PART 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PART 16


"Do you want it?"

"Yes. I want to make love then have a baby."

Yasmin ingin bercinta dan memiliki anak.

Jati tidak terkejut dengan permintaan Yasmin untuk bercinta. Tetapi dia cukup terkejut ketika Yasmin mengatakan ingin memiliki anak.

Sejujurnya, untuk saat ini, Jati belum berpikir ke arah itu. Memiliki anak belum ada dalam rencana hidupnya, paling tidak untuk tahun ini. Tetapi, jika Yasmin menginginkannya, maka dia akan menyetujui. Keinginan memiliki anak harus diputuskan bersama oleh pasangan suami istri, agar mereka dapat memiliki perencanaan yang baik demi masa depan anak. Karena memiliki anak adalah anugerah sekaligus tanggung jawab orang tua. Jadi harus dipikirkan dengan matang.

"Kalau kamu siap, saya juga setuju, Yas."

"Ayo kalau gitu."

"Tapi, kamu tau masalahnya...," Jati mengingatkan.

"Aku tau kok."

Setiap kali bermesraan, beberapa di antaranya berujung pada intercourse.

Tapi, mereka tidak pernah mencapai tahap klimaks, karena sebelum tahap itu mereka gapai, keadaan Yasmin membuat mereka harus berhenti. Yasmin mengaku tidak bisa melanjutkannya karena rasa sakit yang luar biasa.

"Lebih baik ke dokter dulu, Yas. Saya nggak bisa melihat kamu kesakitan terus."

"Sekali lagi aja. Kalau masih gagal, aku pasti bakal ke dokter."

Jati mengusap wajah Yasmin dengan lembut.

"Pikirkan lagi."

"Udah aku pikirin sejak kemarin-kemarin, Kak."

"Kamu yakin?"

"Yakin."

Suara Yasmin terdengar mantap.

"Di sini aja. Udah tanggung," pinta Yasmin, menuding sofa yang didudukinya. Mereka sebetulnya masih memiliki banyak waktu jika ingin berpindah ke dalam kamar. Tempat tidur jauh lebih nyaman dan leluasa.

Tapi permintaan Yasmin mengindikasikan jika Yasmin memang menginginkan mereka bercinta di sana.

Atau berencana untuk bercinta.

Karena sejujurnya, Jati tidak begitu yakin percobaan kali ini akan berhasil. Yasmin belum mau ke dokter setelah kegagalan intercourse kemarin dengan alasan bahwa mereka masih bisa mengusahakan dulu sebelum akhirnya meminta bantuan dokter.

Jati melepaskan kaus yang sudah dipakainya, kemudian mengambil posisi di atas tubuh Yasmin. Memulai melakukan foreplay seperti biasa. Mencium Yasmin dimulai dari kening, menuruni hidungnya, hingga menemukan bibir Yasmin yang tengah terbuka, siap menerima kedatangannya.

Ciuman mereka selalu dimulai secara kasual perlahan di permukaan bibir. Seiring kedekatan hubungan mereka yang semakin intim, mereka sering mengambil jalan pintas langsung ke bagian French kissing di mana mereka bisa saling merasakan satu sama lain.

Mereka, dan jejak salted caramel ice cream yang masih tertinggal di lidah.

Sambil tetap berkonsentrasi terhadap pergulatan mulut mereka yang seolah tidak mengenal kata slow down, kedua tangan Jati mengusap pelan di dua area berbeda. Tangan kanan di perut Yasmin sedangkan tangan kiri di bagian dalam paha Yasmin. Berulang-ulang sebelum berpindah ke bagian sensitif yang selalu berhasil membuat Yasmin seolah kehilangan kontrol pada dirinya sendiri. Yasmin mengakui hal itu kepada Jati sekaligus mengatakan jika Yasmin sangat menyukai sentuhan di tempat itu.

"Please."

"I love it."

Pinggul Yasmin bergerak liar mengikuti pergerakan tangan Jati. Tidak hanya itu, karena kini bibir Yasmin mulai mengeluarkan suara-suara yang juga tidak terkontrol. Sementara kedua tangannya mencengkeram punggung Jati dengan kuat saat gelombang gairah menghantamnya berulangkali.

Yasmin selalu menyukainya.

Yasmin selalu menikmatinya.

Sentuhannya.

Gerakan jemarinya.

Dan segala hal yang dilakukan Jati dengan sepenuh hatinya.

Yasmin selalu menyukainya.

Dia pun menyukai Yasmin.

Menyayanginya.

Dan mungkin sebentar lagi akan jatuh cinta kepadanya.

Napas Yasmin terengah-engah setelah Jati selesai dengan foreplay menggunakan tangannya. Dia tahu seharusnya dia berhenti menyiksa Yasmin dengan sentuhannya, tetapi ada perasaan senang saat Yasmin merespon sentuhannya.

Saat menurunkan celananya, Jati memerhatikan wajah Yasmin dan menangkap aura ketegangan. Yasmin tidak pernah mundur di saat seperti ini, kendati dia mungkin telah membayangkan bagaimana rasa sakit yang akan diterimanya.

Masih terbayang bagaimana Yasmin mengeluh kesakitan setelah intercourse sebelumnya yang berakhir gagal.

"Sakit."

Jati menghela napas dalam. Dia mencoba lagi untuk kedua kali, dan hasilnya selalu sama. Yasmin selalu meringis kesakitan sebelum gelombang kenikmatan itu dirasakannya.

Jati memandangi wajah Yasmin, lama. Jati harus selalu menenangkan Yasmin setiap kali mereka menghadapi situasi seperti ini. Yasmin tidak menangis kali ini, tetapi di wajahnya tergambar kesedihan.

"Tetap nggak bisa ya?" Suara Yasmin bahkan terdengar pasrah bercampur kecewa.

"Come here."

Jati membantu Yasmin bangun dari posisi berbaring. Mereka dalam posisi duduk, Jati memeluk Yasmin dengan satu tangan lalu merebahkan tubuh Yasmin di dadanya. Yasmin meringkuk lebih dalam. Jati bisa merasakan napas hangat berhembus di permukaan kulitnya. Mereka sama-sama belum berpakaian, tapi Jati tidak memikirkan soal itu. Dia hanya ingin segera menenangkan Yasmin.

Mereka sama-sama terdiam, entah apa isi benak Yasmin saat itu. Mungkin merasa tidak nyaman, Yasmin melepaskan pelukannya untuk mencari dan memakai gaun tidurnya. Jati ikut mencari kaus, dan memakainya. Setelah mereka telah memakai pakaian, Yasmin kembali lagi ke dalam pelukannya dalam keadaan masih terdiam.

Jati hanya ingin menunggu sampai Yasmin membuat keputusan. Tidak lama, suara Yasmin terdengar.

"Aku mau ke dokter."

"Mm, itu keputusan terbaik."

Kali ini, Jati setuju. Tidak ada alasan lagi bagi Yasmin untuk menunda memeriksakan diri ke dokter.

Jati mengusap-usap punggung Yasmin. "Nanti saya temenin."

Setelah mendengar jawabannya, Yasmin semakin merapatkan tubuh dalam pelukan Jati.

"Maaf."

Maaf?

"Kenapa harus minta maaf, Yas?"

"Karena selalu saja berakhir begini," keluh Yasmin. "Aku hanya ingin menjadi istri yang baik buat kamu."

"Kamu sudah menjadi istri yang terbaik buat saya, Yas."

"Tapi tetap saja nggak cukup. Seharusnya aku tau lebih awal." Yasmin mengucapkannya dengan suara tertahan. Saat Jati menatap mata Yasmin lebih dekat, Jati bisa melihat jelas kedua mata Yasmin yang nampak berkaca-kaca.

"Yasmin. Hei, Yas." Yasmin bermaksud menghindar, tetapi Jati berhasil menahan Yasmin saat mencoba memalingkan pandangan karena tidak ingin Jati melihat airmatanya yang mulai mengalir.

"Tapi, harusnya aku nggak maksain diri."

"Semuanya akan baik-baik saja," tegas Jati. "Kita akan tahu penyebabnya setelah periksa ke dokter."

***

Yasmin belum mengatakan tentang kondisinya kepada siapapun, termasuk keluarganya.

Yasmin bahkan memilih mengatur jadwal pertemuan sendiri dengan dokter tanpa memberitahu Jati.

Jati mungkin telah menduga-duga penyakit apa yang menimpanya, tapi Yasmin tidak ingin Jati mengetahuinya lebih awal. Yasmin berpikir, lebih baik memastikan sendiri sebelum memberitahu Jati.

Ya, kalau dia memang ingin Jati mengetahuinya.

Vaginismus level dua. Kelainan yang dideritanya itulah penyebab intercourse berkali-kali yang selalu gagal.

Dokter mengatakan tidak ada yang perlu dicemaskan. Kondisi vaginismus masih bisa disembuhkan dengan terapi secara bertahap. Proses terapi mungkin akan berjalan kurang nyaman bagi pasien, tetapi dokter meyakinkan proses tersebut tidak akan berlangsung lama. Untuk itu, dibutuhkan tekad dan kepercayaan diri dari pasien untuk bisa sembuh.

Yasmin membuang napas panjang. Kini dia baru saja tiba di rumah. Mobil yang dikendarainya diparkirkan di halaman. Nanti saja akan dipikirkan apakah mobil itu akan dibiarkan di halaman sampai malam atau dimasukkan ke garasi.

"Sudah pulang, Non?" tanya Nena saat membukakan pintu.

"Iya, udah." Yasmin menjawab basa-basi Nena. Sepulang dari dokter, Yasmin singgah di drive thru sebuah restoran Fastfood, memesan burger, ayam goreng, dan pelengkap seperti kentang goreng. "Ayo makan bareng, Mbak."

"Non Yasmin makan aja. Saya masih kenyang." Nena menolak.

"Mbak ambil aja ya kalau mau. Aku simpan di meja."

"Iya Non. Terima kasih."

Sepuluh menit kemudian, Yasmin duduk di depan TV sambil menikmati burger. Tayangan film yang entah telah berapa kali diputar di salah satu channel khusus film, ditontonnya tanpa fokus apalagi rasa penasaran.

Seharusnya dia menghibur diri dengan tontonan yang lebih menarik. Film tentang peperangan terlalu suram di matanya.

Tapi, tayangan seperti apapun rasanya tidak akan memberi dampak signifikan. Menghibur diri dengan makan banyak, rasanya jauh lebih baik.

Sebelumnya, Yasmin telah mengatur pertemuan berikut dengan dokter. Sesuatu semacam konseling, dan terapi dilatasi. Awalnya, Yasmin sempat ragu, tetapi dokter meyakinkan jika pengobatan akan berjalan baik, asalkan Yasmin mau melaluinya dengan sabar dan bertekad untuk sembuh.

Selesai menghabiskan sebuah burger, Yasmin beralih ke kotak berisi lima potong ayam goreng. Dia tidak berniat menghabiskan semua makanan yang dibelinya, karena tidak ingin makan banyak sebelum makan malam. Dua potong ayam sepertinya sudah cukup.

Yasmin sudah selesai makan ketika mendengar suara Jati mengobrol singkat dengan Nena. Yasmin menoleh saat Jati memanggil namanya.

"I smell some delicious foods."

Jati duduk di sampingnya dan segera membuka kotak di atas coffee table. Di atas meja masih terhidang makanan yang cukup untuk disantap oleh dua orang.

"Ini untuk makan malam?" tanya Jati sambil mengunyah kentang goreng.

"Kak Jati mau dimasakin?" Yasmin balik bertanya. Suasana hatinya yang tidak begitu baik tidak akan menghalanginya untuk menyiapkan makan malam.

"Kamu kelihatan nggak semangat, Yas." Jati tidak menjawab pertanyaannya. "Kamu istirahat aja kalau lagi sakit."

"I'm fine. Aku sehat-sehat aja. Aku nggak sakit." Emosi Yasmin terasa semakin tidak stabil saat ini. Dia sedang sakit, mengapa harus berbohong pada Jati dan dirinya sendiri?

"What's wrong?" Jati menatapnya sambil mengusap dahi Yasmin. "Kamu marah karena saya nggak ngangkat telepon kamu? Tadi saya ada meeting sama kepala proyek. Saya balik nelepon, tapi kamu nggak angkat. Saya ngirim chat juga, tapi belum kamu balas."

Yasmin bahkan sudah lupa soal itu. Tadinya, dia memang menelepon Jati, tapi sekadar telepon iseng saat menunggu dokter. Setelah selesai konsultasi, Yasmin malah melupakan hal lain. Sepanjang perjalanan pulang, benaknya penuh dengan pikiran-pikiran random. Tentang kemungkinan-kemungkinan buruk, tentang Jati, tentang hubungan mereka.

Bagaimana jika dia tidak berhasil sembuh? Bagaimana jika Jati menjauh darinya ketika Yasmin tidak kunjung mampu menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri?

Kedua telinganya selalu terngiang-ngiang penjelasan dokter. Dokter memberikan optimisme, tetapi batinnya menolak bekerjasama. Dia merasa gagal bahkan sebelum memulai terapi.

Yasmin selalu merasa dirinya sempurna. Dia selalu mengesankan di mata orang lain. Tetapi, penyakit itu berhasil memangkas kepercayaan dirinya sedikit demi sedikit.

Oke, dia mungkin mulai kedengaran berlebihan.

Tapi sesuatu yang Yasmin inginkan hanyalah menjadi istri yang sempurna untuk Jati. Yasmin tidak ingin hal yang lainnya lagi.

"Lagi nggak mood aja." Yasmin menegakkan tubuhnya yang sejak tadi bersandar setengah berbaring di atas sofa.

Jati menatapnya.

Yasmin membalas tatapan Jati, sebelum kembali fokus memandangi layar TV. Entah kapan Yasmin akan bercerita kepada Jati tentang kondisinya.

Apakah Jati akan membantunya melewati proses terapi atau malah menghindar dengan alasan sibuk bekerja? Proses konstruksi proyek sudah mulai dikerjakan, dan Yasmin tidak ingin menambah beban pikiran Jati.

Apalagi proyek itu adalah proyek pertama Jati sebagai owner. Yasmin harus menunjukkan dukungan sebaik mungkin. Bukannya mengeluh tentang penyakit yang diidapnya.

"Kak Jati pasti capek banget pulang dari proyek."

"Yasmin. Kamu bisa ngomong kalau ada yang mau diomongin. Saya selalu punya waktu untuk mendengarkan."

"Lagi nggak mood ngomong aja, Kak."

Jati menghela napas dalam.

"Baik, kalau kamu memang lagi pengen sendiri. Saya mandi dulu ya?"

Anggukan Yasmin menyertai Jati yang berjalan menuju tangga sambil menyandang ransel.

Tiba-tiba Yasmin merasa benci kepada dirinya sendiri.

***

Jati cukup yakin jika Yasmin tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Nyatanya, bukan hal yang mudah mendapatkan penjelasan dari Yasmin, karena setiapkali bertanya apakah Jati telah melakukan kesalahan, atau apa yang sedang terjadi, Yasmin tidak pernah memberikan jawaban selain alasan mood yang sedang buruk. Jati bukan tipe orang yang senang melakukan interogasi kepada orang lain, terlebih lagi kepada pasangan. Sikapnya itu mungkin akan terlihat sebagai sikap cuek di mata orang lain. Jati beralasan tidak ingin semakin mengganggu kenyamanan orang-orang yang berinteraksi dengannya.

Dia akan menunggu sampai Yasmin mau mengatakannya.

Dan hal itu berarti, dia akan membiarkan benaknya semakin dipenuhi tanya.

Padahal Yasmin seringkali terbuka kepadanya.

"Jadi, kapan saya bisa menemani kamu ke dokter?" tanya Jati setelah mereka berada di dalam kamar. Jati masih harus mengerjakan sesuatu di laptop, tapi dia memilih mengobrol sejenak dengan Yasmin sebelum berpindah ke ruang kerja. Pekerjaannya masih bisa menunggu.

"Nanti-nanti saja, Kak." Yasmin tengah mengatur posisi bantal saat menjawab pertanyaannya.

"Kamu nggak akan pergi ke dokter sendirian kan?"

Yasmin kelihatannya ragu untuk menjawab. Sorot matanya tidak bisa berbohong.

"Atau sudah ke dokter?"

Jati melanggar keinginannya untuk menunggu inisiatif Yasmin mengakui jika Yasmin sudah ke dokter atau belum. Tanpa dirinya.

Yasmin hanya mengangguk pelan.

"Aku sudah ke dokter siang tadi."

Bagaimana mungkin Yasmin pergi ke dokter seorang diri? Mereka sudah pernah bersepakat untuk pergi ke dokter bersama-sama.

"Yas, saya kan sudah bilang sama kamu kalau saya akan menemani kamu ke dokter."

"Kak Jati ke lokasi proyek kan pagi tadi?"

"Ke lokasi proyek bisa kapan saja, Yas. Yang terpenting itu kesehatan kamu."

"I can handle this alone, Kak."

"What?"

"Aku nggak mau nyusahin. Aku tau Kak Jati sedang sibuk, jadi aku pikir, mending Kak Jati fokus aja sama pekerjaan," tambah Yasmin.

"Kamu lagi sakit, Yas."

"Aku nggak lagi sakit. Kenapa Kak Jati mikir aku lagi sakit?" Penekanan demi penekanan pada setiap kata malah semakin menegaskan ketidakstabilan emosi Yasmin saat itu.

"I am so sorry. Bukan itu maksud saya."

Jati menghampiri Yasmin, menangkup dagunya sehingga Yasmin bisa melihat keseriusan di kedua matanya.

"Saya serius mau menemani kamu, Yas. Kamu nggak perlu berpikir macam-macam. Saya akan selalu ada buat kamu."

"Aku nggak mau nyusahin, Kak." Yasmin mengulangi kalimat yang jujur saja amat sangat tidak disukai Jati.

"Kamu nggak nyusahin, dan nggak pernah nyusahin, Yas. Selama ini kamu sudah berkorban banyak buat saya. Sekarang giliran saya membalas semua kebaikan kamu. Mungkin saya nggak akan pernah bisa membalas semuanya, tapi biarkan saya menjadi tempat kamu berbagi."

"Beneran?"

"Iya."

Yasmin tidak berkata apa-apa selain memeluknya. Jati mendengarkan Yasmin terisak dalam pelukannya.

"Jadi kapan mau cerita soal ini?" tanya Jati setelah yakin Yasmin tidak menangis lagi.

Mereka duduk berhadapan di atas tempat tidur. Yasmin mengambil bantal dan meletakkan di pangkuan.

"Aku udah bisa ikutan terapi lusa nanti. Kak Jati nggak ikut juga nggak apa-apa."

Yasmin menjelaskan secara singkat tentang hasil diagnosa dokter. Sejauh ini, Jati cukup yakin Yasmin akan sembuh dengan cepat. Sekarang tinggal bagaimana mereka menghadapi hal itu bersama-sama.

"Pendampingan suami sangat diperlukan di saat seperti ini, Yas." Jati tersenyum.

"Mmm, iya. Aku ceritain ke dokter sih, soal riwayat hubungan seks. Ya aku jujur aja udah sejauh mana sama kamu, Kak. Malu banget, asli." Yasmin nampak tersipu malu.

"Sama dokter kamu malu, kenapa sama saya nggak?"

"Beda dong. Dokter kan orang lain. Kalau sama suami sendiri, ngapain harus malu?" Yasmin beralasan. Istrinya itu memang sangat terbuka di setiap kemesraan mereka. Jati tidak pernah meragukan soal itu. Hal itu juga yang menjadi penyebab dirinya bisa lebih rileks mengakomodasi setiap keinginan Yasmin.

"So smart."

***

Masih ada yang nunggu apa nggak nih? Sori banget baru bisa update lagi. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro