2. Silver Lining

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| Part 2 | E-Jazzy | 1260 words |

| #RAWSBestfriend Short Story |

| RAWSCommunity |

_________________________________

Di sorot cahaya terang

Tiada jalan pulang

Dalam malang

Kau temui keindahan

"MEREKA MASIH anak-anak dulunya—mengatai satu sama lain curang, tetapi tetap saja bermain bersama; memelihara boneka Barbie untuk digunduli atau didandani sampai menyerupai setan wanita; menggosip tentang sesuatu yang bahkan tidak mereka pahami. Begitu beranjak remaja, ketiganya jadi jarang saling tegur. Kadang hanya saling melempar senyum canggung saat berpapasan."

"Dan ketiganya malah bertingkah seperti singa betina yang kerasukan hanya karena sebiji nangka?"

"Waktu berlalu, Bocah, dan para gadis kecil telah bertumbuh menjadi setan wanita—maksudku, menjadi boneka barbie yang pernah mereka dandani. Mereka lebih peduli untuk membuktikan diri dengan suatu trofi ketimbang kualitas yang mereka miliki di dalam; kualitas semacam kepintaran, keramahan, dan kedewasaan."

"Tapi Juni punya kedewasaan, Eva itu pintar, dan Ven memiliki ... eh, entahlah. Apa yang dimiliki cewek api itu?"

"Tentu saja mereka punya kualitas masing-masing, bahkan Ven! Tapi mereka mengesampingkan itu semua. Tanpa mereka sadari, mereka malah meninggalkan orang yang paling peduli, yakni satu sama lain."

Juni pangling saat tahu sosok pemuda dengan rompi hitam dan kemeja putih itu adalah Paris. Pemuda gagah dengan Sihir Tumbuhan itu adalah orang yang sama dengan bocah lelaki berjubah kotor sedekade lalu.

"Memang kaukira aku selamanya bocah pendek berjubah gosong?"

Juni memutar bola matanya. "Satu hal yang tidak berubah—kau masih tidak sopan. Jadi, bagaimana bisa Kurin sepertimu jadi Anak Sihir?"

"Nyonya Adiv mengadopsiku," jawab Paris. Matanya biru kelam menusuk, lebih dalam dari tatapan Eva, lebih tajam dari pelototan Ven, dan menangkap lebih banyak cahaya dibandingkan mata Juni sendiri. Juni tak pernah menyadari ini karena sepuluh tahun lalu Paris amat dekil, tetapi pemuda itu sangat tampan dengan rambut tersisir ke belakang dan seringai sarkastisnya.

Semak di sisi mereka bergerisik, dan keluarlah sesosok gadis bertubuh ramping dengan seragam—rompi, kemeja, rok, legging, dan sepatu bot rendah—serba kelabu.

"Eva." Juni seolah hendak melompati pagar kayu dan lari. "Kenapa—?"

"Ini hari ujianku juga," jawab Eva dingin. Matanya lalu menangkap Paris. "Siapa ini?"

"Oh, bukan siapa-siapa. Aku hanya pohon ek berwajah manusia yang kebetulan punya tangan dan kaki. Abaikan saja aku, Nona-nona."

"Paris," dengus Eva yang langsung mengenalinya. "Jadi, benar, desas-desus di asrama? Mereka telah mematenkan Adopsi Sihir terhadap Kurin?"

Dari ujung jalan kecil yang diapit oleh pagar tembok penuh tumbuhan merambat, aura panas membakar mendekat. Lantas muncullah Ven dengan seragam serba merah dan bahu rompinya yang terbakar api oranye. Senyum tipisnya terulas.

Juni memandangi langit mendung di atasnya. "Ini pasti disengaja!"

Mereka berempat saling memunggungi, memandangi tiap sudut dengan awas. Tembok-tembok tinggi penuh sulur yang hidup membentang di sisi Ven, pagar kayu di sekitar Juni berkeriut dan sesekali menyerpih, membentuk formasi cucuk-cucuk yang siap menghujam di udara, semak belukar menguarkan aroma yang membuat Eva nyaris pingsan, dan tanah terus bergolak di bawah kaki Paris seolah mencari celah untuk menelannya.

"Kalau tahu ujian sihir sama dengan ajang mati konyol, mending aku jadi Kurin saja sampai mati," keluh Paris.

"Setidaknya kau bakal lebih dihargai kalau jadi Anak Sihir," kata Eva.

"Dan bisa mendapatkan apa pun yang kau mau dengan lebih mudah," tambah Juni.

"Dan hidupmu lebih terjamin," pungkas Ven. Salah satu sulur menyasarnya, tetapi Ven membakarnya habis dengan satu jentikan jari. Pada jentikan jari kedua, apinya padam. "Memang kalau jadi Kurin, kau bakal kerja apa?"

"Mengurus Kawan."

"Siapa?" tanya ketiga gadis itu bersamaan.

Pagar kayu menyerpih lagi, membentuk formasi duri-duri di udara. Juni melibas semuanya dengan sihir cahayanya, tetapi duri-duri itu justru menyebar ke balik semak, tumbuhan sulur, dan tanah di bawah kaki mereka.

"Kawan, Anak Sihir Nyonya Adiv, yang acara pengadopsiannya kalian kacaukan sepuluh tahun lalu!" Paris meloncat saat tanah memadat dan membentuk cengkraman tangan di pergelangan kakinya. "Sungguh kacau anak itu! Hanya karena dia diadopsi lebih dulu, dia berlagak seperti seorang kakak—menyuruh-nyuruhku seperti bos besar!"

Eva membuat tanah di dekat kakinya merekah, lalu memunculkan gelombang air yang menyiram semak bau di dekatnya. Aroma tidak sedap lenyap selama beberapa saat, tetapi semak-semak itu dengan cepat mengeringkan diri dan kembali membuat mata Eva berair dengan busuknya.

"Tapi, kudengar Kawan adalah Anak Sihir yang, em, apa istilahnya, ya?" Eva berdecak-decak. Tangannya masih berusaha mengendalikan air di sekitarnya, menyiram bau busuk sebanyak mungkin. "Berbeda? Prematur?"

"Iya," lirih Paris, nyaris tidak terdengar. "Dia hampir tidak punya sihir dalam dirinya, sering melupakan segala hal, dan daya hidupnya tipis. Para tabib memprediksi, umurnya hanya sampai 10 tahun. Perjanjianku dengan Nyonya Adiv, aku hanya akan mengurusnya sampai umur itu, entah dia bertahan atau tidak. Setelahnya, aku boleh menerima uang pensiun."

"Kau mau hidup dengan cara rendahan itu?!" hardik Juni.

Sihir api Ven padam seketika. Bibirnya bergetar, "Ta, tapi, itu artinya minggu depan—"

"Ulang tahunnya yang ke-10. Hari terakhirnya juga." Paris mengulurkan tangan, mencengkram sulur yang mencoba menjerat wajah Ven saat gadis itu lengah. "Hari terakhirku terjebak dalam dunia sihir yang dipenuhi orang-orang seperti kalian."

"Berhentilah mengobrol, Anak-anak!"

Terdengar suara menggema Tuan Lymia. Keempat Anak Sihir itu mendongak, seolah menunggu seorang pria dewasa jatuh dari langit.

"Ini ujian akhir kalian agar menjadi Penyihir! Ayo, selesaikanlah!" Yang ini suara Nyonya Adiv. "Dan, Paris! Tidak ada uang pensiun kalau kau tidak menyelesaikan ujian ini!"

"Ibu!" Paris memeloti langit mendung. "Kau meninggalkan Kawan sendirian di rumah, ya?"

"Oh, tidak, Nak! Kawan Ibu bawa. Orangnya ada di sini!"

"Paris!" Suara melengking anak laki-laki membelah langit seperti petir. "Beruntung nian kau, Sobat! Dikelilingi tiga perempuan cantik begitu!"

"Kawan, Sayang! Jangan melompat-lompat di atas panel itu nanti kau—" Di tengah ucapan Nyonya Adiv, langit kelabu seolah menyobek dirinya, dan jatuhlah seorang bocah laki-laki ke arena Ujian Sihir Akhir. "—jatuh .... KAWAN!"

Kawan menyongsong maut di usia 9 tahun 11 bulan 23 harinya dengan teriakan, "Wiiiiii!"

Paris melupakan tanah-tanah dan semak bau, lalu melompat untuk menangkap kakak—atau adik?—nya. Dari telapak tangan pemuda itu, tumbuhlah beledu yang memanjang dan melebar dengan kecepatan luar biasa, membuat bantalan untuk tempat Kawan mendarat.

Berita baiknya, Kawan selamat. Bocah itu terbahak kencang sampai terbatuk-batuk, "Ayo, sekali lagi, Bung!"

Berita buruknya, tanah hidup berhasil mencengkram Paris sampai kepinggang, dan sebelah tangan kirinya tersangkut di semak bau. Aroma busuk membuat pemuda itu tak berkutik hingga matanya nyaris berputar ke atas.

Eva membuat ombak besar dan menyiram Paris bersama semak dan tanah, tetapi sulur di tembok yang lelah bermain dengan Ven kini malah mengincarnya. Salah satu sulur menjerat tangannya, lalu kakinya. Serpihan kayu menggores pipinya. Tumbuhan itu menarik dan mendorongnya hingga baju Eva tersangkut ke salah satu semak yang mengurung Paris.

Ven mencoba membakar sulur dan semak, tetapi Juni menghentikannya. "Kau bisa membakar Eva dan Paris juga!"

"Juni!" teriak Eva saat salah satu sulur mencoba membekap mulutnya. "Cahaya! Sulur-sulur hidup ini takut cahaya!"

Juni mengangguk paham dan menerangi separuh arena dengan cahaya putih dari tangannya, tetapi sulur-sulur itu hanya melambat. Malah, sulur yang terlindung dari balik bayang-bayang tembok mulai merayap di tanah dan menjerat kaki Ven. Gadis itu memekik saat badannya tergantung terbalik.

"Lebih terang!" beri tahu Eva.

"Kalian bisa jadi buta!" Juni memperingatkan.

Eva menjangkau ke samping untuk menutup mata Paris dan Kawan yang sama-sama tergolek tidak berdaya, lalu menutup matanya sendiri rapat-rapat, yang diteladani oleh Ven.

Ven memekik dengan suara goyah, "Sudah! Ayo, butakan kami!"

Seluruh tubuh Juni menyala. Bola matanya bahkan berubah keemasan. Gadis itu meledak bagai supernova, berdoa dalam hati bahwa panel-panel dalam ruang kendali ujian sihir mampu melindungi Tuan Lymia dan Nyonya Adiv dari kebutaan permanen—lebih bagus lagi kalau keduanya bertindak pintar dengan memalingkan muka.

Sulur-sulur lenyap menjadi asap. Semak bau mengerut selama beberapa saat dan tanah pun berhenti bertingkah.

Suara Tuan Lymia menggelegar di langit. "Itu anak-anakku!"

"Anak-anakku juga!" Nyonya Adiv terdengar bangga. "Itu! Yang pingsan itu!"

"Lalu, Tuan Lymia dan Nyonya Adiv berangkulan. Orang asing akan memandang mereka sebagai sejoli, sedangkan orang yang mengenal mereka cukup lama pastilah tahu bahwa keduanya sudah seperti saudara. Karena begitulah persahabatan—bisa berasal dari hubungan apa saja dan bisa menjadi akar dari segala hubungan lainnya."

"Mereka bahkan tidak malu terhadap satu sama lain, ya? Walau Nyonya Adiv agak, em, aneh. Dan Tuan Lymia terlalu lembek."

"Oh, itulah gunanya seorang sahabat, Bocah. Mengeluh tentang kekurangan kawanmu, tetapi tetap setia dan tidak beranjak dari sisi satu sama lain."    

End of Part 2

Komentar (dalam bentuk apa pun) dari Anda sekalian akan sangat memotivasi

Menekan bintang di bawah ini takkan membuat Anda kehilangan jari

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro