PART 15 (21+)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


PART 15

Yasmin memarkirkan mobil di areal parkir Grand Kemang. Siang itu ada janji makan siang dengan Ana dan Rafael di salah satu restoran hotel, Sperta Restaurant. Setelah hampir sebulan tidak bisa saling bertemu karena kesibukan masing-masing, mereka akhirnya sepakat untuk makan siang bersama.

"Nggak dianter?" tanya Ana setelah Yasmin menghampiri meja mereka. Siang itu Yasmin akhirnya mengenakan tas Coach yang dibelikan Jati, tersenyum sambil membayangkan wajah laki-laki yang sangat dicintainya itu, menciumnya sebelum berangkat kerja.

"Nanti malam kamu mau aku masakin apa?"

"Terserah kamu. Nggak masak juga nggak apa-apa. Kan ada Nena?"

"Nggak mau. Harus request, pokoknya. Lagian, kalo aku masih bisa masak buat kamu, aku nggak akan biarin Nena yang masak."

"Ya udah. Saya request ayam bakar sama sup ayam."

"Okee, siap." Yasmin menepuk lembut dada Jati. "Jangan terlalu capek kerjanya. Makan siang jangan sampai telat. Dan jangan lupa bahagia."

"Ok. Noted."

"Kak Jati udah duluan berangkat kerja tadi."

"Hmm. Kapan-kapan makan siang bareng gitu di rumah lo trus ada Jati juga." Rafael menyarankan. Di antara mereka, hanya Yasmin yang menggunakan kata sapaan "Kak" di depan nama Jati, sementara Rafael dan Ana merasa cukup nyaman hanya memanggil dengan sebutan nama saja. Bukan karena tidak sopan, sebenarnya. Hanya soal kebiasaan saja.

"Boleh aja sih. Kapan-kapan gue bikin acara makan bersama di rumah. Acara Barbeque aja kali ya? Biar santai," kata Yasmin. Mereka belum pernah membicarakan soal acara semacam itu, tetapi Yasmin yakin Jati tidak akan keberatan jika rumah mereka dijadikan tempat berkumpul sahabat-sahabatnya.

"Lo atur aja deh kalo gitu." Ana lantas melihat ke arah pintu masuk restoran. "Eh, udah dateng Si Bian."

Yasmin ikut melihat kedatangan Bian yang sedang berjalan ke arah meja mereka.

"Kalian nggak bilang bakal ada Bian juga?"

"Sengaja. Biar lo nggak ada alasan buat nggak dateng," jawab Ana.

"Nggak mungkinlah. Gimanapun, Bian masih sahabat gue. Nggak boleh dihindari terus."

Sejak Yasmin menolak Bian, hubungan persahabatan di antara mereka tetap berjalan. Hanya untuk menghindari kecanggungan, Yasmin perlahan mulai menghindar. Bermula dari sikap Bian yang sering tidak muncul di setiap pertemuan mereka berempat. Yasmin menganggap sikap Bian itu karena penolakannya.

Rafael dan Ana saling bertukar senyum.

"Gue sama Rafael lagi masang taruhan, apa lo sama Bian bakal saling nanyain kabar atau nggak." Rafael lalu berdiri untuk menyambut kedatangan Bian. "Hei, Bi. Apa kabar?"

Siang itu, Bian mengenakan pakaian kasual, kemeja putih dan jins biru. Masih terlihat tampan seperti biasa, kecuali rambut yang sedikit dipendekkan.

"Gue baik. Gue harap lo semua juga kabarnya baik-baik aja."

Bian duduk di kursi yang berhadapan tepat dengan kursi yang diduduki Yasmin. Wajahnya tersenyum, alasan yang membuat Yasmin membalas tersenyum lebih lebar.

Ucapan Rafael tadi belum sempat mereka sahuti. Bagi Yasmin, tidak ada alasan bagi dirinya dan Bian untuk tidak saling bertegur sapa. Dia belum tahu, siapa di antara Ana dan Rafael yang memasang taruhan bahwa dia tidak akan menanyakan kabar Bian. Dia akan memastikan salah satu dari pemasang taruhan bakal rugi besar.

"Hai, Bian. Apa kabar?" Yasmin memberanikan diri mengajak Bian mengobrol.

"Baik banget. Semoga kamu juga, Yas."

"Aku juga baik banget kabarnya."

"Glad to hear that. Pantes aja jadi tambah cantik."

"Auuwh!" seru Ana dengan erangan dibuat-buat. "Belum lama nongol, lo udah mau bikin taman bunga di sini."

Ledekan Ana untuk Bian yang katanya kadang sweet dan romantis parah kepada Yasmin. Ana juga yang paling gencar menjodoh-jodohkan mereka dulu.

"The most beautiful Princess Yasmin." Bian mengucapkannya seolah tanpa beban.

Sewaktu masih akrab dulu, Bian kerap memanggilnya dengan sebutan Princess karena menurut Bian, dirinya seperti sosok putri di dunia yang nyata dengan segala kriteria yang dimiliki seorang putri kerajaan, serta harus dilindungi. Bian selalu menjadi sosok yang paling perhatian di antara mereka. Bian yang paling sering mengantar dan menjemputnya ke manapun. Bian yang selalu berada di sampingnya setiap Yasmin membutuhkannya. Bian yang paling tanggap setiap Yasmin butuh sesuatu. Bukan berarti Ana dan Rafael tidak sebaik Bian. Hanya saja, Yasmin bisa merasakan perhatian ekstra yang ditunjukkan Bian, yang belakangan diakui Bian sebagai ungkapan rasa sayangnya kepada Yasmin.

Bian menganggapnya sosok spesial, sedangkan Yasmin menganggap Bian sebagai sahabat terbaiknya.

Yasmin hanya tersenyum tipis. Dia enggan berlama-lama melihat ke arah Bian yang memandangnya cukup intens. Yasmin hanya berharap perasaan Bian kepadanya sudah tidak semenggebu kemarin-kemarin. Karena bagaimanapun, Bian adalah salah satu sahabat terbaik, dan mereka harus tetap menjalin persahabatan yang sempat renggang. Dia tidak mau hubungan baik itu harus berakhir karena suatu hal yang mestinya bukan sesuatu yang mengganggu. Dia sudah menentukan pilihan untuk menolak Bian dan Yasmin berharap Bian akan selalu bahagia bersama siapapun pasangan hidupnya kelak.

"Istri orang itu, Bi. Nggak usah digodain lagi," Rafael menepuk-nepuk bahu Bian yang segera dibalas Bian dengan cengiran. "Move on. Gue bantu deh nyomblangin lo sama temen gue. Yaah, walau nggak ada yang secantik, selembut dan keibuan seperti Yasmin sih, tapi patut dicoba. Siapa tau cocok."

"Apa sih, Raf. Lo lagi muji apa nyindir gue?" Yasmin merasa tidak nyaman dengan ucapan Rafael.

"As he always said that you are one of a kind, Yas. Yang dulu ngantri buat jadi cowok lo kan banyak, tapi si Bian ini yang selalu jadi yang paling depan menghalau cowok-cowok lain buat deketin lo."

"Dari kemarin-kemarin perasaan Bian udah bilang deh nggak suka dijodoh-jodohin," celetuk Ana cepat.

"Hmm, ya. Kalo lo mau ngebahas soal mak comblang dan sebagainya, gue balik nih sekarang." Bian terdengar serius sekaligus bercanda. Yasmin tidak bisa menerjemahkan sikap Bian.

"Hah lo. Sensian amat. Mentang-mentang ada Yasmin di sini."

"Itu udah lama banget, Raf. Please, nggak usah dibahas lagi dong." Yasmin menegaskan. Sedetik, dia dan Bian bertukar pandang. Dan jika tidak salah lihat, Bian menunjukkan anggukan.

"Oh, well. Sorry banget kalo gitu, Yas. Buat sikap gue yang kurang sensitif." Rafael menepuk pelan punggung tangan Yasmin dan meminta maaf dengan tulus.

"Sejak nikah, Yasmin jadi lebih sensitif. So, sebaiknya kata-kata yang digunain dipilih-pilih lagi. Nggak enak aja, ngumpul gini malah jadi nggak nyaman satu sama lain." Ana tersenyum kepada Yasmin. "Gue juga minta maaf kalo kadang suka keceplosan ngomong yang lo nggak suka, Yas."

Yasmin memandangi Rafael dan Ana secara bergantian.

"Gue juga minta maaf kalo jatuhnya malah jadi lebih sensitif, padahal gue tau kalo kalian baik banget sama gue dan memang senang becandain gue."

"Biasanya karakter Princess emang seperti itu. Ya kan Yas?" Bian tersenyum kepadanya. "Dan di sisi Princess seharusnya selalu ada sosok yang selalu melindungi."

"Udahan bahas gue ah. Mending bahas yang lain aja." Yasmin mengusulkan.

"Soalnya topik yang ada lo-nya selalu menarik." Rafael terkekeh.

"Iyaa karena lo berdua selalu aja ngeledekin gue."

Ana tertawa. "Awas lho, ntar suami tercintanya tau, kita suka gangguin Yasmin."

"Anaknya polos banget sih. Heran aja, kenapa di antara kita berempat, lo yang duluan nikah. Nggak kebayang gimana manjanya lo sama suami lo." Rafael menggeleng-geleng.

"Iya, bener banget." Ana menimpali. Matanya berkedip-kedip. "Kayaknya udah lama nih kita nggak ngomongin progress lo sama Jati."

"Heh! Jangan mau cerita sama Ana. Ana tuh otaknya udah nggak suci lagi. Banyak terkontaminasi sama konten dewasa. Buruan cari suami, Na. Biar ada pelampiasan!"

"Sialan lo, Raf!" Ana mencubit Rafael.

"Hei! Lo berdua lupa, gue ada di sini?" Bian mengingatkan mereka.

Ana lalu pura-pura berbisik kepada Yasmin. "Detailnya ntar aja kita obrolin berdua."

Yasmin mencoba mengabaikan permintaan Ana. Tidak ada rencana dalam waktu dekat ini untuk menceritakan perkembangan hubungannya dengan Jati. Dia hanya ingin menyimpannya sendiri demi kenyamanan dirinya dan Jati. Kalau sebelumnya dia bersikap terlalu bersemangat mengirimkan WA kepada Ana setiapkali Jati menciumnya, kali ini Yasmin akan berusaha menahan diri. Ana adalah sahabat yang sangat dia percaya, tapi bagaimanapun juga, Ana adalah orang lain. Hal itu dilakukannya demi menjaga privasi dan kenyamanan rumah tangganya bersama Jati.

Hal lain yang membuat Yasmin tidak ingin bercerita banyak kepada Ana, karena sejauh yang dia tahu, sejak awal Ana tidak begitu menyetujui keputusannya menikah dengan Jati. Apakah Ana masih berharap Yasmin menerima Bian, itu juga yang tidak terlalu dipahami oleh Yasmin.

"Ih, nggak usah. Privasi," tandas Yasmin singkat.

Ana hendak membuka mulut, tapi berakhir dengan mengangguk-angguk. Matanya menyipit kepada Yasmin, tetapi Yasmin berusaha tidak peduli.

Setelah mengobrol cukup lama, makanan mereka pun datang.

"Emang nggak pernah nggak doyan sop buntut lo, Bi."

Mereka saling melihat pesanan masing-masing. Rafael memesan Chinese Beef Black Pepper, Ana memilih Hainanese Chicken Rice. Bian memesan sop buntut, sedangkan Yasmin memesan Sate Campur. Rafael menambahkan Nachos pada pesanan mereka. Biar bisa ngemil juga, katanya.

"Buat gue, sop buntut itu salah satu makanan paling enak dan nggak bikin bosen." Bian mulai meracik sop yang dihidangkan bersama nasi putih.

"Ada filosofinya, kali." Rafael mulai mencicipi sepotong daging. "Eh, mungkin."

"Bukannya lo suka karena itu makanan favorit nyokap lo ya?" tanya Ana.

"Hmm." Bian menjawab dengan gumam. Mulutnya mulai mengunyah potongan daging buntut.

Yasmin menikmati sate campur sambil mendengarkan obrolan Ana dan Rafael. Mereka membahas harga saham perusahaan keluarga mereka masing-masing. Tidak lama obrolan berpindah dengan cepat ke rencana liburan. Ana dan Rafael memang terlihat cocok satu sama lain, karena kesamaan hobi mereka yaitu travelling. Ana menyebut-nyebut Santorini sementara Rafael ingin ke Faroe Island. Saat Bian ditanyai akan liburan ke mana akhir tahun ini, Bian belum menentukan pilihan.

"Kalau lo, Yas. Gimana liburan akhir tahun? Udah ada rencana?" tanya Rafael. "Jawaban lo jangan kompak sama Bian. Harus kreatif dikit."

"Belum tau, Raf. Tergantung Kak Jati sih bisanya liburan di mana."

"Ouwh, gitu ya?" Ana melirik Bian. "Tapi kalo lo liburan sama kita, boleh kan? Nggak perlu nunggu akhir tahun. Gue pengen banget balik ke surga Santorini gue."

"Haha, gue kira lo udah mau mati, Na. Nyebut-nyebut surga." Rafael meledek.

"Lo emang nyebelin deh, Raf." Ana berpaling sebentar ke Rafael sembari melemparkan tatapan sebal sebelum melihat kepadanya. "Kalo kita berempat liburan bareng, gimana? Udah lama banget kan nggak liburan bareng kita? Terakhir waktu Yasmin lulus magister kan? Yang waktu ditraktir trip di Niagara Falls sama Universal Studios itu."

"Iya sih. Sepertinya." Rafael mengiyakan.

Liburan itu, dan pernyataan cinta Bian kepadanya di depan Niagara Falls.

"Nggak terasa udah tiga tahun." Bukan Yasmin yang bersuara. Tapi Bian.

Bian melemparkan tatapan yang terfokus kepadanya. Rahangnya nampak mengeras.

Yasmin tidak tahu apakah Bian menyesali pernyataannya saat itu.

Atau menyesali penolakan Yasmin.

***

Last night...

"First kiss?"

Pertanyaan Yasmin itu tidak langsung dijawab oleh Jati. Dia butuh waktu berpikir sampai menemukan jawabannya.

"Kindergarten. Bisa dihitung?"

"What?!"

Wajah Yasmin terlihat kaget bercampur geli.

"Serius? Kak Jati genit juga ya waktu kecil?"

"Nggak. Itu juga saya yang dicium."

Senyum Yasmin melebar.

"Kalau aku ketemu Kak Jati waktu kecil dulu, mungkin aku juga bakal seperti itu. Who can resist this handsomeness?"

"Sekarang giliran saya nanya. First kiss?"

"Kuliah. Sama pacar yang pertama." Yasmin mengulum bibirnya. "Harusnya nggak bikin jealous kan? Aku mau nanya lagi. First love."

"Kok nanya itu?"

"Yee kan nanya pertanyaan bebas. Nggak bisa jawab?"

"I choose dare, then."

Yasmin menyentuhkan bibirnya ke permukaan dada Jati setelah melepaskan kaus Jati.

"Tungguin ya."

Saat kembali, Yasmin sudah menenteng sebuah kemasan pint salted caramel ice cream Haagen Dazs.

"Mau ngapain?"

Yasmin tidak menjawab, dan menyendok es krim kemudian menyuapkan ke mulut Jati. Setelah itu menyuapkan ke mulutnya sendiri. Yasmin kembali menyendok es krim tapi kali ini, disuapkan terlebih dulu ke mulutnya. Sedangkan sisa dari es krim di sendok dituangkan memanjang dari perut hingga ke dada Jati.

"Wanna seduce me?"

Yasmin tidak menjawab. Dia butuh waktu membersihkan es krim yang tadi diletakkan di permukaan kulit Jati dengan lidahnya.

"I love it."

"Stop it." cegah Jati.

"Why?"

"Nggak nyaman aja, Yas."

"Kak Jati malu?"

"Nggak. Hanya nggak nyaman aja. Rasanya dingin, lengket." Jati mengusap pipi Yasmin. "Is it fine if i ask you to do not to do this again to me?"

"It's fine."

"Yas."

"Hmm?"

"Let me do it to your body."

Yasmin tidak mengerti maksud Jati sampai Jati mulai mengangkat ujung gaun tidurnya. Jati melepaskan dress tidur Yasmin melewati lehernya dan membalik posisi tubuh mereka hingga kini Yasmin yang berada di bawah. Diambilnya sesendok es krim dan diletakkan di sepanjang perut Yasmin.

"Biar adil."

Jantung Yasmin berdebar tidak karuan saat Jati mulai membersihkan es krim yang mulai meleleh di permukaan kulitnya seperti cara yang dilakukannya. Damn. Her husband is a liar.

"A liar, dasar." Yasmin mengomel. Jati mengangkat wajahnya sekian detik, mencium bibirnya dan kembali melanjutkan aktivitas nakalnya.

"Are you okay with these spots?"

"Where?"

Pandangan Jati berhenti pada dadanya.

Entah apakah Yasmin masih bisa bernapas saat Jati benar-benar melakukannya.

"Yes, please." Suara Yasmin tiba-tiba serak.

Jati menyendok es krim dan mulai meletakkan di atas permukaan dadanya.

Rasanya dingin tentu saja.

Tetapi rasa dingin itu tidak sebanding dengan perasaan ketika Jati mulai menyentuhnya. Lidahnya bergerak pelan, lembut dan pasti. Khas Jati sekali.

Oh My God.

Oh-My-God.

Selain itu, rasanya Yasmin ingin mengumpat sejadinya.

Mengapa laki-laki ini selalu menyiksa perasaannya?

"I lost my sanity, right now. Kak. What have you done to me?"

"Seduce you back. What else?"

"Nyebelin."

"Really?"

Jati menunjukkan wajah tanpa rasa bersalah. Dia lalu beranjak dan kembali dengan kotak tisu basah di tangan.

"Let's clean your body," ujarnya masih dengan poker face, menyeka dengan lembut bagian-bagian tubuh Yasmin yang disinggahi es krim sekaligus bagian yang dijelajahinya tadi.

Fokus Yasmin tertuju pada mulut Jati.

That's only an body organ. But has so many functions. Kissing, licking, sucking, biting...

Rrrr.

Yasmin melakukan hal yang sama, balas menyeka tubuh Jati dengan tisu basah. Setelah selesai, Jati kembali memakai pakaian, mengecup kening dan bibirnya. Lalu mengatakan sudah saatnya mereka tidur.

"Kak."

"Hmm?"

"I wanna have a baby."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro