PART 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PART 7


"Nggak ada yang menginginkan gue, Jati."

"Lo jangan ngomong gitu."

"Si Yasmin nolak gue, masa? Emang gue kurang ganteng dan tajir apa, coba? Apa gue mati aja ya baru dia nerima gue?"

"Cinta nggak bisa dipaksain."

"Abis ini, lo nggak boleh sampai dekat-dekat sama si Yasmin. Promise me."

"I promise."

***

"Morning routine."

Yasmin melingkarkan lengan di leher Jati sebelum berjinjit dan menempelkan bibirnya di bibir Jati. Perkembangan yang sangat pesat, karena rasanya baru semalam mereka berciuman, dan pagi itu, Yasmin sudah mengulangi apa yang mereka lakukan semalam.

Apakah Yasmin mengharapkan hal seperti ini terjadi setiap pagi?

Jati membalas senyum manis Yasmin dan menunggu sampai Yasmin menurunkan kedua tangannya yang sempat mendarat di kedua bahu Jati. Wajah Yasmin begitu cerah pagi itu.

"Hari ini aku mau ke kantor penerbit. Setelah itu, aku mau ke rumah Mama. Aku udah janji mau nemenin Mama di yayasan. Katanya abis itu, mau keliling-keliling entah ke mana. Mama super sibuk, banyak kegiatan. Kira-kira aku bisa nggak ya ngikutin kerjaan Mama yang sepadat itu?"

Kebiasaan Yasmin, merangkum beberapa kalimat dalam satu tarikan napas. Seolah takut akan terlupa satu hal, termasuk titik dan koma.

"Kalau sudah terbiasa, pasti bisa."

Yasmin menipiskan jarak di antara mereka, menyentuh kerah kemeja Jati dengan satu tangan, sedangkan tangan lain memegang kancing teratas kemejanya. Yasmin bersikap sangat manja setelah sekat di antara mereka sedikit terbuka.

"Seperti hubungan kita. Kalau sudah terbiasa, pasti bisa saling cinta." Kedua bola mata Yasmin menatapnya lekat. "Aku jadi punya alasan untuk bersemangat seharian ini setelah dopping ciuman tadi. Rasanya masih seperti mimpi."

But it is not. Sempat terlintas di benak Jati, hal yang sama. What they have done last night and this morning is real.

"And you know. I will always want you, Kak. I like the way you kiss me. Make me feel safe and warm. I feel loved by you, although you've never said those three magical words to me."

"Isn't this enough?"

Yasmin menggeleng. "Kenapa sih Kak Jati susah banget ngomong cinta ke aku?"

"I will."

"Kapan? Apa...kapan-kapan aja?"

Jati tidak menjawab. Sebaliknya, dia hanya memberikan senyum datar kepada Yasmin yang kini tengah memandangnya dengan rasa tidak puas. Yasmin lalu memindahkan fokus kedua matanya kepada kemeja abu-abu yang dikenakan Jati. Hari itu Jati hanya memakai kemeja dengan pantalon tanpa dasi. Penampilan owner tidak selalu harus formal dengan dasi dan setelan jas. Pengalaman bekerja bertahun-tahun dengan pakaian bebas namun rapi sudah menjadi style favoritnya.

Yasmin bergerak maju dan kembali meraih bibirnya. Jati tidak bisa menebak berapa lama sentuhan itu akan bertahan, jadi yang dilakukannya kali itu, hanya diam dan menunggu sampai Yasmin selesai menjelajahi bibirnya. Yasmin tidak memaksa membuka bibirnya untuk lebih memperdalam ciumannya, tetapi dari cara Yasmin meletakkan telapak tangannya di punggung Jati, mencengkeram permukaan kemeja, hingga menyelipkan jemarinya di sela-sela rambut Jati, Jati bisa merasakan betapa besar keinginan Yasmin untuk melakukan sesuatu yang lebih daripada ini.

Jati mengakui jika pertahanan dirinya cukup baik. Kendati interaksi kali ini cukup intim dan passionate, dia masih menahan diri untuk tidak memeluk pinggang Yasmin dan menggeretnya ke sofa terdekat dan memberikan apa yang Yasmin butuhkan.

Atau apa yang dia butuhkan.

Tapi jika hal itu dilakukan, rencananya untuk melakukan pendekatan terhadap Yasmin secara kasual, akan gagal. Dan mungkin saja, dia tidak akan merasa nyaman. Dia tidak ingin berakhir mempermalukan diri sendiri.

"Sorry, Kak." Yasmin tersenyum malu setelah ciuman mereka berakhir. "Don't worry. This type is waterproof."

Yasmin lalu menyebutkan sebuah merk lipstik. Sesuatu seperti Stila Stay something.

"Are you wearing it on purpose?"

Yasmin enggan menjawab dan malah tersenyum. "Kadang yang bikin laki-laki nggak nyaman sehabis ciuman itu ya sensasi lengket di bibir dan rasa aneh di lidah after taste. I just try to do my best on it. Yang aku pahami, kenyamanan itu adalah hal nomor satu dalam sebuah hubungan dan apapun yang terjadi di dalamnya. Termasuk kalo lagi...hmm, ngerti kan maksud aku, Kak?"

Jawaban Yasmin itu segera saja memunculkan desiran di dalam darah Jati. Istrinya ini memang cerdas dan prepare. Seharusnya kesan itu tidak berubah sejak dulu. Sewaktu SMA, Yasmin tidak hanya terkenal cantik dan kaya. Tapi juga cerdas dan luwes bergaul. Siswi lain yang cantik dan kaya sangat banyak, karena sekolah mereka memang salah satu sekolah swasta favorit dan salah satu SMA dengan uang pangkal dan iuran paling mahal di Jakarta. Yasmin Widyanata Hartadi is the richest and the most popular. Like, everybody loves her. Mulai dari guru-guru, teman sekelas, teman seangkatan, senior, junior, hingga tukang kebun sekolah. Yasmin adalah definisi kesempurnaan.

Jadi, jika seseorang bertanya bagaimana rasanya menjadi seseorang yang ditaksir Yasmin, Jati hanya bisa mengatakan dua hal. Blessed and honorable.

Sampai seseorang sempat mengatakan seperti ini. If Yasmin Widyanata isn't your ideal type then she is still your ideal type.

Tapi sekali lagi Jati menegaskan dalam dirinya. Waktu itu, dia hanya akan fokus dengan nilai akademik dan menyimpan perasaannya untuk sementara waktu, sampai dia telah siap dan andaikan dia masih diberikan kesempatan bertemu dengan Yasmin.

But it isn't easy. Bahkan sampai sekarang pun dia masih menyadari, apa yang dia lakukan sekarang masih belum sepenuhnya benar. Karena dia melanggar janjinya sendiri.

Seharusnya dia pergi sejauh-jauhnya dari Yasmin.

Tapi tidak bisa.

He likes Yasmin, okay. Jadi, Yasmin tidak sepenuhnya benar jika Yasmin berpikir dia merasakan perasaan itu sendiri. It's equal.

Jati hanya merasa terlalu malu untuk mengakui perasaannya sendiri.

Malu dan ragu, tepatnya.

"Udah rapi sih."

Jati membiarkan Yasmin memeriksa kerapian pakaiannya termasuk mengamati wajahnya.

Mengapa Yasmin harus se-cantik dan se-effortless ini? Tidak bisakah, sesekali wajahnya terlihat biasa-biasa saja?

"Kayaknya udah mulai numbuh banyak. Kak Jati udah berapa hari nggak shaving?"

"Lupa."

"Besok aku aja yang bantu shaving ya?"

No.

Just don't.

"Saya sendiri saja ya?" Jati memilih kata yang aman. Dia sudah bisa membayangkan sedekat apa interaksi mereka jika dia mengijinkan Yasmin melakukannya.

"Alasannya?"

"Alasannya, comfortable. Seperti yang kamu bilang, kalau kenyamanan adalah faktor paling penting dalam sebuah hubungan."

"I'll do it slowly. Nggak bakal lecet, pokoknya."

"Tetap tidak. Maybe one day, but not anytime soon."

"Ya udahlah."

Ekspresi wajah Yasmin berubah agak sendu sesaat, tapi berganti secepat itu pula.

Dalam kehidupannya, perempuan itu mungkin jarang menerima penolakan. Dia dikelilingi oleh orang-orang yang akan selalu memberikan apa yang dia butuhkan. Sayangnya, Jati merasa belum bisa memberi ruang lebih bagi Yasmin untuk memasuki hatinya lebih jauh, sesuatu yang Yasmin butuhkan darinya.

Masih ada waktu. Mereka bisa mendekatkan hubungan secara pelan-pelan.

Prinsipnya selalu sama.

Don't rush on anything. When the time is right, it'll happen.

Dalam hal ini mereka harus bisa berkompromi mengingat karakter Yasmin begitu berbeda dengan karakternya. Jika tidak bisa menyesuaikan ritme satu sama lain, maka yang terjadi adalah benturan-benturan kecil yang semakin lama akan menjadi bumerang bagi hubungan mereka.

Perasaannya kepada Yasmin adalah perasaan yang pernah ada, lalu coba ia hapuskan karena keadaan. He ever...not to mention, loved her. Move on. And then started new relationship with the other women, and finally came back and ended up marry her.

Keadaan ini serba tidak pasti dan yang Jati butuhkan hanya waktu untuk membuat segalanya menjadi pasti.

Dia hanya tidak ingin mengecewakan Yasmin yang susah payah mencintainya sejak dulu. It's a honorable for him. Tidak banyak orang yang sanggup mencintai orang yang sama dalam jangka waktu lebih dari sepuluh tahun.

If that isn't love then he doesn't know what is.

"Apa aku menginginkan terlalu banyak, Kak?" Yasmin bertanya dengan suara lirih. "Aku nggak pernah pengen bikin Kak Jati nggak nyaman hidup sama aku. Aku hanya pengen nunjukin perasaanku kepada Kak Jati. I'm sorry if i made you feel uncomfortable for all this time."

"No. You didn't."

No, Yasmin. Absolutely.

Tapi sorot mata Yasmin terlanjur redup oleh rasa sedih.

"Aku pergi dulu. Sampai jumpa malam nanti."

"Yasmin." Jati memanggil, bersamaan dengan gerakan tangannya menyentuh lengan Yasmin kemudian meraih jemarinya. "Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya? Saya nggak mau kamu salah paham dengan sikap saya selama ini ke kamu."

"Kak Jati nggak akan benci sama aku kan?"

"Nggak akan. Bukankah seharusnya saya yang nanyain pertanyaan itu ke kamu?"

Yasmin mengangguk-angguk.

"Aku berangkat dulu."

"Chat atau telepon kalau sudah sampai di rumah Mama," kata Jati.

Ekspresi wajah Yasmin sudah lebih baik dari sebelumnya. Buktinya, kini Yasmin tersenyum lebar.

"Iya. I'll call you, Kak. Jangan dimatiin ponselnya."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro