PART 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PART 20

Perbedaan suhu udara antara Jakarta dan Bogor cukup terasa saat memasuki daerah perbatasan. Selain itu, perbedaan yang cukup kontras adalah pemandangan kota. Jakarta disesaki gedung-gedung tinggi serta pembangunan di mana-mana sementara Bogor khususnya kawasan Puncak, terasa lebih hijau dan alami. Tidak salah jika warga Jakarta sering menjadikan daerah ini sebagai tujuan wisata. Pemandangan Puncak yang sarat keindahan, tenang serta damai bisa menjadi pelarian sejenak dari kehidupan Jakarta yang dikenal selalu ramai, penuh hiruk-pikuk di mana-mana.

Di sampingnya, Yasmin baru saja terbangun. Mereka mengobrol di sepanjang perjalanan dan Yasmin tidak sadar tertidur saat mereka masih mengobrol. Saat terbangun, Yasmin meminta maaf karena tertidur saat Jati masih asyik berbicara. Buat Jati, hal itu sama sekali bukan masalah dan hal yang sangat biasa. Tapi rupanya manner Yasmin yang sedemikian baik membuatnya harus meminta maaf untuk hal kecil dan cenderung sepele itu.

"Maaf, aku sampai ketiduran."

"Tidur aja lagi kalau mau. Sekalian saya gendong sampai ke kamar vila kalau sudah sampai."

Jawaban Jati dibalas Yasmin dengan cubitan di lengan Jati yang berada di atas kemudi. Jati pura-pura berjengit.

"Lagi nyetir ini, Yas." Jati mengingatkan ketika Yasmin mencubit pinggangnya ketika melihatnya tertawa.

"Tidurnya cuma bentar doang kan?" kata Yasmin cemberut. Pandangannya langsung teralihkan kepada deretan pohon cemara diselingi tanaman bunga Lantana aneka warna di dalam pot-pot besar berbentuk persegi panjang. Taman yang tengah diamati Yasmin itu termasuk bagian dari vila.

"Udah hampir sampai ya?" tanya Yasmin.

"Kurang semenit lagi."

"Really? Aku udah nggak sabar lihat vila-nya."

"Soon."

"Ini pagar vila kan?" Yasmin baru menyadari hal itu setelah melihat atap vila.

"Iya."

"Ooo." Kaca jendela lalu diturunkan Yasmin sehingga pandangannya tidak lagi terhalang kaca berwarna gelap. Tangannya diletakkan di pintu mobil. "Nah, udah hampir sampai dong."

Yasmin segera membenahi barang-barang seperti ponsel, minyak angin, kotak permen dan memasukkan ke dalam tas. Duduknya tegak, dan walaupun Jati tidak bisa melihat raut wajahnya, dia bisa merasakan antusiasme yang dirasakan Yasmin.

Mobil berbelok memasuki halaman luas sebuah bangunan utama yang juga berukuran luas. bangunan utama itu adalah vila berdesain modern tropical semi klasik yang disewakan. Jika dilihat dari dua buah mobil yang terparkir di tempat parkir khusus, sepertinya ada penyewa yang sedang menempati vila utama.

Yasmin tidak menunggu Jati membukakan pintu. Begitu turun dari mobil, kedua matanya langsung mengamati fasad depan vila tempat mereka akan menginap. Arsitektur vila berdesain modern tropical, mengaplikasikan material kayu dan beton. Pintu depan berbahan dasar kayu bercat warna cokelat tua dengan brushed steel door guard yang tampak modern. Tepat di sisi kiri pintu terdapat kaca sempit berbentuk persegi panjang setinggi pintu tanpa tirai. Dua pot berisi palem mini diletakkan di teras berukuran kecil.

Tidak banyak furnitur yang diletakkan di dalam ruangan yang baru mereka masuki. Hanya beberapa benda-benda esensial yang biasanya ada di dalam living room seperti sofa, meja dan pajangan dinding. Sebuah sofa upholstery fabric berwarna navy dan dua single sofa warna abu-abu diletakkan di tengah ruangan, mengelilingi sebuah wood coffee table dengan accessible storage di bagian bawah. Grey table lamp di atas side table bulat di dekat sofa. Pelengkap lainnya seperti beige rugs yang menutupi lantai kayu, dua metal branch wall decor, sebuah lukisan pepohonan musim gugur dan jam dinding. Penerangan berupa LED cheiling juga tambahan chandelier mini yang berfungsi sebagai overhead lighting. Tapi tentu saja mereka tidak membutuhkan lampu di siang hari karena pencahayaan di dalam vila cukup terang.

"Dari sini langsung terhubung ke halaman belakang?" Yasmin melangkah menuju deretan kaca lebar yang mengapit pintu, kemudian menggeser sliding door transparan. Desain pintu dan jendela dibuat sama, terbuat dari material kaca.

Setelah dari halaman belakang, Yasmin menuju ke pantri.

"Wow. Pantrinya lucu."

Entah apa yang dimaksud Yasmin dengan lucu. Kata itu cukup sering digunakan Yasmin setiap melihat sesuatu yang disukai.

Yasmin masih asyik berkeliling melihat-lihat vila dengan penuh rasa penasaran. Sementara Jati memilih duduk santai menunggu sampai Yasmin selesai mengelilingi setiap ruangan.

"Vilanya luas juga ya?" Kali ini langkah kaki Yasmin terayun menuju kamar tidur utama. Tidak lama dia keluar. "Yang ini kamar kita kan?"

"Terserah kamu mau tidur di kamar yang mana."

"Di mana kamu tidur, pasti aku juga ikut tidur di situ."

Jati bangkit untuk mengambil koper besar yang mereka bawa lalu meletakkan di kamar utama. Mereka sepakat hanya membawa satu koper besar berisi pakaian dan perlengkapan mandi.

Untuk bangunan berukuran 380 meter persegi yang berdiri di atas tanah seluas 900 meter persegi, vila tersebut bisa dikatakan luas. Selain luas, fasilitas di vila juga sangat lengkap. Papa memang ingin memfungsikan vila tidak hanya sekadar tempat singgah seminggu dua minggu. Menetap dalam jangka panjang bukan masalah karena semua aktivitas yang biasa dilakukan di tempat tinggal di Jakarta, juga bisa dilakukan di vila itu.

"Nggak menyeramkan?"

Yasmin tertawa. "Nggak dong. Mungkin karena vila ini nggak pernah dibiarkan kosong, jadi nggak ada kesan seramnya. Nanti aku mau usul sama papa, mendingan vila papa disewakan, trus bangun vila yang baru lagi. Yang kecil aja, biar ngurusnya gampang."

"Kenapa harus bangun vila baru lagi kalau bisa menginap di vila ini?"

"Aku sih nggak masalah, tapi gimana papa sama mama kalo mau liburan ke sini? Tidurnya di mana?"

"Ya tidur di sini juga. Atau di vila sebelah."

Usulan Jati itu bukan sekadar melempar kata. Saat ini, prioritas hidupnya melibatkan tidak hanya keluarga kecil mereka, tetapi juga keluarganya dan keluarga Yasmin. Hubungan antar keluarga mereka bisa semakin akrab jika sesekali liburan bersama di Puncak kemudian menginap di vila ini.

"Hmm. Oke kalo gitu. Biar nggak ngebangun bangunan baru trus ditinggalkan lagi."

"Saya nggak mau ngatur-ngatur, Yas. Saya hanya memberikan pandangan."

"Iya, aku ngerti. Malah bagus kalo gitu. Duit buat bangun vila baru bisa dialihkan ke investasi lain."

Agak lama, Yasmin mengitari ruang makan dan pantri.

"Bangunannya habis direnovasi?"

"Iya. Dua tahun lalu. Nggak semua bagian. Hanya di pantri dan ruang makan yang tadinya bersekat, trus disatukan."

"Oooo. Kalo vila, mendingan jangan banyak sekat. Terkesan lapang dan nggak penuh."

Setelah melihat-lihat di living room, Yasmin mengajaknya menuju ke kolam renang. Di dekat kolam renang terdapat sebuah gazebo yang sangat nyaman untuk duduk-duduk bahkan tidur-tiduran, karena di situ tersedia alas empuk seperti kasur tipis dan bantal-bantal persegi. Empat buah kursi santai diletakkan di dekat kolam. Terbayang asyiknya berjemur di sana.

"View dekat kolam memang selalu bikin mata adem." Yasmin mengambil sebuah bantal, lalu meletakkan di pangkuan untuk menyangga kedua sikunya. Kedua kakinya diturunkan di pinggir gazebo. "Air kolamnya dingin banget, pasti."

"Sayangnya itu, belum ada fasilitas air hangat. Tapi kalau lama-lama terkena terik matahari, juga bakal hangat airnya."

"Aku mau renang nanti siang."

"Bukannya mau jalan-jalan dulu?"

"Kalau vilanya sebagus ini, nggak ke mana-mana juga nggak masalah."

"Saya lupa kalau kegemaran kamu itu berenang dan berjemur, bukan jalan-jalan."

"Jalan-jalan sih suka. Cuma aku suka nggak tahan aja ngeliat kolam renang. Bawaannya pengen nyebur aja. Eh apa sekarang aja ya aku renangnya?"

"Coba airnya dites dulu."

"Temenin."

Jati menarik napas dalam. Seperti biasanya, Tuan Puteri selalu minta ditemani.

Air kolam tidak begitu dingin, tetapi belum bisa dikatakan hangat. Saat itu masih sekitar pukul sebelas, matahari belum begitu terik.

"Gimana kalau sehabis makan siang baru kamu renang?" usul Jati. Perutnya mulai kelaparan karena sewaktu berangkat tadi, sarapannya tidak terlalu banyak.

"Mmh, oke. Mau makan siang di mana?"

"Terserah kamu. Mau makan di sini atau kita cari makan siang di luar."

"Maksud Kak Jati, makan di sini? Aku yang masak apa ada yang masakin?"

"Saya nggak nyuruh kamu masak, Yas." Jati tidak tahan untuk mengacak lembut rambut Yasmin. "Di vila sebelah ada chef yang biasa masak untuk tamu. Bahkan ada kafe kecil juga di sebelah."

"Aku nggak merhatiin tadi." Yasmin tertawa kecil. "Disuruh masak sih, aku nggak keberatan. Cuma kalau untuk sekarang, aku lagi mager."

"Di gerbang masuk tadi ada tulisannya." Jati tersenyum. "Kamu jangan mikir soal masak dulu. Fokus untuk liburan saja."

"Iya bener." Yasmin langsung merangkul pinggangnya. "Ya udah. Mending langsung ke vila sebelah saja, biar aku bisa lihat gimana chef-nya masak. Sekalian minta resepnya."

***

Yasmin menyaksikan aksi chef memasak tanpa banyak bicara. Sejak chef mulai menyiapkan bahan masakan, perhatiannya selalu fokus. Ketertarikan Yasmin pada dunia kuliner sangat besar. Dia senang memasak, senang mengenal kuliner-kuliner baru, dan selalu ingin belajar dari juru masak yang ditemuinya. Tipe perempuan domestik yang menjadi favorit banyak ibu-ibu mertua.

Tapi bukan hal itu yang lantas membuat Yasmin menjadi menantu favorit mama. Sikap santun dan sederhana ditambah pembawaan supel Yasmin-lah yang disukai oleh mamanya. Kata mama, karakter Yasmin itu sangat cocok mendampingi Jati yang lebih tertutup dan cenderung pemalu. Mudah menyesuaikan diri tapi tidak mencoba mendominasi.

Akhir-akhir ini Jati menghabiskan banyak waktu memerhatikan Yasmin. Entah Yasmin menyadarinya atau tidak. Setiap mengobrol, Jati akan memfokuskan perhatian pada setiap topik yang mereka bicarakan, sambil mengamati setiap ekspresi yang dibuat Yasmin. Raut wajah saat senang, kesal, ragu, gugup atau sedang bergairah, Jati mengingat semuanya secara detail. Tidak jarang, dia mendapati dirinya tersenyum-senyum konyol setiap berbalasan chat-chat Whatsapp dengan Yasmin atau mendadak merasa gerah hanya dengan membayangkan mencium bibir mungilnya dan menyentuh tubuh polosnya sampai terlupa segalanya. Hal yang cukup menjelaskan mengapa dia selalu tidak sabar ingin segera pulang ke rumah, tersenyum lega melihat Yasmin dalam keadaan sehat, menyambutnya penuh cinta.

Indahnya mengagumi perempuan yang sudah berstatus istri sendiri. Tidak perlu sungkan apalagi takut ada yang akan marah.

Secara sah, mereka saling memiliki satu sama lain.

"Serius banget, Yas." Jati meletakkan telapak tangan di atas punggung tangan Yasmin tanpa berniat mengganggu kesibukannya.

"So satisfying aja, Kak. Bisa ya udangnya jadi berbaris rapi banget?" Yasmin membalikkan telapak tangan hingga jemari mereka kini saling bertaut.

"Mungkin dulu ikutan ekskul PBB," kata Jati sekenanya.

Yasmin langsung tertawa.

Sekolah mereka dulu menyediakan banyak pilihan ekstrakurikuler, seperti kesenian, sosial, ilmiah, hingga olahraga. Rata-rata memiliki prestasi membanggakan begitupun PBB yang bahkan tergolong ekskul bergengsi karena prestasi berskala nasional. Sejak pertamakali mengirimkan wakil di tahun 1995, sudah lima tahun siswa perwakilan sekolah mereka lolos seleksi Paskibraka. Terakhir kali dua tahun lalu yang diwakili seorang siswi kelas XI IPA. Berita yang mengharumkan nama sekolah itu dibagikan di grup alumni angkatan, makanya Jati bisa tahu.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya hidangan makan siang sudah siap dinikmati. Selain aroma yang begitu wangi, tampilan makanan yang tertata apik semakin menambah rasa lapar. Seorang pelayan membantu chef menghidangkan makanan.

"Hmm. Enak banget."

Kini mereka tengah bersantap siang, menikmati seluruh hidangan yang diolah chef khusus untuk mereka. Masakan tersebut berupa Teppanyaki, masakan yang diolah di atas permukaan besi lebar yang dilengkapi kompor di bagian bawah. Piring-piring berisi hidangan teman makan nasi putih seperti udang panggang, daging sapi dan salmon mentai memenuhi meja makan siang mereka.

"Food by request gini memang nggak pernah mengecewakan. Chef-nya udah lama kerja di sini, Kak?"

"Sudah tiga tahun."

"Kalau tau ada tempat sebagus ini, aku pasti ke sini tiap bulan. Makanannya enak, view-nya bagus. Luas lagi."

"Ada lapangan golf juga di belakang."

"Serius, Kak?" Yasmin terkejut. "Kenapa sih, Kak Jati nggak bilang vila-nya semewah ini. Aku nggak pernah berekspektasi karena dari cara Kak Jati mendeskripsikan tempat ini, kok kelihatannya biasa-biasa aja. Padahal wow banget."

"Saya memang nggak cocok di bagian marketing."

"Nggak gitu. Maksudnya, Kak Jati pengen bikin surprise atau bagaimana?"

"Sebenarnya nggak ada niat ke situ. Tapi kalau kamu mikirnya gitu, ya, saya ngikut aja."

Yasmin mencibir. "Nyebelin."

"Kenapa sih kamu suka ngomong kalau saya nyebelin?" Jati menyuapkan salad, sambil tersenyum kepada Yasmin.

"Ya karena emang nyebelin. Nggak bisa ketebak. Aku orangnya suka sama kejutan, tapi entah kalau Kak Jati yang kayak gitu bawaannya kesal."

"Saya nggak mengerti."

"Aku kesal karena nggak bisa membaca pikiran kamu, Kak."

"Dan kenapa kamu harus membaca pikiran saya?"

"Nggak usah dijelasin deh. Rumit."

"Apa karena saya sering bikin kamu bertanya-tanya?"

"Mungkin."

"Apa kamu masih ragu sama saya?"

"Jujur sih iya. Karena aku selalu ngerasa, Kak Jati nggak bisa sepenuhnya terbuka sama aku."

"Saya sekurang terbuka apa lagi sama kamu? Kamu sudah lihat semua bagian tubuh saya."

"My God. Bukan soal itu ah." Yasmin tergelak. "Kalau itu sih, aku sudah hapal. Same goes to you."

Bahkan letak tanda lahir dan bekas luka di tubuh Jati saja, Yasmin masih hapal tempatnya.

"Saya mengerti maksud kamu."

Yasmin mengedikkan bahu. "Yaa, aku nggak pengen maksa Kak Jati buat ngomong sekarang. Terserah Kak Jati aja, maunya gimana. Tapi kalau memang nggak mau diomongin, mm...ah terserah aja deh. Aku bingung mau ngomong apa. Makan aja deh, Kak. Takutnya ngomong macam-macam, malah nafsu makan jadi hilang."

"Nanti akan saya ceritakan."

"Aku nggak akan tanya kapan Kak Jati mau cerita."

"Secepatnya."

Jati tidak mau lagi menimbulkan asumsi macam-macam. Sudah waktunya Yasmin tahu. Mengulur-ulur waktu tidak ada gunanya.

***

_Yasmin_

Sejak siang kemarin, Yasmin masih menunggu kapan Jati akan bercerita. Sore sampai malam waktu mereka hanya dihabiskan di vila. Sore hari Yasmin berenang di kolam sementara Jati hanya duduk santai menemani. Malam hari, mereka keluar mencari makan, mengobrol sambil menyantap makanan khas Sunda dan minuman wedang hangat. Sampai di vila sekitar pukul sepuluh malam, Jati memutuskan tidur lebih dulu karena capek. Yasmin baru menyusul tidur sejam kemudian.

Dan hari itu sampai selesai sarapan, Jati tidak kunjung bicara soal masa lalunya. Rasa penasaran Yasmin semakin menjadi-jadi tapi Jati malah memilih mengajaknya jalan-jalan tanpa menjelaskan tujuan mereka.

Kalau Jati tidak juga ngomong sampai besok...

Yasmin akan menginterogasi, Jati suka atau tidak.

Saat ini mereka berada di Taman Bunga Nusantara, sebuah taman bunga yang terletak dekat dengan Gunung Gede Pangrango dan kebun teh Bogor. Agrowisata seluas 35 hektar tersebut sangat luas. Yasmin tidak yakin akan sanggup menjelajahi semuanya. Dia mungkin hanya akan memilih-milih section mana yang akan dikunjungi. Taman mawar adalah section yang paling ingin dia masuki. Bunga mawar beraneka warna dari berbagai varietas begitu indah. Aroma wangi mawar semakin membuat betah.

"Jadi pengen punya taman mawar di rumah."

Yasmin memotret jenis-jenis mawar menggunakan kamera ponsel. Jati menggunakan momen itu untuk ikut memotretnya. Dilihatnya ponsel Jati yang kebanyakan menyimpan fotonya di galeri.

Kalau begini, mau kesal kan nggak jadi.

"Mau ditanam sendiri?" Pertanyaan Jati itu terdengar meledek.

"Nggaklah, Kak. Aku bisa minta tolong tukang kebun, biar aku tinggal menikmati saja." Yasmin menjawil pipi Jati. "Jangan suka ngeledek ya? Tau-tau nanti aku pinter berkebun."

"Iya, percaya."

Rangkulan Jati di pinggangnya memudahkan Yasmin untuk merapatkan tubuh dan mengecup bibir Jati. "Sayang kamu, Kak."

Jati membalas ciumannya, begitu lama, lekat dan dalam tanpa peduli keadaan sekeliling.

Astaga.

Sempat-sempatnya suaminya ini mengajaknya french kissing di tempat umum.

Kan jadi nggak bisa nolak?

"Bukannya PDA bukan kebiasaan kamu, Kak?" Yasmin menjauhkan wajah mereka. Dia memang cukup agresif meladeni Jati, tapi kalau di tempat umum, lain cerita.

Lucu kan kalau ada pengunjung yang iseng memotret mereka dan menyebarkan kemana-mana.

Tapi mereka kan bukan artis? Seharusnya sih tidak ada masalah. Bukan hal aib juga kan kalau sama pasangan sendiri? Suami sendiri pula.

"Udaranya dingin." Jati beralasan.

"Kalau dingin ya dipeluk, bukan dicium." Yasmin membalas, tapi wajahnya tidak bisa menahan senyum.

"Kalau meluk ribet. Lebih gampang nyium," jawab Jati enteng. "Toh kamu pasti lebih suka yang kedua kan?"

Ih, emang Kak Jati. Kalau ngomong suka bener deh.

"Aku suka kok dua-duanya." Yasmin tertawa kecil. "Lebih dari inipun aku suka."

Jati menunjukkan seringaian, kemudian beralih melihat-lihat ke sekeliling, seolah tidak terjadi apa-apa. Mereka sama-sama sudah paham arah pembicaraan mereka.

Kalau Jati sudah mengubah kebiasaannya yang dulu tidak suka PDA, seharusnya pertanda baik kan untuk hubungan mereka? Jati kini jauh lebih berani dengan setiap tindakannya, jauh melampaui ekspektasi Yasmin selama ini. Satu hal yang semakin menambahkan perasaan cintanya kepada Jati. Perasaan yang sudah tidak bisa terukur saking dalamnya.

Jati dan dirinya kembali berjalan, kali ini berpindah ke taman Jepang. Yasmin tidak pernah berhenti mengagumi tempat ini. Berada di satu taman tapi dengan suasana berbeda-beda di tiap section adalah konsep yang sangat menarik. Pantas saja taman bunga ini diminati wisatawan. Kelebihannya adalah dari segi penataan dan hamparan aneka tanaman yang memanjakan mata. Sangat cocok untuk wisata edukasi. Bagi wisatawan yang gemar berfoto, tempat ini pun bisa menjadi pilihan tanpa khawatir akan kehabisan spot foto.

"Japan is one of my favorite countries to visit and live."

"Really? Aku juga. Lagian siapa sih yang nggak suka negara Jepang?" Yasmin mengikuti Jati menaiki undakan rendah menuju deretan bonsai. "Eh? Maksudnya tinggal di sana?"

"Kamu mau ikut saya pindah ke Jepang?"

"Kok nanya soal itu, Kak? Aku nggak mau kemana-mana. Pengen di Jakarta aja," jawab Yasmin.

"Lupain aja kalo gitu." Jati tersenyum. "Dulu, saya memang punya keinginan itu. Tapi nggak mungkin terwujud. Kalo saya pindah ke luar negeri, nggak ada yang ngurus bisnis konstruksi keluarga."

"Janu rencananya nanti mau kerja apa, Kak?" Yasmin teringat Janu, adik Jati. Mereka hanya dua bersaudara. Kalau Jati sudah diberi tanggung jawab mengurus bisnis keluarga, Janu mungkin bisa lebih fleksibel perihal pekerjaan, termasuk soal pilihan hidup lainnya, misalnya soal mau tinggal di mana.

"Sama, bantuin saya juga mengelola bisnis. Kelihatannya jiwa bisnisnya Janu malah lebih besar daripada saya. Dia sudah janji bakal cepat pulang untuk segera bekerja di sini."

"Hmm. Sepertinya pinteran Janu juga deh daripada kamu, Kak."

"Dia lebih santai belajar, tapi otaknya lebih genius dari saya." balasan Jati malah tidak terdengar tersinggung, padahal tadinya Yasmin hanya ingin bercanda.

"Harusnya Kak Jati bilang yang sebaliknya. Laki-laki biasanya suka nyombongin diri di depan pasangan."

"Oh, ya?" Jati mengerutkan kening. "Pengalaman pribadi?"

Yasmin tergelak. "Kok tau?"

"Nebak-nebak aja. Kan kamu bilang biasanya. Kemungkinan kamu ngerasain hal itu dengan pasangan kamu sebelum saya."

"Semua mantan saya baik-baik kok. Cuma ya, kadang mungkin nggak sadar atau nggak niat buat nyombong. Ah udah deh. Aku rasa memang nggak baik ngomongin keburukan orang. Sekalipun udah mantan kan tetap aja harus yang baik-baiknya aja yang diingat. Except kalo orangnya memang bad guy."

Jati menangkup dagu Yasmin. "Pemikiran seperti ini yang bikin saya kagum sama kamu, Yas. Kebaikan hati kamu, bahkan sama orang lain yang udah jadi mantan kamu atau mungkin pernah menyakiti kamu, nggak pernah sekalipun saya dengar kamu omongin di depan saya."

"Please, aku jangan dipuji. Nanti besar kepala." Yasmin tersenyum. "Papa sama mama membesarkan aku dengan kebaikan dan kasih sayang yang berlimpah. Jadi aku pikir, selama hidup aku harus membalas kebaikan-kebaikan yang udah aku terima untuk menyenangkan perasaan orang lain. Nggak ngasih materi apapun, tapi kalau omongan kita baik, kita bisa membuat orang lain at least nggak sedih. Bad words yang kita omongin ke orang-orang akan membuat kebaikan kita berkurang bahkan lenyap. Yang aku pahami juga, setiap kata-kata dan tindakan buruk kepada orang lain, nggak akan pernah meninggalkan memori baik buat siapa-siapa. Nggak ada orang yang mau dikenang sebagai sosok bertabiat buruk semasa hidupnya kan, Kak?"

"True. Couldn't agree more." Jati terdiam lantas tersenyum. "Saya bersyukur jadi suami kamu, Yas. Thanks for all of your love and kindness towards me and the other people."

***

Ini part terpanjang. Semoga part 21 lebih panjang lagi :D :D jadi minta waktu postingnya juga lebih lama. Sabtu ini bisa laah :DDD

Sekilas tentang part 21, itu settingnya masih di Puncak. Trus Jati akhirnya cerita tentang masa lalunya. Trus ya some romantic moments are gonna happen again :D pada nunggu-nunggu ya kira-kira gimana lagi "eksplorasi" mereka satu sama lain selanjutnya? :D jangan dipikirin, ntar nggak bisa tidur :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro