5-Balas Dendam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terik mentari hari ini terasa cukup panas. Siswa-siswi yang sedang berolahraga selama tiga puluh menit mulai mengeluarkan keluhan seraya menghapus titik-titik keringat di dahi. Hal serupa juga dilakukan Aras. Remaja yang kini rambutnya lepek karena keringat memilih beristirahat di bawah pohon pinggir lapangan.

Aras membuang napas panjang seraya berselonjor. Dia melirik kiri-kanan, memperhatikan teman-temannya. Dia kembali teringat buku harian dan keluhan Senja tentang Farhana. Ngomong-ngomong soal pacaranya, dia belum melihatnya pagi ini.

"Aras!"

Baru saja Aras memikirkan gadis itu, Senja sudah muncul di sampingnya dan membuatnya terkejut. Aras berdecak jengkel. Hampir saja dia mengacak rambut Senja, tetapi tangannya berhenti di udara lalu mengepal.

"Kok gak dielus?" protes Senja.

Aras mendongak seraya memeluk lutut. Sekarang dia berharap bisa berkomunikasi lewat tatapan mata dengan Senja. Bagaimanapun juga, dia harus berhati-hati. Aras tidak mau ketahuan bicara sendiri.

"Aras! Gue gak suka lo nyuekin gue. Lo--"

"Kok baru nongol? Abis ketemu selingkuhan lo? Sesama arwah?" Akhirnya Aras memutuskan berbicara, meski harus menutup mulut seperti pada saat menguap.

Senja membulatkan mata, tangannya kontan menepuk agak keras belakang kepala Aras. Senja selalu melakukan itu ketika kesal dengan cowok itu. Orang yang dipukul malah cengegesan sambil menyembunyikan wajah di antara lutut.

"Jangan salahin gue kalau gue beneran selingkuh!"

Aras kembali tersenyum, kali ini tepat menghadap Senja. "Yakin pengen berpaling ke orang lain? Masa pacar ganteng kayak gue didepak. Ada yang salah sama mata lo."

Senja tertunduk sambil tersenyum pilu. "Mau gak mau gue harus berpaling, Ras. Kita gak bisa terus sama-sama."

Aras berdecak. Dia sedang tidak minat membahas perpisahan sekarang mengingat tulisan Senja. Ada beberapa hal yang harus dia lakukan untuk memberi hukuman ke Farhana dan membersihkan nama Senja.

Mereka gak tau gimana rasanya dituduh. Gara-gara Farhana, peringkat gue turun. Emang ada yang salah kalau nilai ujian gue selalu sempurana? Ada yang salah kalau gue ambisius? Gue berjuang untuk diri sendiri. Gue berjuang karena pengen hidup seperti yang gue perjuangin. Tapi kenapa Farhana tega ngelakuin ini semua? Dia buat gue mati harapan.

"Mati harapan. Mati harapan pengen buat lo bunuh diri, Ja?" bisik Aras ketika mengingat kembali tulisan Senja.

Senja ikut menatap langit. Dulu dia sering seperti ini bersama Aras. "Gue gak ingat maksud gue nulis kayak gitu apa, Ras. Kemarin gue cuma ingat kejadian Farhana nuduh gue. Tapi, gue yakin bukan dia yang bunuh gue."

"Kenapa?"

"Karena Farhana selalu berhasil membuat orang-orang benci ke gue. Dia gak pernah gagal jelek-jelekin gue, dan itu cukup buat dia."

Aras terdiam, memikirkan baik-baik ucapan Senja. Benar, menjelek-jelekkan Senja cukup buat Farhana.

"Kamu ngomong sama siapa?" Suara itu sontak membuat Aras dan Senja menengok ke sumber suara.

Aras menggaruk kepala, bingung harus menjawab apa. Sebenarnya dia ingin jujur kepada Haifa tentang keberadaan Senja. Hanya saja dia takut gadis itu tidak percaya. Bukan tanpa alasan dia ingin membocorkan kehadiran Senja kepada Haifa. Bisa jadi Haifa dapat membantunya memecahkan kematian Senja.

"Bilang aja kalau gue ada di sini, Ras. Gue senang banget kalau Haifa tau. Meskipun gue gak bisa lihat dia, setidaknya lo bisa nyampein kalimat gue ke Haifa."

Cowok itu menatap Senja penuh pertimbangan, membuat Haifa semakin mengerutkan kening. Setelah berpikir sebentar, dia mengangguk.

"Ikut gue," ajak Aras. Dia memutuskan mengajak Senja dan Haifa ke Kawasan Hijau. Setelah tiba, Aras menatap Haifa di depannya dan Senja di sebelah kanan gadis itu yang sedari tadi tersenyum.

"Fa, di sebelah kanan lo ada Senja." Aras memperhatikan ekspresi datar Haifa. Gadis itu memang selalu terlihat datar.

Tanpa banyak bicara, Haifa balik kanan sambil tersenyum tipis. Dia selalu tersenyum seperti itu setiap kali mendengar cerita Senja. Namun, kali ini dia tidak akan pernah mendengarkan celotehan teman sebangkunya lagi. Dia rindu. Dari seisi kelas, hanya Senja saja yang berminat bergaul dengan cewek datar dan tidak banyak bicara sepertinya.

"Senja, aku ... aku kangen dengar suara kamu." Haifa berujar lirih, air matanya mengalir deras. "Kamu bisa dengar aku, kan? Aku kangen kamu." Tangisannya semakin terdengar memilukkan. Dia berjongkok, enggan memperlihatkan wajah penuh rasa bersalah. "Maafin aku, Senja. Aku gak pernah bisa belain kamu."

Aras memejam, tidak tega melihat pemandangan di depan matanya. Senja memeluk Haifa sambil menangis. Aras bisa mendengar lirihan Senja yang mengatakan kalau Haifa tidak salah apa-apa.

"Fa, Senja bilang lo gak salah, jangan minta maaf."

Haifa menggeleng. "Ngak. Aku salah. Aku cuma bisa diam liat Senja dituduh, liat Senja nangis, dan cuma bisa jadi pendengar dia. Aku minta maaf."

"Haifa, lo gak salah apa-apa. Gue malah bersyukur karena gue punya teman yang siap sedia jadi pendengar." Senja belum mau melepaskan pelukannya.

"Lo ngerasa sesak gak, Fa? Soalnya Senja meluk lo," ujar Aras.

Haifa semakin menangis. "Aku juga pengen meluk kamu. Aku gak pernah meluk kamu, Senja."

Acara sedih-sedihan itu terpotong ketika suara Farhana dan kedua temannya terdengar di koridor Kawasan Hijau. Aras segera membantu Senja dan Haifa berdiri untuk bersembunyi. Otaknya berputar cepat ketika mendengar suara Farhana. Bisa jadi gadis itu ingin merencanakan aksi menyontek lagi.

Aras mengeluarkan ponsel dan menyetel kamera. Dia harus mempunyai bukti untuk memberi pelajaran Farhana. Sebelum aksinya diinterupsi dua gadis di belakangnya, Aras memberi kode lewat tangan agar tidak bersuara. Namun, itu tidak berlaku bagi Senja.

"Lo ngapaian, Ras? Jangan aneh-aneh."

"Diam, Ja." Aras menggeram. Dia harus membuktikan kali ini bahwa Farhana tidak berhak menggantikan posisi Senja di kelas.

Farhana meraih kertas dari tangan gadis berambut pendek. Dia tersenyum sambil membaca isi kertas. "Ulangan harian hari ini pasti lancar."

"Iya, dong. Ingat, tetap hati-hati. Gue capek ngerangkum materi buat nyontek hari ini," peringat Yasmin.

Farhana tertawa. "Tenang aja. Kita bertiga udah pro masalah ginian. Pokoknya hari ini berhasil."

"Eh gimana kalau Aras ternyata ngebongkar rencana kita, Na?" Yasmin menengok kiri-kanan, mencari kehadiran seseorang.

"Tenang aja. Gue yakin Aras gak gitu. Buktinya dia gak pernah cari gara-gara kayak Senja, kan? Paling kemarin dia cuma ngegertak doang karena masih gak terima Senja bunuh diri."

Dari balik pohon, Aras meremas ponselnya. Dia hampir melompat ke hadapan gadis itu andai saja tidak diingatkan Senja.

"Gue harus buat perhitungan buat mereka." Aras memegang erat gawainya. Sebentar lagi dia akan menghancurkan mereka seperti mereka menghancurkan Senja.

"Kamu yakin pengen balas dendam sama Farhana? Kamu gak takut dijauhi teman-teman?" bisik Haifa.

Aras tersenyum miring. "Kita lihat setelah ini siapa yang bakalan dijauhi."

***

Ujian baru saja selesai. Aras melihat senyum Farhana dan kedua temannya mengembang, terlihat puas setelah berhasil menjawab soal karena menyontek. Aras menyesal baru memperhatikan gadis itu sekarang. Farhana begitu mudah melihat sontekan di bawah meja lantas ketika selesai, dia menyerahkan kertas itu ke temannya.

Sikap Farhana membuatnya membenci metode ganjil-genap presensi saat ujian. Pantas saja Senja selalu melihat Farhana menyontek. Senja, Farhana, dan kedua temannya ada di urutan presensi genap, golongan peserta ujian yang masuk lebih dulu, sedangkan dia dan Haifa berada di urutan ganjil, masuk ruangan setelah golongan peserta genap selesai. Bodohnya Aras karena meragukan ucapan Senja kala itu.

Hari ini dia menyaksikan semuanya. Karena kepergian Senja, nomor urutnya berubah genap. Sayangnya, dia tidak bisa mengambil foto ketika kejadian itu berlangsung. Semua ponsel dikumpul di meja guru. Akan tetapi, tidak masalah. Aras punya video tadi.

Sebelum guru mata pelajaran berikutnya muncul, Aras buru-buru mengejar guru Sejarah yang baru saja berbelok dan masuk ruang guru. Tanpa peduli larangan Senja dan tatapan khawatir Haifa, dia ikut masuk ke sana.

"Ada apa, Aras?" Pak Herman mengernyit ketika anak didiknya muncul di depannya dengan ponsel di pegang erat.

"Saya pengen ngelaporin tindakan curang siswa peringkat 1 di kelas saya, Pak," ucap Aras dengan tegas seraya menyerahkan ponsel.

Pak Herman semakin bingung. Dia meraih ponsel Aras dan memutar video setelah anak didiknya meminta untuk melihat video itu. Lengang sejenak, hanya suara di ponsel itu yang mengisi gendang telinga. Pak Herman mencari kertas ujian Farhana, Yasmin, dan Jihan, menyamakan jawaban ketiga siswanya. Memang letak titik dan komanya berbeda, tetapi diksi yang digunakan hampir sama.

"Saya gak terima, Pak. Ada orang yang udah mati-matian belajar dan mendapat nilai sempurna dulunya, tapi malah dituduh curang oleh orang yang menuduh sebenarnya yang curang." Aras berkata penuh penekanan, mencoba mengingatkan gurunya tentang kejadian Senja dulu.

"Tenang, Aras. Biar Bapak yang urus mereka bertiga."

"Gimana sama Senja, Pak? Dia udah dicap tukang nyontek karena mereka." Aras belum mau mundur. Senja yang sedari tadi berdiri di sampingnya hanya bisa menatap sedih.

Pak Herman mengangguk, menepuk pundak Aras sekali. "Kamu tenang, Aras. Bapak akan mengurus ini semua."

"Saya mau nama Senja bersih dan mereka bertiga dihukum, Pak."

"Iya, Aras. Bapak pastikan mereka akan dihukum. Kamu tenang, ya. Sekarang kembali ke kelas."

Aras membuang napas jengkel. Dia ingin Farhana dan kedua temannya segera dipanggil. Namun, untuk menghindari keributan, dia memilih kembali ke kelas tanpa berkata sepatah kata pun. Dia bahkan tidak peduli Senja yang sedari tadi diam dan tidak cerewet seperti biasanya.

***
10 November 2022
Jumkat: 1447

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro