Padmasana - Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat membaca...


Padmasana 4 – Malika Amaryllis Keiran

https://www.youtube.com/watch?v=L7TN0hyONjw

Play list - A Million Dream (P!nk version)


Suasana di pintu kedatangan internasional bandara Soekarno Hatta terlihat lebih padat dibanding hari biasanya. Sudah memasuki musim liburan. Terlihat dari banyaknya turis asing maupun domestik yang datang mengunjungi Indonesia. Tak luput dengan seorang gadis berkulit putih pucat –karena terlalu lama di Jerman- yang tengah menyeret koper hitam besarnya menuju keluar area bandara.

Dia adalah putri dari pasangan Bagaskara Candiva dan Ayushita Maharani, pemilik yayasan panti asuhan dan panti jompo yang menyebar di seluruh nusantara. Terlihat sekali raut wajah bahagia menyelimuti diri Ary –begitu ia dipanggil- karena kepulangannya kali ini tidak untuk pergi lagi. Ya, dia sudah lulus S2 dari Ludwig Maximillian University di Jerman. Sarjana psikologi yang akan mengabdikan dirinya kepada mereka yang membutuhkan tempat untuk menumpahkan segala sesuatunya.

Bukan tanpa sebab Ary memilih jurusan ini. Sewaktu ia duduk di bangku kelas 10 SMU N 1 Yogyakarta, Ary diajak untuk terjun langsung ke salah satu panti jompo yang dikelola oleh orang tuanya. Dari situ Ary mencoba memahami, bahwa mereka yang "dititipkan" oleh keluarganya di sana tidak semata-mata hanya membutuhkan tempat dan orang untuk merawatnya. Melainkan hal yang lebih dalam lagi.

Kasih sayang dan sedikit waktu untuk mengobrol bersama mereka adalah hal mewah yang sudah langka untuk mereka dapatkan. Sekadar menelepon untuk bertanya kabar. Apakah sudah makan? Bagaimana kegiatan hari ini? Apakah mendapat teman cerita yang baru? Atau hal-hal kecil lainnya, sudah menonton sinetron apa saja hari ini, misalnya. Itu sudah sangat berarti bagi mereka. Tidak melulu tentang kemewahan, hanya sekadar perhatian kecil di sisa waktu mereka menikmati hidup.

Tak mudah memang untuk dapat memahami alur pemikiran para penghuni panti, oleh sebab itu panti memperkerjakan tenaga ahli dan profesional untuk merawat mereka. Termasuk kunjungan rutin para dokter spesialis untuk pengecekan kesehatan para penghuni panti.

Semenjak kejadian hari itu, dalam hati Ary bertekad untuk dapat kuliah di kedokteran dan mengambil profesi psikiatri. Cukup lama Ary memendam cita-citanya, hingga waktunya tiba untuk memilih universitas dan jurusan saat kuliah, Ary memberanikan diri mengutarakannya kepada Bagas dan Ayu.

Respon yang mereka berikan di luar dugaan. Ary yang semula takut akan ditolak, justru mendapatkan dukungan terbaik untuk keinginannya tersebut. Tak tanggung-tanggung, bahkan Ary langsung dikirim ke Jerman usai lulus dari SMU untuk meneruskan pendidikan di sana. Dan hari ini, untuk pertama kalinya setelah hampir 8 tahun ia merantau ke Jerman, Ary pulang dengan kegembiraan.

"Sudah lama Ayah menungguku?" Sapanya ketika melihat sosok Bagas dan Ayu di luar pintu kedatangan manca negara.

Sumringah senyum yang Bagas dan Ayu berikan untuk Ary, merupakan hal sangat ia rindukan. "Tidak cukup lama dibanding penantian Ayah dan Ibumu selama 8 tahun ini," ujar Bagas usai memeluk putri semata wayangnya.

"Ibu bagaimana kesehatannya? Apakah masih kontrol rutin?" Tanya Ary ketika bersua dengan sang ibunda.

"Apakah sekarang Ibu mempunyai dokter pribadi?" Timpalnya dengan senyuman lebar yang membuat suasana semakin hangat.

Ary hanya memeluk erat tubuh mungil sang ibu. Mencoba menyalurkan seluruh kebahagiaan yang sudah lama terpendam.

"Aku lapar. Bolehkan aku makan sushi sebelum terbang lagi ke Yogyakarta?" rengeknya ketika mereka sudah bersama dalam mobil.

"Kenapa sushi? Apakah kamu tidak kangen dengan masakan ibu?"

"Apakah penerbangan ke Yogyakarta tidak jadi malam ini?"

"Tentu saja. Kita akan berangkat dengan mobil besuk pagi selepas subuh. Ayahmu bersikeras ingin menempuh perjalanan darat. Padahal ibu sudah melarangnya berulang kali. Tetapi memang dasar ayahmu, mana bisa ditolak?" Sindir Bu Ayu dengan gaya khasnya yang selalu mempesona di mata Pak Bagas.

"Kenapa tidak kamu saja yang naik pesawat dan kami akan menunggu di Kulon Progo?"

"Kamu rela melepaskanku sendirian naik pesawat?"

"Kenapa tidak? Aku bisa –"

"Apa? Kamu mau apa?" teriak Bu Ayu dengan melirik tajam ke Arah Pak Bagas ditambah jemari yang siap mengambil sejumput daging dari tubuh sang suami.

"Kenapa kalian tidak merencanakan untuk menambah momongan saja? Agaknya aku akan gembira jika punya satu saja adik laki-laki," timpal Ary. Melihat perilaku kedua orang tuanya yang selalu menggemaskan.

"Kamu beneran mau, Ary?" itu suara Pak Bagas dengan semangatnya yang masih membara.

"Kenapa tidak?" tantang Ary. Karena ia tahu, ibunya tidak akan semudah itu mengabulkannya.

"Pabrik ibu sudah tutup sejak 25 tahun yang lalu," jawab ibu dengan tangan menyilang di dada dan muka masam tak menyenangkan.

Serentak tawa pecah di dalam mobil. Baik Ary maupun Pak Bagas kompak dengan ledekan dan sindiran masing-masing. Sangat menyenangkan saat bisa menggoda ibu. Sudah lama sekali rasanya merasakan momen hangat seperti ini. Terakhir saat Ary pulang 2,5 tahun yang lalu saat ia selesai wisuda S1 dan akan melanjutkan ke program pascasarjana.

"Jika Ayah masih menginginkan satu anak lagi, boleh saja. Dengan syarat –"

"Apa? Ayah tidak salah dengar? Jadi ayah boleh menikah lagi?" gurau ayah untuk kembali menggoda ibu. Selalu topik ini yang akan mereka angkat ketika kami menyinggung tentang keturunan. Sejak kelahiranku, Ibu bersikeras untuk tidak mau nambah momongan lagi. Trauma katanya. Karena waktu itu ibu sempat terkena baby blues syndrom yang hebat. Sampai mendiang kakek dan nenek membawa ibu ke psikiatri.

Tidak mudah memang menjadi seorang ibu muda. Bahkan waktu itu usia ibu masih 20 tahun ketika aku lahir. Bisa dibayangkan betapa stresnya ibu waktu itu. Memang pernikahan ayah dan ibu adalah sebuah perjodohan. Awalnya mereka tidak saling kenal dan tidak saling cinta. Dua tahun pernikahan mereka berjalan, keturunan tak jua diperoleh. Karena baik ibu maupun ayah masih belum bisa bersatu sepenuhnya. Hingga menginjak tahun ketiga, barulah mereka saling menyadari satu sama lain, bahwa rasa cinta itu ternyata sudah bercokol kuat bahkan ketika mereka pertama kali bertemu. Hanya saja, mereka sama-sama belum menyadari akan hal itu.

Hingga saat ayah berdinas ke Papua untuk meninjau pembangunan salah satu yayasan di sana. Ayah pergi selama seminggu. Dan selama itu pula ibu uring-uringan enggak jelas. Karena pada waktu itu model komunikasi belum secanggih seperti saat ini. Hanya mengandalkan surat menyurat dan telegram. Ibu bahkan tidak tahu bagaimana caranya mengirimkan telegram.

Saat akhirnya ayah pulang, ibu menangis tersedu kala menyambutnya. Dan dari situlah mereka mengetahui bahwa cinta itu telah bersemi. Bahkan sudah bercokol kuat dalam sanubari. Dan akhirnya, lahirlah diriku.

"Memangnya ibu berkata apa?" sarkas ibu.

"Tadi ibu bilang kalau ayah boleh punya anak lagi. Sedangkan ibu sudah tidak ingin melahirkan. Bukankah berarti itu ayah boleh menikah lagi?" sepasang alis hitam tebal yang sudah berhias rambut putih itu naik turun dengan genitnya.

"Dengarkan dulu kalimat ibu hingga selesai!"

"Sudah-sudah. Ary nyesel udah bicara soal adik. Ayah buruan dong, nyetirnya. Enggak dengar suara cacing dalam perut Ary, apa?" akhirnya Ary bersuara untuk melerai pertengkaran unfaedah dan tak bertepi antara ayah dan ibunya. Menyenangkan memang mempunyai orang tua seperti mereka. Tetapi kalau tidak dilerai, bisa kebablasan. Beruntung selama Ary tinggal di Jerman, mereka selalu akur dan penuh dengan kasih sayang.

Setelah membersihkan diri dan beristirahat sebentar, Ary turun ke lantai bawah untuk menikmati makan malam bersama. Ibu sudah memasak sayur lodeh lengkap dengan tempe garit goreng dan ikan asin. Tak lupa satu toples kerupuk menjadi penyempurna hidangan sederhana yang selalu Ary rindukan.

"Waaaa, Ibu tahu banget Ary kangen makan sayur lodeh," ucapnya ketika sampaidi meja makan dan bersiap untuk duduk.

"Sekarang kamu bisa makan sepuasmu. Apapun yang ingin kamu makan. Selama Ibu bisa memasaknya dan bahannya pun tersedia di pasar lokal,"

"Ary tidak akan membuat Ibu serepot itu. Percuma saja 8 tahun hidup sendiri di negeri orang kalau enggak belajar memasak. Yaa, meski enggak seenak masakan Ibu, setidaknya bisa menghemat uang jajanku dan tentunya lebih sehat karena semua bahannya terjamin kualitas maupun kebersihannya."

"Apakah selama ini uang saku yang Ayah beri kurang? Kenapa tidak bilang?" Sela ayah di tengah obrolan tentang topik masak dan makanan.

"Bukan begitu maksud Ary, Yah. Uang yang Ayah kirim setiap bulan lebih dari cukup. Bahkan Ary bisa menabung. Tapi kan ga selalu Ary makan masakan restoran, Yah." Buru-buru Ary menjelaskan agar tidak terjadi kesalah-pahaman.

"Ayahmu terlalu khawatir akan hidupmu di sana. Tetapi sekarang kami yakin, bahwa anak gadis Ibu ini sudah menjelma menjadi wanita hebat," Puji Ibu.

Selama 8 tahun di Jerman, kehidupan Ary menjadi luar biasa. Dia yang dulunya anak manja yang apa-apa harus ibu, menjelma menjadi wanita dewasa dan mandiri. Memang di awal Ary mengajukan permintaan untuk kuliah di kodekteran, didukung oleh ayah dan ibunya. Namun tetap saja, pemikiran orang tua selalu bercabang ketika anaknya sudah benar pergi merantau. Apakah anaknya sudah makan? Bagaimana kehidupan sekitarnya? Apakah ia nyaman dnegan iklimnya? Dan sederet kekhawatiran lain yang selalu menghantui pemikiran para orang tua.

Namun Ary mampu meyakinkan kedua orang tuanya bahwa ia baik-baik saja. Ia bisa beradaptasi dengan cepat, baik tentang cuacanya maupun dengan lingkungan sekitarnya. Beruntungnya Ary mendapatkan lingkungan yang sehat, tidak banyak pencopet maupun gelandangan di sepanjang jalan yang ia lewati.

Pukul 8 malam saat mereka menyelesaikan makan malam bersama. Biasanya, mereka akan melanjutkan dengan obrolan ringan di ruang tengah hingga pukul 10, bahkan lebih. Namun untuk kali ini, Ary meminta izin untuk istirahat lebih awal. Penerbangan yang panjang, membuatnya ingin tidur lebih awal.

"Ary, ada yang ingin Ayah bicarakan. Sebentar saja, bisa?" pinta ayah ketika Ary bersiap untuk naik ke lantai 2.

Mendengar permintaan sang ayah, Ary urung untuk naik. Ia kembali turun dan duduk di sofa ruang tengah, di sebelah kanan ayah dan ibunya.

"Besok saja, kan, bisa, Yah. Aru terlihat capek sekali," pinta ibu kala melihat wajah Ary yang lesu. Agaknya Ary terserang jet lag. Padahal tadi sewaktu makan bersama, Ary terlihat sumringah. Efek makan berat mungkin memunculkan rasa kantuk yang semakin menjadi.

"Enggak apa-apa, Bu. Mungkin ini penting. Ary masih tahan, kok," jawabnya sambil menguap.

"Besok saja, deh. pas kamu udah seger. Istirahat sana, tidak tega Ayah lihatnya. Bukan hal penting juga,"

"Isshh, ayah bikin Ary penasaran. Tapi karena Ary sangat mengantuk sekali, kali ini Ary mohon izin untuk tidur duluan. Malam, Yah, Bu."

Ary naik ke lantai 2 dnegan pemikiran yang bercabang. Ayah mau bicara soal apa? Kenapa enggak jadi? Ah, sudahlah. Aku ngantuk sekali. Seluruh sel saraf di otakku rasanya sudah tidur semua. Bye, dunia.


Bonus pict..

Wang Yibo as Zayn Mahendra

Zhang Huiwen as Malika Amaryllis Keiran

Terima kasih sudah sampai sini. Love kalian semua🤗🤗

Ketjup sayang,
Jurnallin.

30 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro