PART 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PART 23

Yasmin tahu tidak ada aktivitas paling menyenangkan yang bisa dilakukannya di rumah selain duduk menonton sambil menikmati camilan ringan. Plus segelas besar milkshake coklat. Tapi perutnya masih kenyang setelah makan siang. Sampai di rumah, Yasmin memilih masuk kamar dan berbaring sambil membaca chat yang masuk.

Belum lama ponsel digenggamnya, Yasmin meletakkannya di atas nakas.

Tidak ada yang menarik perhatian jika suasana hati sedang buruk. Yasmin tidak ingin membuang waktu lagi memikirkan hal-hal yang membuatnya sedih.

Tidak, jika hal itu menyangkut Jati.

Kalau Jati mencintainya, Jati tidak akan mendebatnya untuk sebuah hal kecil.

Mungkin bagi Jati, sekotak bekal yang setiap hari dititipkan Yasmin kepadanya hanya sebatas makanan. Sesuatu yang amat sangat biasa. Sesuatu yang bernilai kecil. Ada atau tidak, sama sekali tidak ada bedanya.

Tapi bagi Yasmin, menyiapkan kotak bekal itu adalah salah satu dari beberapa aktivitas yang disukainya. Ada perasaan bahagia saat masakan yang dibuatnya selesai dan dimasukkan ke dalam kotak. Apalagi jika kotak bekal tersebut dibawa pulang dalam keadaan kosong, kebahagiaannya semakin bertambah.

Sangat kontras dengan perasaan kecewa yang kini dia rasakan.

Mungkinkah Jati telah bosan kepadanya?

Yasmin kemudian bangun untuk duduk.

Apa yang ada di benaknya, sehingga dia bisa terpikir akan hal itu?

Bosan?

Ini hanya sebuah asumsi. Bagaimana jika asumsi itu hanya dampak dari perasaannya yang terlalu sensitif? Mengapa jadi terlalu mudah baginya "menghakimi" Jati hanya karena perkara kecil?

Lagipula menyiapkan bekal adalah inisiatifnya sejak awal. Jati tidak pernah meminta dengan alasan, tidak ingin merepotkan.

Mungkin banyak laki-laki di luar sana akan langsung mengiyakan ketika istri berinisiatif menyiapkan bekal. Tetapi Jati bukan mereka. Responnya seringkali biasa dan kalem. Jati tidak bisa mengubah karakternya demi menyenangkan perasaan Yasmin. Dan Yasmin seharusnya tidak berusaha mengubah kepribadian Jati hanya demi selalu menyenangkan perasaannya.

Apakah selama ini dedikasi yang ditunjukkan oleh Jati masih belum cukup?

Ketika mengetahui penyakitnya, Jati tidak pernah menunjukkan penolakan terhadap dirinya. Jati menerima kondisinya dan dengan sabar membantunya melakukan terapi.

Jadi, bagian mana dari dalam diri Jati yang pantas untuk dia benci?

Yasmin beranjak untuk mengambil ponsel. Tanpa ragu, dihubunginya nomor Jati.

Di deringan ketiga, Jati mengangkat panggilannya.

***

_Jati_

Jati mempercepat kepulangannya ke rumah setelah Yasmin meneleponnya untuk minta maaf. Secepat ini? Jati bahkan baru berencana berbaikan setelah pulang ke rumah. Dia merasa lebih nyaman membicarakannya langsung dengan Yasmin ketimbang melalui telepon.

Sementara itu, dia baru saja menghapus seluruh chat antara dirinya dengan Reva, karena tidak ada lagi yang perlu dibahas. Kisah di antara mereka telah lama usai. Dan apapun yang ingin dilakukan Reva, entah itu hanya sekadar bertemu untuk minta maaf, dia memilih untuk tidak memberikan kesempatan. Demi menjaga perasaan Yasmin dan pernikahan mereka.

Jati sudah memarkirkan mobil di garasi. Dia tidak sabar ingin segera menemui Yasmin, menegaskan bahwa mereka memang sudah benar-benar berbaikan.

Yasmin yang tengah menunggu di ruang tengah, langsung berdiri dan memeluknya erat.

"Maafin aku."

Jati mengangguk sambil mengusap kepala dan punggung Yasmin.

"Kenapa kamu nggak nunggu aja sampai saya pulang?"

"Aku kepikiranlah, Kak. Makanya setelah sampai di rumah, aku menyadari kalau seharusnya aku nggak marah ke Kak Jati hanya gara-gara persoalan kecil. Aku nggak bisa nunggu sampai kamu pulang, Kak. Karena nggak baik menunda untuk minta maaf selagi masih ada kesempatan."

"Saya juga minta maaf ya?"

"Hmm." Yasmin lebih dulu melepaskan pelukannya. "Terima kasih, karena Kak Jati udah sabar banget menghadapi aku."

Jati mengusap puncak kepala Yasmin.

"Terima kasih juga atas pengertian kamu, Yas."

Senyuman manis di wajah Yasmin kini telah kembali. Di saat yang bersamaan, perasaan was-was di dalam diri Jati berangsur menghilang. Setelah Yasmin meninggalkannya dalam kondisi perasaan kurang baik seusai makan siang bersama siang itu, saat itu juga perasaan bersalah menghampiri. Pertanyaan demi pertanyaan datang silih berganti. Mempertanyakan kualitas kemampuannya meng-handle hubungan dengan pasangan. Apakah masih sepayah sebelumnya, atau telah berubah menjadi jauh lebih baik. Karena Jati pernah gagal, dan kali ini dia tidak ingin gagal lagi.

"Aku sempat cemas kalau Kak Jati merasa jadi pihak yang paling bersalah. Aku nggak mau Kak Jati merasa kalau perselisihan ini sepenuhnya kesalahan Kak Jati. Makanya aku buru-buru minta maaf. Aku nggak mau kamu kepikiran soal ini, Kak."

So thoughtful.

"Jadi sekarang, aku nggak mau maksa-maksa soal apapun lagi. Dan Kak Jati tidak perlu sungkan untuk mengatakan tidak sama aku."

Jati tersenyum. "Kapanpun kamu mau buatin bekal, saya akan terima dengan senang hati. Kalau kamu lagi nggak pengen masak atau apapun, saya juga nggak akan komplain."

"Nggak pa-pa sih, Kak kalau mau komplain kalau ada yang nggak sreg. Kita sama-sama punya hak untuk menerima, menolak, atau komplain. Yang penting semuanya bisa dibicarakan baik-baik. Ntar kesannya aku jadi istri kok malah jadi pengen mengontrol rumah tangga. Kak Jati adalah pemimpin rumah tangga ini. Imamku. Penentu setiap apa yang kita rencanakan bersama. Aku sebagai istri akan sangat bahagia jika bisa mendukung setiap keputusan yang kamu ambil, Kak. Karena aku yakin kamu bukan orang yang asal mengambil keputusan. Dan setiap keputusan yang kamu ambil selalu mempertimbangkan keinginanku juga."

Jati mengangguk, dan mereka kembali berpelukan. Memeluk Yasmin adalah satu dari beberapa hal ajaib di dunia ini yang bisa memberinya kekuatan setelah melalui hari-hari yang berat dan melelahkan.

Jati tersadar sesuatu. Mungkin aroma tubuhnya sekarang sudah tidak karuan. Biasanya sepulang kerja, dia akan langsung buru-buru mandi, bukannya memeluk tubuh Yasmin seperti sekarang.

"Saya mandi dulu, Yas. Udah gerah sekali." Jati beralasan.

Yasmin melepaskannya sambil menunjukkan raut bingung karena pelukan mereka yang tiba-tiba terlepas. Jati tidak tahan untuk mengecup pipi Yasmin yang terlihat menggemaskan.

"Aku nggak masak buat makan malam, gimana?"

"Nggak usah masak, Yas. Kita makan malam di luar."

***

_Yasmin_

Jati mengajaknya makan malam di sebuah restoran Jepang. Menyantap sushi dan shabu-shabu tanpa grill, mengingat siang tadi mereka sudah memakan ayam bakar.

Yasmin sudah menerima kabar dari editor mengenai jadwal terbit bukunya. Berarti tidak lama lagi buku terbarunya bisa ditemui di toko buku. Siang tadi, dia sempat jalan-jalan ke toko buku, mengecek ketersediaan buku-buku dongeng hasil karyanya. Semua judul dari buku pertama masih tersedia dengan stok yang semakin menipis. Menurut Mbak Siska, tidak lama lagi buku-bukunya akan dicetak ulang setelah buku terbaru terbit. Hal itu merupakan kabar menggembirakan. Keputusan Yasmin untuk menekuni buku anak ternyata tidak salah. Selain mampu menyalurkan imajinasinya, Yasmin bisa membuktikan eksistensi di dunia literasi. Jumlah penjualan buku juga cukup baik, salah satu alasan yang membuat penerbit masih berminat bekerjasama dengannya.

"Kak."

"Hmm?"

"Kalau buku terbaruku udah terbit, kamu temenin aku ke toko buku ya?"

Tercetus keinginan Yasmin untuk mengajak Jati melihat hasil karyanya yang terpajang di toko buku.

"Boleh. Kapan?" tanya Jati sebelum menghirup kuah shabu.

"Tiga hari dari sekarang. Tapi kita ke toko bukunya, Sabtu malam aja. Sekalian malam mingguan. Kebetulan kan nggak ada undangan resepsi malam, jadi bisa lebih luang waktunya untuk jalan-jalan."

"Boleh banget." Jati lalu tersenyum. "Kamu nggak niat menulis buku tentang perjalanan hubungan kita?"

Yasmin menggeleng. "Belum kepikiran. Lagian, isinya juga pasti bakal membosankan."

"Oh gitu?"

Yasmin tertawa melihat reaksi Jati yang pura-pura marah. Rasanya dia ingin mencubit pipi Jati saat itu juga.

"Pasti bakal ngebosenin buat yang baca, karena kamu-nya selalu lempeng sama aku sejak dulu sampai sekarang. Tapi yang sekarang sih, udah mendingan." Yasmin tertawa.

"Yang penting kamu bisa nyaman sama saya. Soal karakter, memang nggak akan bisa diubah." Jati mengambil sepotong sushi roll dan mencelupkan sebentar ke saus. "Satu hal yang harus saya pastikan, kamu harus bahagia hidup bersama saya."

"Yes, it's a must. And i am happy to be with you."

Sambil menikmati makanan, Yasmin mengamati Jati. Senyum yang ditampakkan Jati saat mendengar ucapannya barusan, terlihat begitu tulus. Selama ini, dia selalu mengagumi pahatan wajah dan segala yang ada di tubuh sang suami yang tercipta begitu sempurna. Tetapi dari segala yang dikaguminya dari Jati, semuanya terasa begitu lengkap hanya dengan melihat senyumannya. Senyum yang akhir-akhir ini semakin royal ditunjukkan kepadanya, katakanlah jika dibandingkan dengan saat-saat mereka baru menikah. Jika Jati ingin membuat Yasmin merasa bahagia hidup bersamanya, maka Yasmin pun akan melakukan hal yang sama. Memastikan Jati merasakan kebahagiaan menjadi pasangan hidupnya.

Karena bukankah harus seperti itu sebuah pernikahan yaitu meraih kebahagiaan bersama-sama?

"Seorang laki-laki biasanya ingin memperlakukan pasangannya seperti ratu di dalam hubungan mereka, memanjakan mereka, melindungi sampai terlalu protektif dengan alasan perempuan terlalu lemah. Tapi buat saya, setiap laki-laki membutuhkan perempuan selain untuk dilindungi dan disayangi, juga karena laki-laki membutuhkan partner yang baik untuk berbagi dan menguatkan di masa-masa sulit. Because just like in a game of chess, the Queen protects the King."

Yasmin mendengarkan ucapan sang suami dengan sungguh-sungguh. Jati bahkan menyingkirkan pandangannya dari meja dan hanya fokus padanya.

"Saya mungkin bukan laki-laki paling romantis yang pernah kamu kenal. Maybe the worst in terms of describe my feeling towards you. Cool in bad way. But when i'm in relationship with someone, i'm gonna protect her with all of my might. And that's you, Yasmin. I'm gonna protect you with all of my might."

Yasmin merasakan sudut-sudut bibirnya bergetar. "Aku mau makan, Kak. Bukan mau nangis dengerin kata-kata kamu."

Jati tergelak dan langsung mengambil tisu untuk mengusapkan sudut-sudut mata Yasmin yang mulai dialiri airmata.

"Saya memang suka ngomong nggak ngerti sikon." Jati malah terlihat menuding dirinya sendiri. "Ya udah, kapan-kapan dilanjutin lagi."

"Telat. Aku udah nangis."

"Siapa suruh cengeng."

Yasmin menarik napas dalam-dalam. Sekarang perasaannya sedikit lebih baik setelah Jati menghentikan ucapannya yang mengandung bawang. Yasmin memang gampang tersentuh, jadinya belum apa-apa, airmatanya telah mengalir tanpa bisa ditahan lagi. Diambilnya sepotong sushi dan mencocolkan ke wasabi. Makanan itu jauh terasa lebih enak, sekarang.

"Jadi, jangan sering-sering ngambek sama saya lagi, Yas. Jangan ragu soal perasaan saya sama kamu."

"Iya, aku akan berusaha nggak sering ngambek sama kamu, Kak. Nggak enak kalo marahan. Bikin batin nggak bisa tenang." Yasmin memang selalu jujur tentang perasaannya. Tidak perlu memendam pikiran yang hanya akan menyakiti diri sendiri.

Makan malam itu berakhir sejam kemudian. Dalam perjalanan pulang, Yasmin menerima kabar dari Ana bahwa Bian sedang dirawat di rumah sakit, katanya cedera saat sedang berkuda. Yasmin tidak begitu mengetahui kabar Bian selama setahun terakhir ini, termasuk soal kegemarannya berkuda. Yasmin menjawab pertanyaan Ana terlebih dahulu, sedang berada di mana dan bersama siapa Yasmin sekarang.

"Gue lagi di jalan, bareng Kak Jati. Baru banget abis makan malam.

"Kalo mau jenguk sekarang, udah nggak keburu kan, Na? Besok pagi aja gue jenguk. Nggak pa-pa kan?"

Rumah sakit tempat Bian dirawat cukup jauh dari posisi mereka sekarang. Butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai ke sana.

"Don't worry. Ada gue kok yang nemenin bareng keluarganya. Rafael juga baru bisa nongol besok. Gue cuma ngabarin ke lo aja."

"Tapi sekarang gimana keadaannya?"

"Ya, gitu-gitu doang. Kadang meringis,merintih, gitu-gitulah. Gue ngeledek dia manja, gue ditabok pake bantal."

Yasmin tidak bisa menahan tawa mendengar cerita Ana. Karakternya dan Ana seperti langit dan bumi. Sahabatnya itu cenderung petakilan, omongan dan kelakuan sering tidak terkendali dan spontan. Tapi mereka sepakat jika Ana adalah tipe sahabat yang selalu ingin paling cepat berada di dekat sahabat-sahabatnya saat sedang kesulitan atau sedang sakit.

"Yang namanya cedera pasti sakit bangetlah, Na. Lo aja terkilir pas main tenis kan sakit banget." Yasmin mengingatkan insiden yang telah lama berlalu. Ana menyukai olahraga tenis dan sudah berkali-kali terkilir saat bermain. Entah karena teknik yang salah atau bermain terlalu lama.

"Mmh. Iya, iya. Udah dulu kalo gitu, Yas. Salam buat Jati. Gue tunggu lo besok ya. Dah, Sayaang. Mhuah."

"Dapet salam dari Ana." Yasmin menyimpan ponselnya kembali. Lalu diliriknya Jati, yang sedang serius mengemudi. Selain sedang bersamanya entah di tempat tidur atau di sofa, Yasmin paling senang memerhatikan Jati ketika sedang menyetir mobil. Apalagi seperti saat ini, ketika kedua tangannya berada di lingkar kemudi sambil fokus menatap ke depan. Terlihat lebih maskulin.

"Salamin balik," jawabnya singkat.

Entah bagaimana mengatakan kepada Jati kalau besok, Yasmin akan pergi menjenguk Bian. Sebenarnya dia ingin pergi sendiri. Tetapi kalau Jati mau meluangkan waktu, Yasmin ingin pergi bersama Jati menjenguk Bian. Rasanya lebih nyaman saja.

"Kak, besok aku mau jenguk Bian."

"I know. Udah dengar tadi."

"Boleh?"

"Boleh. Kamu kesana sama siapa? Rumah sakit itu kan jauh dari sini?"

"Aku mau jenguknya pagi. Nanti aku minta dianter aja sama supir mama."

"Kenapa kamu nggak ngajak saya?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro