PART 22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PART 22


"Mas Jati...,"

Yasmin mencoba memanggil Jati dengan sebutan itu, tetapi malah berakhir menggelikan.

"Iya, Mbak Yasmin."

Jati membalas tidak kalah lucunya.

"Aku lebih nyaman manggil kamu, Kak Jati."

"Yang mana saja yang menurut kamu nyaman, Yas."

Yasmin tersenyum. Lalu diikutinya arah pandangan mata Jati yang jatuh tepat di permukaan tubuh bagian atasnya yang tidak lagi ditutupi selimut. Jati mengatakan bahwa seharusnya dia tidur lebih cepat, karena besok harus menyetir pulang ke Jakarta. Tapi, katanya malah selalu kepikiran. Saat Yasmin bertanya, Jati menuding ke arah dadanya. Katanya tidak bisa tidur tenang sebelum "bermain-main" dengan bagian tubuhnya yang jumlahnya dua itu.

Dasar suaminya ini ya. Main-mainnya tidak pernah nanggung.

Selalu total, serius, dan sepenuh hati.

Alhasil, Yasmin hanya bisa pasrah mengikuti keinginan Jati. Bukan sepenuhnya pasrah. Karena dia berbohong jika tidak menikmatinya. Yasmin tidak perlu mengakui, karena Jati sudah bisa menebak jika Yasmin selalu menyukai setiap sentuhan di tubuhnya. Setiap kebersamaan bersama Jati berarti sebuah jaminan kepuasan. Ibarat sebuah proses produksi yang selalu berhasil. Suaminya ini pasti sudah banyak belajar entah dari pakar, atau dari literatur yang banyak tersedia.

Yasmin menyelipkan jemari tangan kanannya di sela-sela rambut suaminya yang masih sibuk dengan "mainannya". Sementara tangan kirinya melekat di punggung Jati, bergerak sesuai tekanan yang diterimanya dari gerakan-gerakan liar mulut suaminya itu. Awalnya Jati menggunakan jari-jarinya sebagai rangsangan awal. Tapi setelah itu, dia mengaku lebih suka menggunakan lidahnya.

Yasmin baru saja hendak menarik napas panjang ketika sesuatu menyentuh kewanitaannya.

Ternyata jari-jari itu tidak sepenuhnya istirahat.

"Wet enough." Gerakan jari itu membuat Yasmin menggerakkan pinggulnya mengikuti ritme dan arahnya.

"Mau dicoba lagi, Kak?"

Jati menunjukkan gelengan. "Dirangsang dulu pakai jari."

Yasmin tersenyum getir. "Maaf ya, Kak?"

"Sweetheart, please don't say that."

"Okay. Sorry."

Jati menuntaskan apa yang sedang dilakukannya beberapa menit kemudian. Mereka bersama-sama membersihkan diri dengan air hangat, kemudian kembali ke tempat tidur, dengan pakaian lengkap dan selimut. Kamar itu dilengkapi pemanas ruangan, tidak memakai selimut juga tidak akan terasa begitu dingin.

"Pasti sibuk banget ya kalau udah balik lagi ke Jakarta," cetus Yasmin pertamakali ketika mereka hanya diam memandangi langit-langit selama bermenit-menit.

"Jadwal terapinya jangan lupa." Jati mengingatkan.

"Iya, pasti. Aku kan pengen bisa sembuh." Yasmin tersenyum. "Nanti kalau udah bisa, langsung program anak ya, Kak? Jangan ditunda."

"Iya, Sayang."

"Sayang pake banget ya kan?"

"Sangat pake banget." Jati mengecup keningnya. "Dan terimakasih."

"Untuk?"

"Untuk malam ini, untuk mau jadi istri saya, untuk semua limpahan cinta dan kasih sayang dari kamu, untuk hari-hari esok, dan untuk semuanya."

"The pleasure is mine, suamiku Sayang." Yasmin menggeliat dalam pelukan Jati yang begitu hangat. Mereka melalui sisa malam dengan berpelukan hingga sama-sama tertidur.

***

Kembali ke Jakarta, perasaan Yasmin telah jauh lebih tenang. Kelegaan menghampiri batinnya karena satu hal yang selalu menjadi ganjalan pikiran, kini telah lenyap. Dia tidak pernah menyayangkan mengapa Jati baru mengatakannya sekarang, setelah memendamnya selama berbulan-bulan. Jati memiliki alasan sendiri dan mau mengakuinya dengan jujur.

Meski tidak dapat dipungkiri, ada permasalahan lain yang masih menunggu untuk diselesaikan. Ya, apalagi kalau bukan penyakit Vaginismus yang tengah dideritanya.

Yasmin merasa bersalah kepada Jati yang hingga saat ini belum juga mendapatkan haknya.

Malam terakhir di Puncak pun berakhir sama. Jati hanya mencobanya sekali, dan langsung berhenti tanpa ingin mengulangi. Sebagai gantinya, Yasmin membiarkan Jati melakukan apapun yang ingin dilakukan suaminya itu kepada tubuhnya. Detailnya hanya mereka berdua yang paham. Dia senang karena setidaknya, masih bisa menyenangkan Jati, meski belum mencapai tahap kepuasan yang sama-sama mereka inginkan.

Beberapa kali, Yasmin menemukan penggambaran hubungan seksual yang begitu mudah dilakukan di buku dan film. Bahkan hanya dalam waktu singkat, dua orang yang baru saling mengenal bisa melakukan romansa tanpa kendala apapun. Entah apakah memang selalu semudah itu kontak fisik dilakukan. Mengapa seakan-akan yang digambarkan di dunia fiksi seringkali hanya bagian yang indah-indah saja? Bukan hal yang salah jika para penulis novel maupun penulis script menambahkan scene-scene sensual untuk mendukung keperluan cinta. At least, detail-detail kecil seperti rasa sakit, dan rasa tidak nyaman bisa digambarkan hingga orang-orang bisa menyadari bahwa banyak hal kompleks yang mungkin akan dihadapi ke depannya, sehingga butuh pertimbangan yang matang sebelum melakukannya. Hal terparah, jika melakukannya tanpa consensus hingga berakhir pada hal-hal yang tidak diinginkan. Kehamilan yang tidak terencana atau bahkan penyakit menular seksual.

Sebelum menikah, baik Yasmin maupun Jati sama-sama memiliki rekam medik secara keseluruhan yang menunjukkan bahwa mereka sama-sama sehat secara fisik maupun mental. Perihal penyakit Vaginismus, hal itu karena penyakit tersebut memang baru bisa diketahui setelah percobaan intercourse. Penyakit itu bukan seperti beberapa penyakit lain yang bisa dideteksi langsung melalui alat kesehatan. Butuh proses yang lebih lama, mengingat Vaginismus hanya bisa dirasakan secara fisik oleh perempuan, namun penyebabnya adalah gabungan dari faktor fisik dan mental. Karena Yasmin memang tidak memiliki riwayat hubungan seksual sebelumnya, jadi Yasmin baru mengetahuinya setelah menikah dengan Jati.

Jati begitu supportif membantunya untuk bisa sembuh. Sepulang dari Puncak, Jati menemaninya lagi melakukan terapi. Jati benar-benar rela meninggalkan pekerjaan demi menemani Yasmin. Selalu berada di sisinya setiap dibutuhkan.

Yasmin tersenyum membayangkan bagaimana jadinya ketika dia akhirnya mengandung. Menjalani berbulan-bulan kehamilan dengan segala kompleksitas yang ada; mual, mengidam, morning sickness, susah tidur, disertai keluhan lain, pastinya membutuhkan perjuangan yang tidak mudah. Banyak perempuan yang ingin menjadi ibu, namun tidak semua bisa berakhir menjadi seorang ibu.

Perjuangan menjadi seorang ibu memang tidak ternilai harganya dan tidak akan pernah bisa tergantikan oleh apapun juga. Sampai kapanpun.

***

_Jati_

Unknown number : Hai, Jati. Ini aku, Reva. Apa kabar?

Jati : Hai, Reva. Baik.

Jati tengah berada di lokasi proyek untuk mengawasi perkembangan tahap konstruksi. Sebentar lagi makan siang, para tukang dan kuli sudah mulai meninggalkan lokasi, meninggalkan pekerjaan mereka sejenak untuk istirahat dan makan siang. Jati belum memutuskan akan makan siang di mana. Perutnya masih cukup kenyang terisi burger daging sapi buatan Yasmin yang dibawanya ke tempat kerja. Akhir-akhir ini, Yasmin gemar menyiapkan bekal untuknya tanpa diminta. Jati mengatakan tidak perlu repot, tapi Yasmin sulit didebat kalau urusan yang satu itu.

Jati mengubah nama kontak menjadi nama Reva. Reva saja, tanpa embel-embel apapun. Menambahkan "hanya masa lalu" di belakang namanya, mungkin bisa jadi alternatif lain.

Reva : Aku dengar kamu sudah nikah ya?

Jati : Iya.

Reva : Congrats. You must be happy right now.

Jati : Absolutely.

Reva : Can we meet to talk? There's so much things that i need to say.

Jati : Is it fine if i say i don't want to meet you?

Reva : Are you still angry to me?

Jati : Saya nggak pernah marah, Rev.

Saya selalu berusaha ikhlas dan berbesar hati. Tambahnya.

Ponsel yang sedang dipegangnya lekas dilemparkan Jati ke dalam ransel. Napasnya serasa tertahan di ujung tenggorokan. Tanpa sadar, tangannya terkepal kuat, seakan mencoba meredam perasaannya yang sedang bergolak. Tapi tidak cukup, karena yang diinginkannya sekarang adalah meninju permukaan pondasi yang sedang dibangun oleh para pekerja.

Benarkah dia tidak pernah marah?

Benarkah dia telah ikhlas sepenuhnya?

Tengah bergelut dengan perasaannya, ponselnya berdering. Jati mengabaikannya beberapa saat sampai ponselnya tidak lagi mengeluarkan suara.

Reva masih mengirimkan chat tetapi bukan itu yang menjadi fokus perhatiannya, melainkan nama Yasmin di daftar panggilan tak terjawab. Melihat penunjukan waktunya, sudah pasti yang baru menghubunginya adalah Yasmin.

Jati menunggu panggilannya terhubung.

"Halo, Sayang." Panggilan sayang untuk Yasmin. "Ada apa? Saya baru lihat panggilan kamu."

Di seberang, terdengar jelas bunyi klakson.

"Aku lagi di jalan, nggak jauh dari site. Kamu masih di sana? Aku pengen makan siang bareng kamu, sekalian mau lihat-lihat progress proyek. May i come?"

"Sure. Kenapa harus ijin?"

"Kebiasaan." Yasmin terdengar terkikik. "So, i'll pick you up, Sayang. Mobil kamu nggak pa-pa ditinggalin?"

"Saya bawa mobil aja, Yas."

"Oh kalo gitu, aku langsung ke situ aja dulu biar nggak repot parkir-parkir lagi di restoran. Nanti ke restorannya naik mobil kamu aja. Tungguin ya? Nggak lama lagi aku nyampe. See you there."

"Oke."

Sembari menunggu kedatangan Yasmin yang katanya tidak lama lagi akan sampai, Jati berpindah posisi ke tempat mobilnya sedang terparkir. Mobil-mobil lainnya milik kepala proyek, arsitek, serta motor-motor milik tukang dan kuli juga terparkir di sana.

"Makan siang, Pak Jati."

"Iya, duluan aja, Pak."

Salah seorang tukang menyapanya saat Jati melintas. Tukang itu terlihat mengeluarkan botol plastik dari dalam bagasi motornya. Setiap hari kerja, para pekerja diberikan katering khusus makan siang, sehingga mereka tidak perlu repot lagi mencari makan siang di luar atau membawa bekal. Menu setiap hari juga selalu berganti, jadi mereka bisa makan lahap dan tidak bosan. Sesekali Jati ikut makan bersama mereka dengan menu yang sama. Kalau tidak, biasanya jatah makanannya diberikan kepada ibu-ibu yang mengurusi katering pekerja untuk dibawa pulang. Selain makan siang, setiap hari juga disediakan snack dan minuman seperti kopi dan teh. Mereka bisa memilih sesuai selera.

Jati masih memerhatikan bagian-bagian bangunan ketika terdengar suara klakson diikuti deru mesin yang dimatikan. Jati yang tengah berdiri bersandar pada pintu mobil, menoleh kepada Yasmin.

"Aku nggak lama kan?" Yasmin masih memakai kacamata baca, sesuatu yang jarang dilihat Jati. Yasmin hanya memakainya kalau sedang bekerja.

"Nggak. Malah saya kira kamu masih di jalan."

Mereka belum beranjak meninggalkan lokasi, karena Yasmin mau melihat-lihat sebentar keadaan di sana, dari tempatnya berdiri.

"Masih sekitar 6 bulan lagi ya buat rampungin semua unit?" tanya Yasmin yang ternyata masih mengingat obrolan mereka.

"Sekitar segitu. Paling lambat 7 bulan buat sekalian beresin taman."

"Mas Yasa belum balik dari Malang?" tanya Yasmin.

"Belum. Masih ada yang mau diurusin di sana, katanya."

Mas Yasa berada di Malang dalam rangka melakukan survey pembangunan resor di daerah Batu. Kondisi tempat yang beriklim dingin sangat cocok untuk menerapkan resor yang mirip seperti resor-resor yang berada di Puncak.

"Siang, Pak, Bu," sapa seorang tukang yang melintas, disusul dua orang temannya.

"Siang, Mas."

Yasmin membalas senyum para pekerja dengan ramah. Jati bisa melihat kekaguman setiap laki-laki yang memandangi istrinya. Para pekerja pun tidak luput dari pesonanya. Jati bahkan mendengar obrolan singkat para pekerja dari kejauhan dalam bahasa daerah, yang artinya kira-kira seperti ini.

"Istrinya cantik yo, kaya bidadari."

"Cocoklah. Satu ganteng satu cantik."

"Iyo, yo? Kaya artis. Siapa?"

"Bukan. Mirip bule."

"Pasti disayang sama Pak Jati."

"Pasti dijaga baik-baik."

Yasmin menepuk pelan lengannya. "Ayo, langsung makan siang. Aku udah laper nih."

Jati mengiyakan seraya merogoh kunci mobil dari saku.

"Jadi mau makan di mana?"

"Kamu maunya di mana?" Jati balik bertanya sambil memasang seatbelt.

"Tempat kamu biasa makan siang aja."

"Di dekat sini ada restoran ayam goreng." Jati menyebutkan sebuah restoran yang cukup terkenal dengan menu ayam goreng utuh dilengkapi kremesan.

"Ooh, boleh deh. Pasti enak banget tuh ayam goreng panas pake sambel manis pedas. Dimakan dengan nasi hangat sama lalapan." Yasmin mulai menggambarkan rasa makanan itu.

Menu ayam goreng bisa dibilang sebuah menu yang netral untuk mayoritas orang. Tidak perlu berpikir rasanya bakal melenceng jauh dari bayangan. Apalagi untuk sekelas restoran terkenal yang punya banyak cabang di Jakarta dan beberapa kota besar di pulau Jawa. Soal rasa, pasti sudah dikurasi dengan baik oleh pihak manajemen restoran.

Yasmin melongok keluar sebelum berjalan mendahuluinya memasuki restoran. Parkiran sudah mulai penuh. Saat masuk, suasana dalam restoran cukup ramai. Hal yang lumrah mengingat waktu itu adalah jam-jam makan siang. Mereka masih kebagian sebuah meja kosong.

"Mau bungkus aja trus makan di mobil?" Jati menawarkan.

"Nggak usah. Kan udah nyampe di sini."

"Di sini rame banget, Yas. Biasanya saya ke sini setelah lewat jam makan siang, jadi nggak pernah serame ini." Jati memandang berkeliling, masih ada pengunjung yang baru datang tapi tidak kebagian tempat.

"Harusnya tadi, kita shalat dulu. Tapi aku udah keburu laper banget." Yasmin tergelak. "Maaf ya, Kak? Jadi buat kamu terburu-buru. Padahal mungkin belum begitu lapar kan? Burgernya gimana?"

"Udah habis."

"Besok mau dibekelin lagi?"

"Jangan repot, Yas."

"Nggak repot, kok. Kenapa sih kamu selalu bilang nggak mau ngerepotin? Bukannya tugas istri memang harus mastiin makanan suami terjamin?" Yasmin mengerutkan kening. "Apa masakanku kurang enak?"

"Nggak, bukan begitu. Masakan kamu selalu enak."

"Permisi, Bapak, Ibu. Mau pesan apa?"

Seorang pelayan menghampiri meja, menginterupsi percakapan mereka. Tidak butuh waktu lama bagi pelayan untuk mencatat pesanan mereka sebelum berpindah mencatat pesanan di meja lain.

"Trus, kenapa kamu sering nolak aku buatin bekal?"

"Karena saya nggak mau merepotkan kamu, Yas."

"Aku kan udah bilang nggak repot. Kak Jati nggak pernah kan nyuruh aku, tapi aku yang punya inisiatif sendiri. Aku senang masak, aku senang menjadi perempuan domestik yang bekerja dari rumah."

"Ya udah. Terserah kamu saja."

Yasmin terdengar membuang napas.

"Kak Jati marah?"

"Bukan. Bukan seperti itu."

"Kak Jati marah." Yasmin membuat kesimpulan. "Ada sesuatu yang bikin Kak Jati marah? Apa soal kerjaan? Atau karena sikapku yang nggak mau nurut?"

Bagaimana mengatakannya? Jati sendiri tidak bisa memahami pikirannya sendiri. Saat ini dia merasa tidak ada hal yang membuatnya harus marah. Untuk apa dia harus marah? Obrolan bersama Yasmin hanya berisi perdebatan ringan. Mereka juga bukan sekali ini berselisih paham.

"Baik kalau Kak Jati nggak mau lagi dibuatin bekal. Aku nggak akan maksa. Malah bagus kan, aku nggak perlu capek-capek. Maafin aku yang selama ini suka bebal kalau dikasih tau."

Suara Yasmin terdengar memelan. Raut wajah kecewa tidak lagi bisa disembunyikan.

Lama sekali mereka terdiam. Hingga makanan dihidangkan, baik Yasmin maupun Jati masih sama-sama belum membuka suara. Mereka makan dalam suasana dicekam sunyi, padahal di sekeliling begitu ramai. Jati berulangkali ingin membuka mulut, tapi Yasmin sepertinya enggan peduli.

Yasmin makan siang dengan lahap. Semua makanan di piringnya tandas, hanya menyisakan tumpukan tulang ayam goreng, menunjukkan makannya cukup banyak. Tidak ada celoteh dan candaan riang seperti biasa. Tidak ada obrolan kecil untuk hal-hal ringan dan cenderung tidak penting yang anehnya selalu membuat Jati terhibur. Terlebih lagi, tidak ada senyum riang di wajah Yasmin. Kalaupun ada, itu hanya segaris tipis yang samar saat Jati membantu menyeka sudut bibir Yasmin menggunakan tisu.

Jati menyadari dalam hal ini, dia memang salah. Seharusnya mereka tidak berbantahan untuk sebuah kecil.

Memang kenapa kalau Yasmin ingin membuatkan bekal?

Memang kenapa kalau Yasmin ingin menunjukkan perhatian sebagai seorang istri?

Apakah menunjukkan perhatian selalu dianggap merepotkan?

Apakah tidak sebaiknya dia memberikan apresiasi, bukannya malah menunjukkan penolakan?

Dia lupa bahwa selain mengenal Yasmin sebagai sosok periang, Yasmin juga memiliki perasaan yang sangat sensitif. Yasmin tidak menyukai perdebatan, karena menurutnya, selain buang-buang waktu, juga dapat berpotensi menjadi konflik. Prinsipnya, kalau bisa mengalah untuk kepentingan bersama, mengapa harus beradu argumentasi untuk menentukan siapa yang menang? Siapa yang argumentasinya paling hebat?

Dalam pernikahan, tidak ada soal menang atau kalah. Yang ada hanyalah keinginan untuk saling memahami, demi kebahagiaan bersama.

Setelah makan siang dan kembali ke proyek, Yasmin segera menuju ke mobilnya.

Dia mengatakan akan langsung pulang ke rumah.

Jati hanya melambaikan tangan dari jauh. Berharap sepulang kerja nanti, mereka akan kembali berbaikan.

***

Part 23 on progress dan akan diposting kalau part 24  udah ditulis :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro