangtahun ayahnya, momen yang membuat Yasmin merasa sangat gugup sekaligus bahagia. Dia pikir tidak akan pernah bertemu Jati lagi setelah laki-laki itu terbang ke Inggris untuk mengambil magister Arsitektur.

Lalu ketika laki-laki itu mengutarakan niat untuk menikahinya, tidak terlihat intensi berlebihan. Yasmin tidak yakin apakah saat itu mereka sedang pacaran atau tidak saat Jati melamarnya.

Tidak ada kata-kata romantis seperti yang selama ini Yasmin bayangkan. We are destined to be together, you are my other half, or i can't imagine a world without you.

Jauh dari semua kata-kata sakti semacam itu. Jati bahkan tidak pernah mengatakan jika Jati mencintainya.

"Saya sedang tidak menjalin hubungan dengan siapa-siapa. Dan saya juga tahu kamu dalam keadaan yang sama. Kalau saya meminta kamu menikah dengan saya, apa jawaban kamu?"

Just like that. As simple as that.

Lucu banget kan?

Tapi anehnya, Yasmin tidak tertawa saat itu. Permintaan Jati, membuatnya kaget sekaligus panik. Bagaimana tidak panik, jika dia tidak pernah menyangka hari itu dia akan dilamar. Dan lamaran itu datang dari seorang laki-laki yang dia kagumi sejak jaman sekolah dulu.

Is it real? Or just imagination?

Saat Yasmin membuka mata dan menarik napas dalam-dalam, wajah Jati terlihat jelas di hadapannya. Mimpi tidak mungkin senyata ini, bukan?

Bagaimana mungkin dia mengatakan tidak?

Tentu saja, Yasmin mengatakan iya dan menganggukkan kepala dengan yakin. Dia tidak mau kehilangan kesempatan andai saat itu dia tidak langsung menerima dan mengatakan akan pikir-pikir dulu.

No. Kesempatan emas tidak boleh terlewatkan.

Seperti kata Rafael. The golden ticket.

Or diamond ticket.

Yasmin menghela napas. Kini dia sudah selesai membersihkan sisa make-up tipis dengan Chanel make-up remover. Perutnya masih cukup kenyang sehabis makan siang bersama Mbak Siska dan ngemil saat nongkrong bersama Ana dan Rafael. Waktu makan malam masih sekitar tiga jam lagi. Dia bisa menyiapkan sesuatu untuk makan malam.

Sebelum berangkat pagi menjelang siang tadi, Yasmin sudah merencanakan akan memasak pasta. Namun, niat itu urung, mengingat makan siangnya berupa pasta dengan salmon. Sesuatu seperti steik kelihatannya cukup pas untuk menu makan malam. Dia bisa menambahkan salad atau sayuran rebus sebagai pendamping steik.

Yasmin meraih ponsel yang dia letakkan di atas meja makan, kemudian mengetikkan chat ke Whatsapp Jati. Menanyakan apakah Jati akan bergabung dengannya untuk makan malam bersama.

Hubby : Iya. Saya baru mau pulang.

Yes!

Wifey : ditunggu ya. Drive safely.

Hubby : ok thanks. Will do.

Yasmin menyimpan kembali ponselnya dan kembali ke dapur sambil bersenandung.

Dia akan membuat steik dan salad terenak untuk sang suami dan mendapatkan pujian darinya.

***

"Saya duluan ya?" sapa Jati kepada tiga orang yang baru saja selesai meeting dengannya. Ketiga orang itu adalah arsitek dan desainer yang bekerjasama dalam pembangunan cluster. Mereka juga bersiap-siap untuk meninggalkan ruang meeting tersebut.

"Iya, Pak Jati."

"Wah, kalau pengantin baru, memang mesti sering-sering pulang cepat, Pak. Masih terasa hawa bulan madunya."

Jati hanya tersenyum tipis menanggapi celetukan Pak Candra, kepala arsitek proyek. Pak Candra dan dirinya sudah cukup akrab karena kerjasama selama tiga tahun terakhir. Sudah begitu banyak proyek yang mereka tangani bersama dan hasil kerjanya sangat memuaskan.

Dalam perjalanan menuju Pajero yang terparkir di halaman, ponsel yang digenggamnya memperdengarkan nada pesan masuk. Jati membaca chat dari Yasmin yang menanyakan apakah dia akan pulang untuk makan malam. Cepat-cepat Jati membalasnya. Yasmin mengatakan sedang menyiapkan steik dan salad.

Sebetulnya Jati ingin makan malam berupa nasi dan ayam goreng Kalasan. Tapi, dia tidak mengatakannya. Yasmin mungkin akan berupaya mengganti menu sesuai keinginannya, mengingat dedikasi perempuan itu yang begitu tinggi terhadap pernikahan mereka.

How she deeply felt in love with him. Nothing change since High School.

Yasmin selalu menatapnya kagum, berterima kasih karena pernikahan mereka ibarat sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. Meski agaknya perasaan mereka satu sama lain tidak berbanding lurus.

Jati tidak pernah mengatakan jika dia tidak mencintai Yasmin.

Katakan saja belum. Karena memang perasaan itu belum datang.

Bukankah cinta butuh waktu? Tidak perlu terburu-buru.

Jadi, mengapa dia begitu cepat mengambil langkah untuk menikahi Yasmin sementara perasaannya belum mengarah kepada Yasmin?

Pertanyaan itu sudah terlampau sering muncul di benaknya, beserta jawaban yang juga menyertai.

Dia melakukannya untuk kebahagiaan Yasmin, kebahagiaan keluarganya, dan mungkin juga untuk kebahagiaan dirinya sendiri.

"Sudah pulang?"

Ucapan basa-basi itu menyambut kedatangan Jati ketika dia menunjukkan diri di ambang pintu dapur. Yasmin tengah berdiri di depan meja dapur, menata sebuah piring yang ketika dilihat Jati adalah hidangan makan malam mereka. Ada aroma rempah yang samar berasal dari hidangan berbahan dasar daging sapi premium tersebut. Dia juga melihat sebuah mangkuk bening besar lengkap dengan sendok kayu besar. Dia tidak perlu melongok lebih dekat untuk memastikan isinya. Salad.

Jati mengangguk dan menggumam pelan. "Iya."

Yasmin mencuci tangannya di bawah keran, membuka celemek, dan menghampirinya. Jati menoleh sejenak, menatap Yasmin ragu sebelum dia membiarkan Yasmin mengecup salah satu pipinya. Jati masih belum bereaksi terhadap sentuhan di pipinya. Dia menunggu Yasmin menggapai pipinya yang sebelah lagi. Tapi ternyata Yasmin tidak melakukannya. Yasmin malah mengarahkan langkahnya kembali ke meja dapur setelah memberitahu Jati untuk segera mandi.

Apa badannya bau?

Jati sampai harus mengendus bagian ketiak kemejanya saat berjalan menuju tangga dan memastikan bahwa aroma badannya baik-baik saja.

Mengapa tadi dia tidak menanyakan kepada Yasmin?

***

Yasmin cukup kecewa ketika Jati tidak membalas kecupan di pipinya. Jadi, ketimbang suasananya semakin canggung, setelah mencium sebelah pipi Jati, Yasmin langsung meminta Jati untuk mandi. Dia tidak bisa meminta Jati balas menciumnya. Jika Jati mau, maka seharusnya Jati-lah yang melakukannya lebih dahulu.

Dia kerap menyaksikan papa mengecup kening dan pipi mama setiap sebelum berangkat kantor dan setelah pulang. Mas Yasa bahkan tidak sungkan mencium kening, hidung, pipi dan bibir Mbak Dini, istrinya saat mereka menghabiskan waktu bersama. Atau lebih daripada itu, yang tentu saja off the record.

Ciuman adalah hal yang lumrah untuk pasangan suami istri.

Tapi mengapa Jati tidak bisa melakukannya.

Atau tidak mau melakukannya?

Satu-satunya ciuman Jati kepadanya adalah setelah prosesi ijab kabul. Itu pun hanya sekilas di keningnya.

Yasmin cukup yakin, Jati bukan tipe laki-laki yang senang melakukan PDA. Tapi ini kan bukan tempat umum? Mereka tengah berada di rumah mereka tanpa kehadiran orang lain yang kemungkinan bisa memergoki mereka. Lagipula kalau ada orang lain, seharusnya bukan masalah, kan? Sudah nikah ini.

Rasanya akan sangat ganjil jika hanya dirinya yang terus-menerus mengambil inisiatif untuk menunjukkan perasaannya. Bagaimanapun, Yasmin merasa masih punya harga diri yang harus dijaga. Dia tidak mau Jati sampai mencap dirinya terlalu agresif. Kata Ana, dia harus bisa sedikit menahan diri. Tarik ulur tidak apa, ketimbang mempermalukan diri sendiri.

Dari tempatnya duduk menunggu, aroma sabun mandi khas milik Jati tercium berikut sosoknya yang memakai kaus putih tanpa kerah dan sleep pants Calvin Klein warna abu-abu. Selera laki-laki itu terhadap sanitary dan wewangian ternyata boleh juga. Jati memilih Borghese Bagno di Vita foaming shower gel yang aromanya merupakan perpaduan Hazel, Sweet Almond dan Olive Oil. Terkadang Jati juga memakai Molton Brown Coastal Cypress and Sea Fennel bath and shower gel. Untuk wewangian sehari-hari, Jati kerap memakai Giorgio Armani Acqua di Gio.

Yasmin suka dengan aroma wewangian, apalagi aroma tersebut menempel di tubuh laki-laki yang disukainya. Sensasinya jadi berlipat-lipat, memicu adrenalin. Belum lagi jika dibarengi dengan berlama-lama memandangi wajah Jati yang super good looking itu. Bawaannya bikin susah tidur.

And they are in the same bed every night. Do nothing. Only sleep together.

Tidur dalam arti yang sebenarnya.

Nyiksa banget kan?

Mereka begitu dekat, namun Yasmin tidak bisa leluasa meski hanya sekadar memeluk tubuh Jati sebelum tidur atau saat tidur. Dia pernah mencoba sekali memeluk pinggang Jati dari belakang saat dia yakin laki-laki itu telah tertidur pulas dan saat Jati berbalik menghadapnya, saat itu juga perlahan Jati melepaskan pelukan Yasmin. Entah, Jati melakukannya dengan sengaja. Sampai beberapa hari kemudian, saat sarapan pagi, Jati mengutarakan hal itu. Jika dia bisa terbangun jika seseorang menyentuhnya. Hanya itu. Tapi Yasmin yakin, perkataan Jati merujuk kepada aksi pelukan Yasmin di tengah malam.

Sejak saat itu, Yasmin tidak lagi mencoba mendekatkan tubuhnya kepada Jati.

Menyebalkan.

Menyebalkan karena Jati seolah tahu apa yang diinginkan Yasmin, tetapi berusaha untuk tetap bersikap cool. Menyebalkan, karena sikap cool Jati yang satu itu yang membuat Yasmin menyukainya.

"Sudah bisa dimulai?" tanya Jati setelah duduk.

"Mulai apa?" Yasmin balik bertanya. Dia menggigit sendoknya dengan gemas ketika Jati menatapnya dengan tatapan teduh yang selalu berhasil mengacak-acak perasaan Yasmin.

Gantengnya dikurangin dikit, bisa nggak?

"Makan." Jati mengalihkan tatapan ke piringnya, yang seketika itu membuat Yasmin menarik napas lega. Jati mulai mengiris daging steik dan mengunyah pelan, sementara yang ingin dilakukan Yasmin saat itu adalah memakannya.

Eat him.

Yasmin bisa makan steik dan saladnya kapan-kapan saja.

"Yummy."

Sebuah compliment yang selalu menghadirkan senyum di wajah Yasmin. Akan jauh lebih baik lagi jika Jati mengatakan bahwa malam itu masakan Yasmin enak dan Yasmin sangat cantik.

Jati sering memuji masakannya tetapi tidak pernah memuji untuk hal yang lain.

"Enak aja apa enak banget?" Yasmin menusuk seiris daging steik berlumur saus dan menatap Jati yang sedang serius makan.

"Enak banget."

Wajah Yasmin menghangat.

"Kata orang, the way to a man's heart is through his stomach. Cooking food for a man is a good way to win his affection. Isn't it?"

"Agree with that."

"So, did i win your heart with my cooking?" tanya Yasmin penuh rasa penasaran.

Seperti dugaannya, Jati tidak memberikan jawaban.

"Harusnya aku nggak nanya." Yasmin tidak bisa menahan kekesalan dalam nada suaranya. "Lupain aja."

"Saya nggak mau kamu mencintai sendiri, tapi saya juga tidak mau memaksakan diri. Saya hanya butuh waktu. Waktu sampai perasaan saya dengan perasaan kamu, terhubung dengan baik."

Yasmin menahan pertanyaan berikut yang nyaris meluncur dari mulutnya.

Berapa lama harus menunggu?

"Thanks for loving me, Yasmin. Thank you so much."

Kali ini Yasmin merasakan matanya memanas.

What if?

Bagaimana jika Jati tidak bisa balas mencintainya?

Akan jadi seperti apa pernikahan mereka nanti?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro