PART 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PART 6


Mie Ramen?

"Is it okay?" tanya Jati yang sedang melepaskan seatbelt.

"Oke kok. Aku dari tadi mikir-mikir kamu mau makan di mana. Ternyata di sini."

Yasmin mengikuti gerakan Jati membuka seatbelt. Dirogohnya tas selempang Kate Spade mini, memeriksa isinya seperti ponsel dan dompet. Sekalipun Jati yang akan membayar makan malam mereka, Yasmin selalu merasa ganjil jika kemana-mana tidak membawa dompet dan ponsel, seolah dua benda itu harus selalu melekat padanya kemanapun pergi.

Jati menunggunya turun dari mobil, kemudian mereka melangkah masuk ke dalam restoran ramen yang malam itu cukup ramai pengunjung. Yasmin tidak paham apakah Jati sudah melakukan reservasi atau tidak. Rasanya akan awkward jika mereka sampai kehabisan tempat duduk. Dia tidak keberatan mengantri, tetapi lebih baik menghabiskan waktu di meja makan ketimbang menunggu sampai ada meja kosong.

Ternyata Jati berhenti di sebuah meja kosong dengan tulisan telah reservasi.

"Di sini nggak hanya jual ramen. Ada menu nasi juga kalau mau," ucap Jati sebelum mereka duduk. Pelayan langsung datang menghampiri mereka, dan Jati memberinya kesempatan untuk memesan lebih dulu.

"Aku udah pernah kok ke sini," terang Yasmin. Sebenarnya lebih suka makanan Jepang lainnya. Ramen bukan makanan kesukaannya. Tapi kalau Jati suka makanan itu...

"Aku mau coba ramen...yang ini," kata Yasmin lagi, menunjuk salah satu jenis ramen yang menurutnya cukup netral. Jati hanya tersenyum tipis kepadanya. Yasmin memesan satu porsi Chicken Katsu Don sebagai tindakan jaga-jaga, jika ramen yang dipesan tidak sesuai di lidah.

"Chicken Katsu, Toripaitan Ramen Shoyu Special. Minumnya, Yasmin?" Jati menyebutkan pesanan.

"Air mineral dan Green Tea."

Jati mengulangi pesanan mereka dan mengucapkan terima kasih sebelum pelayan berlalu dari hadapan mereka.

Yasmin menghela napas panjang dan membuangnya. Dia tersenyum senang bercampur gugup. Setelah fine dining sebulan lalu, ini kali kedua, mereka makan malam bersama di luar rumah. Dua versi yang sangat berbeda. Fine dining di restoran Italia, dan kini makan malam kasual di restoran ramen khas Jepang. Yasmin mencoba menebak, di restoran mana lagi di dinner ketiga.

Boleh kan dia berharap dinner kali ini akan berlanjut ke dinner selanjutnya.

Lalu tercetus sebuah gagasan.

"Dinner berikutnya aku aja yang nentuin tempatnya sekalian traktir. Gimana?" tanya Yasmin saat menunggu pesanan mereka.

Jati nampak sedang berpikir. Apakah ada kalimat Yasmin yang kurang pas?

"Jangan tersinggung. Aku lagi pengen traktir aja," terang Yasmin.

"Boleh. Kapan?"

"I always available, Kak. Tinggal kamu aja bisanya kapan?" jawab Yasmin

"Next Friday night? Karena Sabtu malam selalu ada undangan kan?"

"Oke kalo gitu."

***

Jati tidak tahu persis apakah percakapannya selama sejam lebih dengan Yasa di lokasi proyek ada hubungannya dengan tindakan impulsifnya membuat reservasi di restoran ramen kemudian mengajak Yasmin makan malam bersamanya. Atau mungkin karena Yasa dengan terang-terangan memintanya untuk memerhatikan Yasmin. Kata Yasa, adiknya itu adalah saudara yang paling disayanginya. Sejak kecil, mereka sangat akrab. Yasmin juga sudah pernah menceritakan tentang Yasa, termasuk sifatnya yang cukup protektif. Jati tidak mengenal Yasa sebelumnya karena meski Yasa bersekolah di SMA yang sama, usia Yasa terpaut lima tahun dengannya dan enam tahun dengan Yasmin.

Apakah Yasmin pernah bercerita tentang keadaan rumah tangga mereka, hal itu yang menjadi fokus pikiran saat itu, saat mereka tengah makan malam bersama. Jati bermaksud menanyakan hal tersebut sejak mereka meninggalkan rumah menuju restoran hingga saat mereka sudah berada di restoran. Tapi melihat Yasmin terlihat begitu senang karena ajakan makan malam itu, Jati pun mengurungkan niatnya.

Dia akan menunggu saat yang tepat untuk bertanya.

Kalaupun dia bertanya, Jati belum menemukan kata-kata yang tepat. Untuk memulai dari mana pun, dia belum tahu.

Atau bisa jadi, dilupakannya saja niatnya tersebut.

Apa untungnya menginterogasi Yasmin jika selama ini Yasmin pun tidak pernah menanyakan hal-hal yang mengganggu?

"Ternyata rasa ramennya cukup enak. Tapi aku nggak yakin bisa ngehabisin seporsi begini. Soalnya tadi keburu makan nasi. Udah kenyang banget." Yasmin menerangkan sambil mengelus perutnya.

"Nanti saya yang habiskan. Jangan dipaksa kalau udah kenyang banget."

Yasmin tidak berusaha mencegah Jati mengangkat mangkuk yang masih berisi setengah dan meletakkan di depannya, lalu mulai memakannya tanpa bicara apa-apa lagi.

Kalau begini kan dia jadi nggak enak hati.

"Maaf ya?" Yasmin tidak berani mengucapkannya dengan suara lebih nyaring.

Jati benar-benar tidak bicara sebelum dia selesai dengan menandaskan isi mangkuk ramen dan meminum air mineral dingin. Jati pasti sudah lebih kenyang dibandingkan dirinya. Seporsi yang dipesan Jati tadi itu sudah lumayan besar untuk dihabiskan masih ditambah lagi menghabiskan ramen pesanannya.

"Nggak apa-apa. Daripada mubazir."

Yasmin mengulurkan tisu yang dipakai Jati mengelap keringat juga menyeka sekitar mulutnya. Rasanya, tangannya sudah gatal ingin membantu mengelap keringat yang sempat mengucur di pelipis Jati.

Yasmin membayangkan bagaimana Jati berkeringat untuk kegiatan yang lain. Olahraga, misalnya.

Atau hal yang lainnya lagi. Bercinta, misalnya.

Ih, pasti seksi banget.

Gosh somebody help me to cleansing my dirty mind.

"Mau ke kamar mandi dulu atau mau langsung balik?"

"Maksudnya?" Lamunan Yasmin buyar seiring berakhirnya pertanyaan yang belum sempat dia terjemahkan dengan baik. Sampai Yasmin mengulangi dalam pikirannya sendiri, dan akhirnya mengerti.

Otaknya memang minta dibersihkan di kamar mandi.

"Nggak. Langsung balik aja. Udah jam berapa nih." Yasmin iseng melihat Chanel untuk mengalihkan perhatiannya dari wajah Jati.

Sebulan lagi seperti ini, entah akan sekotor apa pikirannya.

Godaan dalam wujud laki-laki yang kini tengah mengemudikan mobil di sampingnya sungguh sangat menyiksa.

Apakah Jati tidak menyadari hal itu?

Should she ask him?

Mana berani? Apa pantas seorang perempuan meminta? Sekalipun itu adalah bagian dari haknya sebagai seorang istri. Tapi apa iya, pantas meminta lebih dulu?

Yasmin menyelipkan rambut ke belakang telinganya.

"I wanna ask something."

"Tentang apa?" balas Jati sambil menolehnya sekilas.

"Mm, tentang...mm...,"

Yasmin berdehem lalu menelan ludah.

Ternyata tidak semudah yang dibayangkan.

Jati berbalik melihatnya lagi karena Yasmin malah tidak bicara apa-apa lagi.

"Nothing."

"You make me curious."

You too, Jati. You too. Not only curious. You make me crazy.

"Kapan-kapan deh diomongin," elak Yasmin. Dia enggan menimbulkan kegaduhan saat itu. Situasi dan kondisinya tidak tepat.

Hhh. Kayak dia berani aja buat ngomong!

"Di depan ada mini market. Mungkin kamu mau beli sesuatu." Jati sepertinya tidak tertarik untuk bertanya lagi. Jati memelankan mobil sebelum melintasi mini market yang dimaksud.

"Nggak deh. Udah mager banget nih. Bawaannya pengen tidur."

Mobil yang semula memelan, perlahan kembali dalam kecepatan rata-rata.

"Are you happy, Yasmin?"

Yasmin merapikan duduknya yang sempat melorot di kursi.

Happy for what?

Kenapa sih Jati suka ngomong setengah-setengah? Yasmin jadi sering harus mengklarifikasi setiap Jati bertanya.

"Happy to be with me."

"Absolutely i am. Amat sangat bahagia. Kak Jati kok tiba-tiba nanya gitu?"

"Curious."

He proposed me. What was he talking about?

"Tell me what you want from me."

***

"I want you."

Yasmin hanya mengatakan kalimat singkat itu sebagai jawaban. Jati seharusnya menunggu hingga mereka sampai di rumah untuk menanyakan hal tersebut, and straight to the point, Yasmin langsung mengemukakan jawaban itu. No need specific answer, karena Jati mengerti konteksnya.

He observed everytime Yasmin talks, looks and moves.

Yasmin always admires him.

Jika benar seperti yang ada di pikirannya, Jati tahu apa yang harus dilakukan.

Dia bukan laki-laki polos yang tidak tahu apa-apa tentang perasaan perempuan.

Malam itu sebelum tidur, Jati meluangkan waktu untuk mengobrol dengan Yasmin.

Almost three months.

"It's impossible for me to ask, Kak. Aku hanya ingin lebih diperhatikan. You know what i mean. Since i love you that much and we are in legal relationship, i want you to...,"

Yasmin tidak melanjutkan ucapannya dan malah menunduk memandangi jari-jarinya yang diletakkan di atas pangkuan.

"I feel bad, Yasmin."

"No, i'm fine, Kak. Aku ngerti kok. Yang kita butuhin cuma waktu. Aku juga nggak pengen buru-buru, takut nggak siap."

Jati menatap Yasmin ragu. Sebetulnya, ini pertamakali mereka mengobrol tentang hal ini. Normalnya, pasangan yang telah menikah akan melakukannya segera setelah menikah. At first night, honeymoon. Atau dalam rentang yang tidak begitu jauh setelah menikah. Menunggu dua sampai tiga bulan mungkin terasa cukup lama.

Tapi bagaimana jika dia sendiri belum menemukan motivasi yang kuat untuk akhirnya membuat keputusan melakukannya dengan Yasmin.

"Tapi kalo aku minta cium, boleh kan?" tanya Yasmin was-was.

Jati mengangguk pelan, lalu mengikuti melalui pandangan mata ke mana tatapan mata Yasmin terarah. Dia memilih maju lebih dulu, menyambut bibir Yasmin yang masih tertutup.

She wants to do it casually.

Slowly.

Calmly.

Damn. He kissed Yasmin Widyanata.

A most popular girl in their high school.

His junior.

His first crush that he never dared to tell.

Dan saat ciuman itu berakhir, Jati merasakan Yasmin mendekat, menyandarkan kepala di dadanya.

"I love you so much, Kak Jati."

What am i gonna say to you, Yasmin?

***

Their first kiss last night was amazing.

Sweet, soft, and smooth.

Untung saja mereka sedang duduk di atas tempat tidur, sehingga sensasi lutut lemas seperti jelly sehingga Yasmin tidak bisa menopang tubuhnya sendiri, tidak terjadi.

No tongue kiss.

Meski Yasmin juga cukup penasaran akan seperti apa jadinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro