PART 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PART 21

Mereka meninggalkan taman bunga nusantara sebelum matahari berada tepat di atas kepala. Tujuan berikutnya, mencari makan siang. Di sekitar taman bunga terdapat beberapa restoran, tetapi mereka memilih makan di Cimory Mountain View. Selain karena jaraknya lebih dekat dari vila, pemandangan di sana juga sangat cantik. Hal yang paling utama juga karena makanannya cukup enak. Pilihan menu sangat banyak, mulai dari aneka menu makanan tradisional hingga Eropa. Yasmin sampai bingung mau memilih yang mana.

"Pesan twin sausage aja, gimana?" tanya Yasmin saat melihat daftar menu. Karena baru pertamakali ke tempat itu, Yasmin belum punya bayangan seperti apa rasa makanannya. Menurut Jati yang baru sekali ke sana bersama keluarganya, makanan yang pernah mereka pesan di restoran itu, rata-rata cukup memuaskan.

"Kamu milih aja dulu, saya ngikut saja."

"Nggak bisa gitu. Kamu dong Kak yang milih dulu. Tapi, aku mau pesan menu itu yang pasti."

Jati lalu bertanya kepada pelayan. "Menu rekomen yang mana aja, Mbak?"

Awalnya pelayan menyebutkan rata-rata makanan dan minuman di sana recommended. Termasuk twin sausage yang tadi disebutkan Yasmin. Pilihan mengerucut kepada beberapa menu yang tergolong best seller.

"Kalau begitu, kita pesan iga balado hotplate, sama soto Bandung. Sekalian dengan twin sausage. Minumnya, mineral water sama ice lemon tea."

Yasmin menyetujui tanpa menambahkan.

Jati mengulangi menyebutkan pesanan mereka kepada pelayan. Seusai mencatat pesanan, pelayan memberitahu bahwa pesanan mereka akan segera disiapkan.

Sambil menunggu, mereka mulai mengobrol sambil mengamati pemandangan. Tepat di depan mereka terbentang deretan pegunungan yang bergelombang memunculkan gradasi warna abu-abu, view yang menjadi daya tarik utama restoran. Matahari bersinar cukup terik, sehingga untuk melihat lebih jelas, mereka harus memicingkan mata.

"Bagian riverside sebenarnya lebih cocok untuk makan di siang hari," jelas Jati.

Yasmin sedikit menyesali pilihannya. Jati sebenarnya menyarankan mengambil jalur ke Cimory riverside, karena matahari terik akan cukup mengganggu. Tapi Yasmin beralasan lebih ingin menikmati pemandangan pegunungan.

"Tapi di sini juga bagus kok. Bagusan pake kacamata kali ya?" Yasmin mengambil kacamata di dalam tas dan memakainya. "Ahh, much better."

"Yang penting masih bisa dinikmati." Jati tidak ikut memakai kacamata. Dia lebih banyak mengarahkan pandangan ke arah sekitar restoran daripada ke depan.

"Kita belum pernah ke sini buat dinner. Aku sih nggak bakal minta kamu anterin malam nanti, karena pasti kamu capek. Apalagi besok udah mesti balik ke Jakarta. Tapi kapan-kapan kalau ke sini, kita datengnya pas dinner ya?" Yasmin mengajukan penawaran.

"Boleh. Nanti saya lihat apa bisa ke sini lagi bulan depan."

"Please. Sehari saja juga nggak apa-apa. Aku belum puas."

"Saya usahain, Yas. Tapi nggak janji. Bukannya kamu bisa pergi ke sini sama teman-teman kamu?"

Yasmin tersenyum tipis. "Aku kan maunya sama kamu, Kak. Gimana sih?"

"Kamu nggak bosan tiap hari bareng sama saya?"

Yasmin berpikir sejenak, secepat itu pula dia menggeleng.

"Sekarang aku nanya pertanyaan yang sama. Apa Kak Jati nggak bosan tiap hari ketemu sama aku yang bisa dibilang super clingy dan manja?"

"Nggak. Kenapa saya harus bosan?"

"Ya, siapa tau aja." Yasmin mengira-ngira. "Kak Jati ngomong jujur aja ya kalo aku ngelakuin sesuatu yang bikin Kak Jati nggak nyaman. Aku orang yang cepat beradaptasi, kok."

"Saya juga menginginkan hal yang sama. Kamu jujur kalau saya ngelakuin sesuatu yang kurang berkenan di hati kamu."

"Sejauh ini sih, masih aman-aman saja, Kak. Hubungan kita juga semakin dekat sekarang. Aku senang sekaligus was-was. Namanya rumah tangga kan kata orang, rintangannya banyak. Karena menyatukan dua pemikiran sambil tetap memegang komitmen, itu hal yang nggak mudah. Segalanya mesti dipikirin dengan matang. Beda sama orang yang masih pacaran. Masih bisa putus karena tidak cocok. Kalau nikah kan nggak semudah itu?"

"Kalau komunikasinya lancar dan saling pengertian, saya rasa nggak akan ada masalah berarti. Nggak ada masalah yang diberikan Tuhan tanpa diberikan solusi."

"Gitu ya, Kak?"

"Seharusnya iya."

Yasmin menghirup udara yang terasa sangat segar. Sekalipun hari sudah beranjak siang, udara masih saja terasa dingin.

Dia selalu meletakkan kepercayaan kepada Jati di atas segala-galanya, karena menurutnya, seorang istri sebaiknya percaya kepada suami, jangan mudah menaruh curiga. Jati adalah pilihannya. Dan yang namanya pilihan sendiri, berarti pilihan itu yang dianggap sebagai pilihan terbaik. Sejauh ini hubungan mereka berjalan baik-baik saja. Yasmin bahagia akan pernikahan ini. Tapi sesenang apapun perasaannya, rasa was-was tetap saja akan selalu mengintai setiap saat.

Mungkin jika Jati bisa lebih terbuka lagi kepadanya, maka perasaannya akan terasa jauh lebih lega. Hilang semua prasangka dan pertanyaan demi pertanyaan yang mengganjal pikiran. Tapi, Yasmin kan tidak bisa memaksa? Menunggu adalah tindakan terbaik yang bisa diambilnya untuk saat ini. Dia khawatir jika tidak sabar, sikapnya itu seketika bisa merusak suasana hati Jati, suami yang begitu dicintainya. Berselisih paham sedikit saja, Yasmin tidak nyaman. Apalagi sampai bertengkar.

"Pesanannya, Pak. Bu." Akhirnya pelayan datang setelah menunggu cukup lama.

Perasaan Yasmin yang sempat resah tergantikan oleh perasaan senang. Menyaksikan piring-demi piring berisi hidangan yang tertata cantik beserta aroma aneka rempah, diturunkan ke atas meja mereka.

Di antara ketiga menu makanan yang mereka pesan, Yasmin paling penasaran dengan menu twin sausage. Penampilan hidangan sosis dilengkapi sayuran dan saus merah, seperti mengundang untuk segera menyantapnya. Aroma grill-nya tercium begitu wangi. Padahal belum genap dua hari berpesta barbeque, pilihannya lagi-lagi makanan yang dipanggang.

Yasmin memotong sosis dan menyodorkan garpu berisi potongan sosis untuk dicicipi Jati.

"Makan bareng yang ini, Kak. Ini enak banget, sumpah. Nggak bohong."

Jati mengangguk, tapi dia sudah bersiap menghadapi semangkuk soto Bandung yang sudah diraciknya dengan menambahkan sambal dan jeruk nipis. "Iya enak. Kamu coba juga ini." Jati menyuapkan potongan daging berkuah kepada Yasmin.

"Enak, seger." Yasmin lalu beralih mencicipi iga balado hotplate yang dihidangkan bersama nasi. Rasanya juga enak. Ketiga menu di meja semuanya enak dan recommended. Dari tampilannya pun Yasmin sudah bisa menebak kalau rasanya pasti enak. Penampilan makanan enak tidak pernah bisa berbohong.

"Baru nyadar, kita sama sekali nggak mesen ayam. Malah daging sapi semua."

"Konsumsi daging bisa bikin badan lebih hangat. Cepat menghilangkan kelelahan karena kandungan zinc. Selain itu, juga baik untuk meningkatkan gairah dan stamina." Jati mengucapkannya seolah-olah tengah memberi pelajaran materi nutrisi makanan.

"Gairah dan stamina apa yang Kak Jati maksud?" Yasmin sengaja memancing.

"Seksual, mungkin?" Jati mengedikkan bahu, seolah memang tidak begitu paham. "Tapi saya rasa pikiran kamu cepat nyambung kalau soal gini."

Yasmin mencubit lengan Jati. "Iiih, memangnya kamu nggak?"

Mereka sama-sama tertawa, lalu melanjutkan menyantap makanan.

Jati memandangnya lagi dengan lekat, dan Yasmin memahami bahasa tubuh suaminya itu.

Apakah malam terakhir di Puncak akan berakhir seperti yang dia bayangkan?

***

"Jadi Kak Jati putus sama perempuan itu karena sesuatu hal?"

Mereka kini tengah duduk santai di dekat kolam renang. Seusai makan malam, Jati mengajaknya duduk-duduk sambil mengobrol sebelum tidur. Malam terakhir di Puncak, mungkin jam tidur mereka akan sedikit larut. Yasmin sempat mencoba merendam kaki di dalam kolam. Tapi rasanya dingin sekali. Jadinya, Yasmin mengikuti Jati duduk di kursi santai.

Hawa di malam hari cukup dingin. Selain memakai sweatshirt yang dilapisi jaket tebal milik Jati, Yasmin juga membawa selimut untuk membungkus tubuhnya. Jati sendiri awalnya memakai kaus yang dilapisi sweatshirt dan jaket. Tapi kemudian jaketnya diberikan kepada Yasmin.

"Hubungan kami berjalan selama hampir empat tahun. Selama itu, semuanya berjalan baik-baik saja. Hubungan kami sehat dan normal. Kami bahkan nyaris nggak pernah bertengkar. Hanya sesekali berselisih paham. Dan hal itu hal yang biasa. Karena hubungan kami sangat serius, saya bahkan sempat berpikir, bahwa mungkin perempuan itu adalah jodoh saya. "

Jati berhenti sejenak untuk menarik napas.

Menceritakan sesuatu yang semestinya tidak perlu dibahas lagi, jelasnya bukan hal yang mudah. Tapi Jati sudah berjanji untuk bercerita kepadanya karena mereka sudah sepakat untuk saling terbuka satu sama lain, termasuk mengungkap mantan-mantan mereka dulu. Bukan untuk mengungkit hal yang telah berlalu, tetapi untuk menghilangkan prasangka-prasangka yang ibarat batu kerikil yang lama-kelamaan akan menjadi besar karena tersimpan begitu lama.

"Tapi kemudian, keadaan tiba-tiba berubah begitu drastis. Dia menjadi tertutup, sensitif, dan sulit diajak bicara. Waktu itu kami sama-sama sedang fokus menyusun tesis, jadi saya beranggapan, mungkin penyebabnya karena kesibukan. Saya yakin keadaan akan membaik setelah kami menyelesaikan tesis."

"Kejutannya, menjelang sidang, dia meminta putus dari saya. Saya memintanya untuk mempertimbangkan lagi, dan saya berjanji akan membicarakannya lagi setelah selesai sidang. Dia menerima tawaran saya dan kami sepakat akan menggunakan waktu yang ada untuk menyelesaikan segala proses administrasi secepatnya kemudian membicarakan kelanjutan hubungan kami."

"Ternyata hubungan kami memang tidak bisa dipertahankan lagi. Dia mengakui kalau dia telah berselingkuh dengan temannya sesama mahasiswa Indonesia. Hubungan mereka sudah berjalan begitu jauh. They slept together couple times. Laki-laki itu sudah melamarnya. That's it. Saya bisa bilang apalagi. Saya akhirnya setuju untuk berpisah. Sejak itu kami tidak pernah bertemu lagi. Saya lebih dulu pulang ke Indonesia. Terakhir menghubunginya, dia mengatakan akan menunggu tunangannya jadi mereka bisa bersama-sama pulang ke Indonesia."

"Sejak itu, saya mulai memikirkan apa yang salah dengan diri saya. Mungkin saya kurang baik dengan dia. Mungkin ada yang salah dengan cara saya memperlakukan dia. Mungkin saya terlalu sibuk hingga semakin jarang meluangkan waktu dengan dia."

"Hal itu membuat saya jadi semakin yakin, bahwa insecurity saya menghadapi perempuan sejak dulu memang adalah sebuah kekurangan yang tidak bisa saya hilangkan. Saya trauma memulai hubungan baru lagi. Pikir saya waktu itu. Perempuan yang berusaha saya jaga selama empat tahun lamanya saja bisa mengkhianati saya, jadi bagaimana saya bisa memulai hubungan baru dan yakin tidak akan berakhir sama?"

Yasmin menarik napas dalam-dalam.

"Kenapa Kak Jati ngomong seperti itu?"

"Saya bukan tipe laki-laki yang mudah bergaul, Yas. Saya cenderung tertutup dan pemalu. Saya hanya bisa terbuka kepada seseorang yang betul-betul saya percaya. Tapi sekali itu saya terbuka kepada seorang perempuan, sekali itu juga saya dikecewakan."

"Aku mencintai Kak Jati dengan tulus. Aku nggak akan seperti itu."

"I know, Yas." Jati meraih dan menggenggam tangannya. "Saya tidak pernah meragukan kamu. Malah mungkin saya yang sering membuat kamu ragu sama saya. Tapi kamu harus tahu, Yas."

"Alasan kenapa selama ini saya nggak ngomong ke kamu soal ini, karena saya masih belum sepenuhnya bisa melupakan hubungan kami. Saya tahu hubungan kami sudah tidak bisa diselamatkan. Saya nggak akan berpura-pura sama kamu, bahwa saya mencintai kamu di saat perasaan saya belum sepenuhnya tertuju sama kamu. Saya tau saya egois karena saya menikahi kamu saat perasaan saya belum siap untuk settle down."

"Saya memegang prinsip kalau saya tidak akan memulai hubungan baru sebelum hubungan yang lama berakhir secara resmi. Jadi, meskipun saat itu saya belum sepenuhnya mencintai kamu, rasanya sah saja bagi saya untuk melamar kamu. Cinta bisa berproses, perasaan cinta bisa terbentuk karena kebersamaan. Kamu selalu tanpa ragu mengakui perasaan kamu kepada saya, dan rasanya bodoh banget kalau saya melewatkan kesempatan untuk hidup bersama kamu."

"Karena kamu adalah tipe perempuan yang mudah untuk dicintai. Pemikiran kamu nggak rumit, kamu tulus dan luar biasa baik hati."

"Kamu ingat dulu aku pernah nanya sama kamu, kenapa harus saya, Yas? Kenapa kamu milih saya, bukan laki-laki lain yang lebih segala-galanya dari saya. Pertanyaan itu saya ajukan karena saya merasa tidak pantas mendampingi kamu. Segala sesuatu yang ada dalam diri kamu membuat saya minder. Saya takut menghancurkan ekspektasi kamu selama ini kepada saya."

"Tapi melihat sebesar itu kamu mencintai saya, membuat saya nggak ingin menahan diri lagi. Ya, saya mencintai kamu, Yasmin. I love you so much."

Untuk beberapa saat Yasmin terdiam.

Pengakuan ini adalah pengakuan yang ditunggunya sejak lama. Dia telah menghabiskan bertahun-tahun waktu, energi dan pikirannya untuk mencintai Jati. Mencintai satu arah dan berharap suatu hari Jati akan membalasnya.

Dan ketika saat itu datang hari ini, dia hanya bisa diam terpaku. Napasnya seolah tertahan begitupun denyut jantungnya.

Dia tahu, seharusnya saat itu dia segera memeluk Jati dan mengatakan bahwa dia bahagia.

Tapi ternyata Yasmin bahkan tidak bisa bergerak bahkan sekadar meraih tangan Jati.

Dia hanya terdiam, dengan airmata haru meleleh di kedua pipinya.

"Don't cry, Sweetheart."

Jati membawanya dalam pelukan, dan saat itulah tangis Yasmin meledak. Pertahanan dirinya runtuh. Perasaan bahagia sekaligus tidak percaya menyelimuti tubuhnya. Rasa dingin yang menyengat seolah tidak lagi terasa di kulitnya.

Akhirnya, dia tidak lagi mencintai sendirian. Cintanya terbalas.

Yasmin tidak akan pernah melupakan malam ini, karena malam ini adalah salah satu malam paling indah yang pernah ada di dalam hidupnya.

"I love you so much, Kak Jati."

"I love you more,Yasmin." Jati melepaskan pelukan. Dia menghapuskan airmata Yasmin, mengecup keningnya kemudian memeluknya lagi. Mereka berpelukan dalam waktu yang cukup lama, sampai Yasmin tidak lagi menangis.

"Kita harus bahagia terus ya, Kak?"

"Pasti," angguk Jati. Disibaknya rambut Yasmin, dan menyelipkan di belakang telinga.

"I want to celebrate this with you."

"How?" Jati bertanya, tapi sesungguhnya dia memahami hanya dari cara Yasmin menatapnya. Tidak berapa lama, Yasmin sudah berada di gendongannya.

"I know you know."

***

"Sweetheart."

Jati punya panggilan baru untuknya.

"Hmm. Udah ah geli." Yasmin protes ketika Jati mengecup bahu hingga ke punggungnya lalu naik ke tengkuknya. Jati lalu membalik tubuh Yasmin pelan-pelan hingga telentang. Tidak lupa menurunkan selimut yang menjadi satu-satunya penutup.

"You look beautiful."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro