PART 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


PART 3

"Nak Yasmiiin."

Yasmin sedikit menunduk sambil membungkukkan badan untuk memeluk dan menempelkan kedua pipinya bergantian ke pipi mama Anita, begitu dia biasa memanggil mama Jati. Mertua perempuannya itu selalu menyambut hangat setiap mereka bertemu. Yasmin bisa merasakan ketulusan yang terpancar dari sorot mata sang mertua.

"Iya, Mam Nita." Yasmin menurut dengan patuh ketika mama Anita menggiringnya duduk di salah satu sofa. Mereka tengah berada di ruang tengah bersama seluruh anggota keluarga kecil, termasuk Janu yang tadi telah ikut menyambutnya saat tiba.

Sekilas, wajah Janu cukup mirip Jati. Hanya, postur tubuhnya sedikit lebih tinggi dan berisi. Kata mama Anita, biasanya anak kedua sering lebih tinggi dari anak pertama. Tapi tetap saja di mata Yasmin, wajah tampan Jati masih belum tersaingi. Garis wajah mereka lebih mirip ke ayah mereka yang terlihat masih sangat muda di usia nyaris kepala enam.

"Jati nggak bilang lho mau bawa kamu ke sini. Padahal Mama sempat nitip pesan, sekalian ajak kamu. Tapi waktu di telepon, Jati nggak ngomong apa-apa."

"Tadi lagi sibuk, Ma. Jadi ngobrolnya nggak bisa lama-lama." Jati beralasan. Jati dan adiknya duduk di sofa yang bersebelahan dengan sofa di mana Yasmin duduk. Mereka lalu mulai mengobrol dengan suara pelan. Sementara Yasmin dan mama Anita membahas tentang tanaman hias.

"Kalau Mama suka koleksi anggrek. Oo, Yasmin lebih suka bunga Lily? Bagus ya?" Yasmin menerima reaksi kagum dari mama Anita saat Yasmin menunjukkan foto bunga di ponselnya. "Cantik banget, Nak Yasmin. Ini ada warna lain?"

"Ada, Mam. Mama mau? Nanti aku minta orang dari toko tanaman bawain bunganya ke sini."

"Nggak usah repot, Nak Yas. Nanti Mama order sendiri."

"Nggak repot kok, Ma. Buat mudahin Mama aja."

Mama Anita berterimakasih sambil menepuk pelan permukaan paha Yasmin.

"Itulah kenapa Mama bersyukur punya menantu seperti kamu, Nak. Kamu selalu baik dan ramah, nggak hanya sama Mama, tapi juga sama orang-orang di sekeliling kamu. Makanya banyak yang sayang sama kamu."

Dalam hati, Yasmin ingin tertawa.

Iya, Mama Nit. Kecuali anak Mama.

"Oh, ya. Jati. Jadi kapan kamu sama Yasmin mau nginap di sini?" Mama berpaling sejenak kepada Jati, dan menunggu jawaban.

Jati yang sedang mengobrol dengan Janu, melirik sebentar kepadanya. Yasmin tidak tahu apa maksud gerakan mata Jati tersebut. Efek terkejut karena ditatap Jati, tanpa sadar membuat Yasmin menelan ludah.

Side profile wajah Jati dalam posisi duduk seperti ini semakin menunjukkan ketampanannya.

Please. Yasmin selalu menggerutu dalam hati. Jadi orang, bisa nggak sih wajahnya biasa aja?

Sibuk mengagumi wajah Jati, Yasmin dikejutkan dengan tepukan pelan mama Anita. Kali ini di lengannya.

"Jati memang gitu kalo ditanya. Kadang jawab, kadang nggak." Mama tersenyum. "Yasmin nginap aja malam ini ya? Pulangnya besok pagi saja."

Baik Jati maupun Yasmin masih sama-sama diam.

"Kamar Jati dibersihkan terus setiap hari. Yasmin nggak ada riwayat alergi debu atau udara kan?"

Yasmin tidak mengerti maksud pertanyaan itu, tapi dia cepat-cepat mengangguk. "Aman kalo itu, Ma."

"Jadi nginap kan?"

Yasmin melemparkan tatapan penuh tanya kepada Jati.

Sebenarnya, Jati mau nginap atau tidak sih?

"Ya udah. Boleh deh." Akhirnya Jati menjawab.

Perasaan Yasmin campur aduk.

Ini kan pertamakali dia tidur di kamar Jati?

Dia jadi penasaran, seperti apa kamarnya?

"Sejak menikah, Yasmin nggak pernah nginap di sini kan? Ini pertamakalinya?" Mama Anita bertanya untuk memastikan.

"Iya, belum pernah. Kemarin-kemarin sempat ke sini, tapi hanya lihat dari pintu aja."

Saat membuka pintu kamar, pandangan tidak akan langsung menuju ke tengah kamar. Karena setelah pintu, seingatnya ada lorong atau lekukan kecil yang menghalangi pandangan dari luar. Jati juga tidak pernah mengajaknya melihat-lihat isi kamarnya. Padahal sumpah mati, Yasmin penasaran. Dia merasa belum berhasil menjadi penggemar jika belum pernah masuk ke dalam kamar Jati.

Tidak berapa lama, papa masuk ke dalam ruang tengah, bergabung dengan mereka. Sekitar limabelas menit kemudian, mereka beranjak ke ruang makan yang berbatasan langsung dengan ruang TV.

Rumah Jati bergaya modern dengan sentuhan ornamen Jawa yang kental. Mama Anita berdarah Magelang- Manado-Belanda, sedangkan papa Ricky Betawi-Jawa-Tionghoa. Hal ini mungkin cukup menjelaskan mengapa paras mereka sekeluarga begitu rupawan dan sangat betah untuk dipandang tanpa bosan. Yasmin membayangkan bagaimana cantiknya, seandainya Jati memiliki saudara perempuan.

Atau jika mereka memiliki anak perempuan.

Ish.

Yasmin memerhatikan pelayan yang tengah menghidangkan beberapa jenis makanan tradisional khas Jawa. Dan sepertinya juga ada masakan Manado yang dikenalinya seperti ayam woku. Hidangan seperti Selat Solo, Mie Goreng Jawa dan Rawon seolah bersaing mengeluarkan aroma yang seketika menerbitkan rasa lapar.

"Sebelum datang, Janu sudah wanti-wanti minta dimasakin ini-itu. Jadilah sekarang meja penuh sama makanan," terang Mama Anita.

"Silahkan, Yasmin." Papa Ricky ikut bersuara, setelah sejak tadi menjadi pendengar yang baik. Katanya, kalau Mama Nita sudah mengobrol, dia sering tidak diberi kesempatan untuk nimbrung. Apalagi jika obrolannya sesama perempuan.

"Iya, Pa. Terima kasih." Yasmin mulai mengambilkan nasi untuk Jati, berikut lauk pelengkap. Jati memilih Rawon dan ayam woku.

"Yasmin nggak makan nasi?" tanya Mama Nita.

"Mau nyoba Selat Solo-nya dulu, Ma. Baru nyusul lauk yang dimakan pake nasi. Nanti bakal dapat giliran semua," jawab Yasmin. Dia tersenyum kepada Jati yang duduk di sampingnya sementara Jati hanya menunjukkan wajah datar sambil menikmati makanan.

"Nanti perutnya begah," gumam Jati.

"Kan makannya dikit-dikit aja," balas Yasmin cepat. Jati sekali lagi hanya meliriknya sekilas sebelum menikmati ayam wokunya.

"Gimana, Yas? Enak?" tanya Mama Nita.

"Enak banget."

Saat Yasmin tersenyum kepada Janu, Janu membalasnya dengan sopan. Yasmin lalu mencoba mengajak Janu mengobrol.

"Janu pinter banget pasti, makanya bisa keterima di FK."

"Kok kamu bisa tau?" Suara Jati terdengar heran.

"Kan Mama Nita pernah cerita, dan aku masih inget."

Janu mengangguk. "Biasa aja, Mbak. Nggak pinter banget."

"Janu memang gitu, suka merendah. Padahal kemarin juga diterima di PTN bergengsi. Tapi akhirnya milih di UPenn." Nada suara mama Nita terdengar ikut berbangga dengan prestasi anak bungsunya.

"Tapi kenapa sampai daftar di FK kalau akhirnya nggak diambil?" tanya Yasmin.

"Coba-coba aja, Mbak. Kemarin, aku taruhan sama teman. Siapa yang bisa lulus di FK, ditraktir trip ke New Zealand. Eh, ternyata sama-sama lulus."

"Jadi gimana kelanjutannya? Seharusnya kan kalian bisa pergi sama-sama?" Yasmin menanggapi.

"Udah sempat pergi kok kemarin. Bareng teman-teman yang lain juga."

"Waah pasti seru banget."

"Mbak Yasmin udah berapa kali ke New Zealand?"

"Dua kali."

"Mau dicukupin tiga kali? Bareng Mas Jati aja kalo gitu, Mbak. But he always busy. All the time. He doesn't know how to enjoy life." Janu mengucapkannya dengan santai.

"I know. No need to tell you how i enjoy my life, huh?"

Janu memasang ekspresi wajah tidak peduli sambil mengangkat kedua bahu. Agaknya, Jati dan adiknya cukup akrab, tapi juga tetap punya waktu banyak untuk beradu argumentasi.

Kali ini, barangkali mereka hanya sekadar bercanda, karena saat Yasmin menoleh kepada Jati, suaminya itu melempar gumpalan tisu kepada Janu.

"Mereka memang suka gitu. Abis, Janu suka usil sama kakaknya. Mungkin karena anak bungsu laki-laki ketemu anak sulung yang juga laki-laki. Apalagi, sama-sama keras kepala." Mama Nita mengucapkannya sambil tertawa.

Jati...keras kepala?

Apa iya?

Selama ini yang dilihat Yasmin dari Jati adalah sosoknya yang cuek dan cool. Tapi Yasmin tidak pernah melihat sisi lain Jati seperti yang dimaksud mamanya.

"Tapi kalau sama perempuan, nggak kok Mbak. Kelemahannya itu, sama perempuan suka gampang luluh. Pernah waktu SMA, katanya ada cewek yang nembak. Dia bilang, dia terima aja karena nggak tega. Curhatnya waktu aku masih kelas satu SMP. Ya mana ngerti urusan begitu?"

Jati memberi gestur mouth zipped.

"Too much information. Kenapa jadi ngomongin Mas?"

"Because sometimes you're too dumb to be in relationship."

What?

***

Jati menyusul masuk ke kamar dan menemukan Yasmin sedang melihat-lihat koleksi action figure tertata di atas rak buku. Yasmin sempat berbalik melihatnya, lalu kembali mengarahkan pandangan pada deretan koleksi buku-buku yang merupakan gabungan dari buku-buku kuliah dan literatur yang umum seperti buku bisnis dan beberapa buku fiksi impor.

Termasuk sebuah album foto.

Jati terlambat mengamankannya.

"Waah dapet harta karun nih," Yasmin mulai membuka-buka album. Lembaran pertama yang dilihat Yasmin, langsung membuatnya tertawa.

"So cute. Kelihatan bule banget di sini. Muka kamu juga nggak berubah. Pertanda nggak pernah mengalami masa glow up.Oh My God. You look so cute with that tiny cat."

"I love cat."

"Me too."

Jati membiarkan Yasmin membuka album lembar demi lembar hingga sampai pada foto pada jaman SMA.

"Aku inget waktu ini. Pas abis Pensi kan? Kak Tony yang fotoin nih."

"Hmm. Apakah salah satu dari cewek-cewek ini adalah gebetan?" tanya Yasmin tanpa maksud apa-apa selain iseng. Kalau pun Jati pernah punya gebetan atau pacar semasa sekolah, fakta itu tidak akan berarti apa-apa. Namanya juga masa lalu kan?

"Teman semua kalo itu."

Yasmin menutup album foto di pangkuannya, lalu berdiri untuk meletakkannya di tempat semula. Ketika dia kembali ke tempat tidur, Jati sudah berbaring di sisi sebelah kanan.

"Udah mau tidur?" tanya Yasmin. Obrolan mereka belum selesai, tapi Jati sudah bersiap-siap tidur. Jangan-jangan, Jati mau menghindari obrolan soal kisah asmaranya dulu.

"Capek," jawab Jati. Kedua matanya masih setengah terbuka.

"Ya udah kalo nggak mau ditanyain tentang masa lalu. Tapi masa aku ditinggal tidur?"

Helaan napas Jati terdengar. "Ngomong aja. Saya akan dengerin sampai tertidur."

Yasmin mengerucutkan bibir. Memangnya dia ini lagu pengantar tidur?

"Is that true?"

"Soal...,"

"Apa benar yang diomongin Janu?" Yasmin menyilangkan kedua kakinya yang menggantung di sisi tempat tidur. Dia dalam posisi duduk, kedua tangan ditopangkan di sisi kiri dan kanan.

"Blabbermouth. Annoying sibling." Jati menjawab singkat. "Lupain aja."

Kali ini, giliran Yasmin yang menghela napas berat.

"Menurut aku, kamu bukannya nggak pintar dalam menjalin hubungan. Mungkin kamu orangnya nggak tegaan. Terlalu baik sama orang sampai kamu takut menyakiti perasaan orang lain." Yasmin menyimpulkan. "Benar kan kata-kataku?"

"Mungkin."

"You're so kind, Kak."

"Kamu segampang itu memuji?"

Yasmin menaikkan kedua kakinya sehingga posisinya sekarang tengah duduk bersila. Dia memutar badan hingga kini menghadap Jati yang berbaring sambil menopangkan satu tangan di atas bantal.

"I've been admiring you for two years. I was following all news about you each day. Aku nggak pernah mau ketinggalan soal Kak Jati. Aku tahu dan paham karakter Kak Jati. Jadi aku cukup yakin, Kak Jati adalah orang baik. Aku memang nggak salah menyukai Kak Jati."

Setelah semenit, Jati masih terdiam. Yasmin mengerutkan kening.

"Apa aku salah ngomong?"

"Why me,Yasmin?" tanya Jati, kini pertanyaan itu semakin menambah jumlah kerutan di kening Yasmin.

"Because i want you and only want you. Aku nggak pernah bayangin menghabiskan hidupku dalam penyesalan karena nggak berjodoh sama Kak Jati. Tapi Tuhan Maha Baik. Ketika aku merasa udah nggak punya peluang, ternyata Kak Jati yang datang menghampiriku. Seperti mimpi yang jadi kenyataan."

Jati kembali terdiam.

"Aku nggak tau berapa lama lagi aku harus nunggu Kak Jati membalas perasaanku. Tapi aku harap, selama penantian ini, Kak Jati bisa pelan-pelan membuka hati untuk aku. Aku tau, cinta memang tidak bisa dipaksakan. Tapi yang aku pahami, cinta bisa datang karena terbiasa. Love comes out of habit. And i believe that."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro