Padmasana - Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat membaca. Bab ini panjang, hampir duarebu kata. semoga kalian bisa terhanyut dengan kisah Zayn di bab ini. Selamat menikmati...


Padmasana 7 – Perjumpaan

https://www.youtube.com/watch?v=FrOLeoXrvLU

Play list - Running [Gayo - ost. START UP]

Zayn baik-baik saja. Dia hanya merasakan sesuatu yang asing dalam hidupnya. Aroma yang unik namun luar biasa memicu indera Zayn untuk dapat mendekatinya. Zayn sadar, ini salah. Mereka baru pertama kali jumpa, tetapi rasanya sudah saling lama mengenal. Rasanya pernah meneguk rakus aroma ini hingga ia tak bisa kembali lagi. Kenapa harus punya clairtangency yang merepotkan ini? Gerutunya.

Memang bagi Zayn, ia tersiksa dengan bakat yang ia miliki. Ia sangat sensitif terhadap segala bau yang ia temui. Bahkan, dulu ia pernah meramalkan akan terjadi bada hebat yang tentu saja semua orang menganggapnya sebuah lelucon. Tetapi tidak bagi Zayn. Ia menghidu berbagai aroma dari pepohonan yang seakan memberitahunya bakal terjadi badai. Benar saja, selang 30 menit setelah Zayn berucap, badai datang menerjang. Kakek yang mengetahui keunikan dari Zayn hanya tersenyum melihat cucunya bisa meramal kejadian alam sedahsyat itu.

Sejak hari itu, beberapa orang datang untuk menanyakan sesuatu di luar nalar. Seperti ramalan cuaca hari ini hingga warna apa yang cocok dipakai untuk membawa keberuntungan pada hari itu. Mitos sekali. Tidak ada sangkut – paut antara warna yang dipakai dengan keberuntungan pada hari itu. Yang ada, sejauh mana usaha yang kamu lakukan sejauh itu pula hasil yang kamu dapatkan. Kalaupun mendapat sesuatu yang bagus yang diluar perkiraan kita, itu adalah bonus.

Sore ini Zayn kembali menghidu aroma unik yang belum pernah ia jumpai. Aroma yang membuatnya ingin terus mendekatinya. Selalu bersama tak pernah ingin berpisah. Dan juga irama detak jantungnya menjadi cepat seiring sosok ayu yang kian mendekat. Tak kira seberapa dingin dan basah telapak tangannya. "Mas Zayn baik-baik saja?" tanya Andika di sela-sela lamunan Zayn tentang sosok ayu itu.

Zayn yang tengah hanyut dalam lamunan berjengit saat mendengar suara Andika tepat di telinga kirinya. "Ah, kamu. Bikin kau kaget saja," jawabnya sewot.

"Lagian dari tadi saya panggil, Mas Zayn enggak nyaut. Itu mata tak lepas dari nona dari seberang," lanjut Andika meledek.

"Sekentara itukah?" jawabnya.

Andika tak sempat memberi jawaban atas pertanyaan Zayn tersebut. Keburu datang si gadis ayu. Dan pastinya Zayn akan terus terpaku kepadanya.

Sosok ayu nan keibuan itu mendekat dengan langkah yang sangat anggun. Rambut ikal sebatas punggung yang dibiarkan tergerai menari indah meliuk mengikuti setiap langkahnya. Aroma harum dari shampo yang mahal menguar mengikuti. Zayn kembali melayang ke sebuah taman yang penuh dengan bunga tropis. Dan aroma air yang meluncur dari sisi tebing semakin membuat pikiran rileks. Zayn memejamkan mata, menikmati setiap sensasi yang membuai sanubari. Hingga tanpa sadar gadis itu sudah mengulurkan sebelah tangannya untuk berkenalan.

Zayn tereprangah menyadari jika dia baru saja berhalusinasi. Dengan segala yang Zayn miliki, entah kenapa hari ini ia mudah terbawa sensasi. Dasar halu! Makinya dalam hati.

"Ah, maaf. Perkenalkan saya Zayn, mewakili Pak Wirama yang kebetulan tidak bisa menghadiri acara sore hari ini," jawab Zayn mantab. Meski sempat terperangah sepersekian detik.

"Oh, Pak Wirama yang tempo hari sempat berkunjung ke sini?" tanya Si gadis lebih kepada kedua orang tuanya.

"Ya. Zayn ini yang selalu diceritakan oleh beliau dalam setiap pertemuan kami," jawab Pak Bagas.

"Saya Amaryllis. Panggil saja Ary, biar lebih enak." Ucap si gadis untuk menyapa salam Zayn.

Amaryllis. Nama yang bagus. Seperti aroma yang selalu menguar di tubuhnya. Ternyata gadis ini mempunyai nama sebuah bunga yang sangat indah dan banyak dinanti ketika musim penghujan tiba.

Mereka berjabat tangan. Hanya sebentar, karena Zayn merasakan gelitik yang luar biasa di telapak tangannya. "Ah, maaf. Saya belum terbiasa untuk tampil di depan umum. Maafkan apabila banyak kekeliruan." Ucapnya tiba-tiba.

Entah untuk apa, rasanya Zayn merasa harus mengatakannya. Dia sendiri bingung dengan reaksi yang tubuhnya alami. Jantungnya seperti ingin keluar dari rongga dada. Juga napasnya yang tiba-tiba memburu tak keruan. Semakin menambah sesak aliran napas yang ia masukkan ke paru-paru.

"Maaf, boleh saya permisi sebentar?" pamit Zayn.

"Mas baik-baik saja, kan" tanya Andika khawatir melihat Zayn yang tiba-tiba pucat. "Mari saya antar ke taman,". Dan begitu saja mereka meninggalkan aula tempat Pak Bagas dan keluarga besar penghuni panti. Raut bingung jelas terpancar di wajah setiap insang yang ada di sana.

Zayn tidak tahu kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini. Seumu-umur ia tak pernah merasakan sesak yang sangat. Apalagi dengan kinerja jantungnya yang berlebihan. Dahulu saat presentasi ujian skripsi di depan dekan dan dosen pembimbing, ia santai saja. Bahkan bisa jawab setiap pertanyaan dengan lancar, kadang malah sembari berguarau. Tetapi kenapa hari ini seperti ini? Apa yang salah dengannya?

"Duduk di sini dulu, Mas. Apa perlu saya mintakan sesuatu kepada pengurus panti?" nada khawatir dalam setiap kata yang keluar dari mulut Andika sangat kental. Zayn yang memilih untuk memejamkan mata sebentar, tak jua menjawab pertanyaan itu.

"Tidak usah. Sebentar saja, aku ingin istirahat. Rasanya seperti terkurung dalam ruangan sempit yang minim udarta. Dik, aman enggak aku buka masker? Sesak."

Andika mengangguk saja. Melihat tuannya yang susah payah meraup sebanmyak mungkin udara mke dalam paru-paru, membuat Andika miris. Menderita sekali kelihatannya. Dan itu terjadi sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu.

Wajah Zayn cukup tampan bila tak memakai masker. Kulit putih yang ia dapatkan dari mendiang ibu juga wajah oriental dari keluarga Wiratama memberikan kesempurnaan rupa yang Zayn punya.

Andika berani bertaruh, setiap kaum hawa yang melihat Zayn, pasti akan langsung tergila-gila. Apalagi melihat postur tubuhnya yang ramping dan tegap serta sedikit berotot di beberapa bagian, semakin membuat air liur menetes tiap kali melihatnya. Namun Tuhan Maha Adil. Di balik kesempurnaan pahatannya, Ia beri sesuatu untuk membuatnya seimbang. Zayn harus mengenakan masker di setiap kegiatan yang ia lakukan. Beruntung saat ini kondisi pandemi yang mengharuskan semua menggunakan masker saat bepergian. Jadi Zayn tidak terlihat "aneh" di mata semua orang.

Dahulu sebelum masa pandmei, tiap kali orang melihat Zayn, tatapan pertama yang mereka berikan adalah tatapan menghakimi. Bukan mendamba seperti sekarang. Sungguh miris dengan pemikiran mereka semua.

"Aku baik-baik saja. Hanya butuh sedikit ruang untuk mengirup udara segar. Rasnaya tadi jantungku mau lepas. Kamu pernah merasakannya, Dik?" Ucap Zayn dengan masih bersandar pada kursi panjang taman dan mata yang terpejam. Andika yang tidak tahu bagaimana menjawabnya, masih terdiam memikirkan kata apa yang akan ia gunakan.

"Emm, saya belum pernah berada di situasi Mas Zayn. Jadi mohon maaf, saya tidak tahu bagaimana rasanya. Pasti menyiksa sekali." Diplomatis saja.

Zayn tahu, bawahannya ini akan menjawab demikian. Zayn sendiri juga bingung bagaimana untuk mendiskripsikannya. Ia mengingat-ingat setiap kejadian yang pernah ia alami sebelumnya. Rasanya tak pernah merasakan sesak yang sangat. Pernah ia mencium aroma pengharum mobil yang banyak di jual di pasaran, menyengat memang. Namun tak sampai membuatnya sesak dan lemah. Entahlah.

Zayn masih menikmati sejuknya udara di bawah pohon bungur. Semilir angin yang membawa kabar bahwa mentari akan memberikan lembayung senja yang indah membuatnya tersenyum. Juga semilir aroma lembut yang mampir ke hidungnya. Aroma ini yang beberapa menit lalu membuatnya terbuai. Apakah –

"Hai, boleh saya duduk di sini?" Suara lembut mendayu menyapa telinga Zayn. Andika sudah berdiri hormat di samping kursi, sedangkan Zayn baru membuka mata dengan tangan yang masih bersedekap dan masker yang terbuka. Sontak ia duduk tegap dan berusaha memakai kembali maskernya.

"Kalau masih sesak, dipakai saja. Saya akan duduk berjauhan, kalau perlu saya akan bawa kursi sendiri. Aman kok." Ucap Ary mengantisipasi.

"Tidak apa-apa. Silakan duduk di sini saja. Biar Andika yang kembali ke dalam." Jawab Zayn dengan sedikit melirik ke arah bawahannya.

Andika yang mnegerti akan kode tersebut, segera menyingkir masuk ke dalam aula. Di mana Pak Bagas, Bu Ayu dan seluruh pengurus panti sedang menunggunya. Andika tersenyum mengetahui sikap atasannya. Ah, ternyata ini.

"Apakah kamu baik-baik saja? Saya lihat tadi wajahmu sempat pucat. Sekarang sudah terlihat membaik. Di buka saja maskernya, rasanya sesak sekali, ya?" Tanya Ary berusahamengawali obrolan di antara mereka.

Zayn mengangguk. Masih bingung dengan reaksi tubuhnya. Saat ini ia beruasaha mnegatur napas agar jantungnya tak berulah. Gagal. Sejak aroma sandalwood menyapa inderanya, jantungnya sudah berdisko ria. Hei, kalian norak sekali.

"Saya sudah terbiasa seperti ini. Mungkin tadi saya sedikit capek karena perjalanan yang belum terbiasa saya lewati."

"Mau istirahat di kamar? Ada satu kamar yang disedikan untuk tamu. Bersih, kok." Tawar Ary.

"Terima kasih. Di sini saja sudah cukup."

Canggung sekali rasanya. Sekelebat wajah Rebecca muncul di benak Zayn. Kenapa pula dengan wanita itu?

"Dulu saat saya masih kecil, Oma pernah mengajak naik gondola di Swiis. Saat itu sedang musim salju, tetapi banyak turis yang antre untuk naik gondola. Sebenarnya saya takut dengan ketinggian. Membayangkan berada di tempat setinggi itu dengan hanya seutas tali yang menjadi pengaman itu membuat saya mual. Saya lebih menyukai bermain salju atau ice skating. Namun, Oma bersikeras akan menjagaku saat di atas. Oma juga bilang bahwa pemandangan pegunungan Alpen sangat indah di musim salju, apalagi kalau kita melihatnya dengan naik gondola dan berkeliling. Sayang sudah jauh-jauh ke Swiss kalau tidak mencicipi sensasi naik gondola. Saya tetap tidak mau dan berlari menjauh. Sampai Ayah dan Ibu membujuk saya dengan berbagai macam hal."

Zayn menikmati cerita dari Ary. Dia menunggu kelanjutan ceritanya. Zayn menoleh ke arah Ary, karena tak jua mendengar kelanjutannya. Ia kaget, alih-alih bercerita, Ary justru memandangnya dengan pandangan yang Zayn tak bisa tebak. Anehnya, justru membuat hati Zayn hangat dan lega secara bersamaan. Ia pun balas tersenyum. "Terus?" tanyanya. Menuntut kelanjutan kisah yang menggantung.

Ary masih tetap tersenyum. Berusaha menyentuh tangan Zayn yang berada di atas bangku.

"Saya akhirnya menuruti keinginan Oma dan semuanya. Berusaha melawan ketakutan akan ketinggian. Meski mual luar biasa, tetapi Oma konsisten dengan ucapannya. Ia menjagaku, mendekapku, dan menyalurkan keberaniannya kepadaku. Dan saat saya mencoba membuka mata, saya takjub. Benar kata Oma, pemandangan pegunungan Alpen sungguh luar biasa. Akhirnya saya ketagihan. Ya, meski rasa mual masih menyerang, tetapi sudah tak separah dulu." Ary menutup kisahnya dengan senyum terkembang mengenang moment itu.

"Masih banyak sebenarnya moment kebersamaan kami. Oma yang selalu di depan untuk membantuku melawan setiap ketakutanku."

Ary mengubah posisi menghadap Zayn. Dan Zayn yang ditatap sedemikian intens, kembali gugup bukan main. Ia tidak takut. Ia berani. Tetapi, ya, ga gini juga, to?!

Zayn berdeham. Tiba-tiba ia merasa tenggorokannya sangat kering. Tetapi tidak ingin minum. Ia membalas tatpan intens yang Ary berikan. Pun dengan posisi duduknya yang sudah menghadap Ary. Lho? Iya, Zayn salting hari ini.

"Kamu hebat, bisa melawan rasa takut itu. Dan terima kasih untuk ceritanya. Kamu luar biasa." Ungkap Zayn. Kok rasanya ia mengakhiri percakapan ini. Padahal Zayn masih ingin bercerita panjang lebar dengan Ary.

Zayn beniat untuk kembali menggunakan maskernya. Sudah cukup lama ia bertahan dengan hidung telanjang. "Jangan dipakai, begini lebih enak dipandang." Tiba-tiba saja tangan Ary sudah menyentuh tangan Zayn yang bersiap untuk memakai masker.

Sentuhan hangat dan nyaman itu membuat Zayn membeku. Kok ada sengatan listrik? Batin Zayn. "Kenapa?" sahutnya.

"Kenapa apanya? Soal ini? Ya, saya suka saja melihat wajahmu yang minim ekspresi itu." Jawab Ary lugas.

Dasar, ya, gadis ini blak-blakkan sekali. Besar di mana, sih? Bukan hanya kali ini saja Zayn bertemu dengan perempuan yang agresif. Ya, memang selalu seperti itu tiap kali ada perempuan yang melihat wajah aslinya yang tanpa masker. Bikin klepek-klepek katanya. Huh! Zayn melengos dengan menahan senyum. Rasanya aneh sekali. Ary ternyata jago dalam mencairkan suasana.

"Jangan ditahan. Lepaskan saja senyummu itu. Pasti makin cakep," godanya.

Zayn yang memang sudah tergoda, kemudian tersenyum lepas. Benar-benar lepas. Pun Ary juga mengikuti apa yang Zayn lakukan. Mereka sama-sama tersenyum lepas dan saling pandang. Tatapan yang mengunci satu sama lain. Di dasar jiwa Zayn, terdengar bunyi "klik" yang tak Zayn pahami. Seperti suara gembok yang terkunci.

Selama beberapa detik mereka saling tatap dan saling melempar senyum. Tanpa sadar banyak pasang mata yang menyaksikannya. Dan mereka ikut bahagia karena hal itu. Tanpa perlu bersusah payah, alam sudah bergerak untuk membawa keduanya.


Hallo, terima kasih sudah bertahan sampai di sini.

Bonus nih, karakter Zayn yang muka telanjang🤣🤣

Cakep tak?

Selamat malam. Semoga mimpiin Zayn. Hihihi,

Salam,
Jurnallin.
19 Januari 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro