Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

                                                                                Prolog


"Apa masih ada yang harus diedit lagi, Mbak?"

Yasmin meletakkan gelas Starbucks berisi frappe yang baru ia sesap. Kedua matanya yang dihiasi kacamata baca memandang ke arah draft cerita anak yang telah dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi cantik yang dibuatnya sendiri.

Siska, editor yang telah bekerjasama dengan Yasmin sejak buku pertama hingga buku keempat ini menggeleng. "Udah oke kok. Hebat ya Mbak Yasmin? Udah bisa nulis, bisa buat ilustrasi sendiri juga. Aku sebagai editor juga turut berbangga."

"Mbak bisa aja." Yasmin tertawa kecil sekaligus malu. Senang sekali, jika hasil karyanya mendapat apresiasi. Padahal baru sekali ini Yasmin memberanikan diri menawarkan gambar-gambarnya. Di buku-buku sebelumnya, dia hanya menulis cerita, dan urusan gambar diserahkan kepada ilustrator tetap penerbit Surya, yaitu Mas Eko.

"Pasti ngerjainnya lama banget ini."

"Lumayan capek sih, Mbak."

Yasmin sempat menunjukkan gambar-gambar buatannya kepada Mas Eko sekaligus "meminta ijin" jika dia boleh untuk sementara waktu mengerjakan satu buku cerita itu full minus bagian editing dan layout. Dan Mas Eko tentu saja tidak merasa keberatan. Lagipula, Mas Eko juga cukup sibuk menangani beberapa pesanan buku.

"Nah, jadi setelah ini, nanti langsung masuk proses layout ya, Mbak?" tanya Yasmin.

"Iya. Untuk sementara, Mbak Yasmin bisa nyantai-nyantai dulu. Sebulanan lebih ini kan aku teror terus."

"Maaf, Mbak kalo aku ngerjainnya lama banget. Aku suka nggak puas aja sih, selalu ngerasa ada yang kurang."

"Tipe perfeksionis memang begitu, Mbak."

Yasmin mengiyakan dalam hati. Orang-orang di sekelilingnya sudah sering mengatakan hal yang sama.

Hal itu mungkin disebabkan sejak kecil, orangtuanya tergolong disiplin kepadanya dan saudara-saudaranya. Sejak kecil, oleh mama, mereka diikutkan berbagai les untuk mengasah bakat, mulai dari les piano, les lukis, hingga kelas balet. Kata mama, hal itu sudah menjadi tradisi keluarga. Sama seperti keluarga di lingkup sosial kelas atas yang menuntut anak-anak mereka untuk memiliki kemampuan akademik dan seni yang seimbang. Bisa menguasai berbagai keterampilan adalah hal yang biasa.

"Oh, ya. Abis ini, Mbak Siska mau ke mana lagi?" tanya Yasmin.

"Mau lanjut ke acara lain. Tadi, aku ada janji dengan editor dari penerbit lain. Kalau Mbak Yasmin mau ke mana?"

"Mau ke mall, Mbak. Ayo ikut sama aku aja."

"Wah terima kasih. Nanti kapan-kapan kalau ada waktu."

***

Yasmin baru saja keluar dari kafe ketika BMW hitam milik Rafael berhenti di halaman kafe. Rafael melepas kacamata hitam dan melambaikan tangan. Yasmin buru-buru menghampiri mobil Rafael.

"Gue nggak minta jemput deh."

"Tapi gue mau jemput."

Yasmin menaikkan dua alis dan bersedekap. "Ada apa sih? Kenapa bukan Ana yang jemput gue?"

"Ana udah nunggu di mall. Tadi kan gue lagi di jalan, trus daripada dia jauh-jauh muter buat jemput lo, gue bilang aja kalo gue yang bakal jemput."

"Hmm. Ya udah kalo gitu." Yasmin tanpa berlama-lama lagi membuka pintu penumpang dan duduk di samping Rafael.

Rafael adalah sahabat Yasmin selain Ana. Mereka kerap berkumpul jika ada waktu. Dulu, mereka biasanya bereempat ; Yasmin, Ana, Rafael, dan Bian. Tapi karena sesuatu hal, Bian tidak pernah lagi berkumpul bersama mereka.

"Gimana sama Jati?" tanya Rafael ketika mobil sudah melaju mulus di jalan tol.

"Gimana apa?"

"Ya, rumah tangga kalian-lah. Baik-baik aja atau gimana?"

"Ya baiklah, Raf. Lo expect-nya gimana emang?"

"Sureal banget aja lo akhirnya bisa nikah sama dia? Dream comes true banget. Tapi tetap saja aneh buat gue. Mengingat dulunya dia tuh kayak Mount Everest-nya Aravena. Bikin cewek-cewek gila, dan cowok-cowok jadi was-was pacarnya pada naksir Jati."

"Itulah gunanya privilege jadi orang kaya, Raf."

"Oh, jadi lo mau bilang dia mau nikah sama lo karena harta? Keluarganya juga bukan keluarga biasa kan? Jadi, gimana ceritanya?"

"Adalaah. Long short story, kakek gue akrab sama kakeknya. Trus, ada kerjasama apa gitu. Urusan bisnis yang lama-lama merembet ke urusan perjodohan."

"Enak banget ya lo dapet golden ticket."

"Heh! Emangnya Indonesian Idol!"

"Iyalah. Ibarat mancing, dapetnya ikan gede."

Yasmin hanya bisa nyengir mendengar ucapan Rafael.

Golden ticket dan ikan besar.

Pengandaian yang cocok.

***

"Sekali-kali dong, Jati lo ajak nongkrong lagi sama kita. Suntuk banget, lihat muka Rafael melulu."

"Heh, suami Yasmin itu bukan tipe suami yang bisa sering-sering dibawa ke depan publik atau dipamerin di Instagram. Bakal bikin gaduh. Ya, nggak beda jauhlah sama tampang gue yang mirip Jamie Dornan."

Ana memutar bola mata. Sudah seringkali dia dibuat terpana sekaligus mau muntah setiap Rafael membicarakan tentang dirinya. Rafael sih emang ganteng, tapi sikap narsisnya terkadang jadi sangat menyebalkan.

"Udah, diem deh. Nggak usah narsis." Ana menyesap cocktail dingin dan menunggu beberapa saat sampai minuman yang mengandung alkohol itu melewati kerongkongan. Pandangannya kini mengarah kepada Yasmin. "Kemarin lo bilang, suami lo tuh sibuk banget ngurusin properti. Masa dia nggak ada waktu senggang buat nemenin lo jalan?"

"Gue nggak mau aja ngajakin duluan. Lagian lo kan tau gimana rasanya kalau nikah karena perjodohan? Banyak canggungnya."

"Ya, trus ngapain lo mau nikah karena dijodohin?"

Yasmin tersenyum kalem.

"Karena dia Jati, Na. Apa gue perlu alasan?"

"Case closed."

***

Bantu vote yaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro