3. Bronze Angel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| Part 3 | E-Jazzy | 1175 words |

#RAWSBestfriend Short Story |

| RAWSCommunity |

_________________________________

Bukan sulap, bukan sihir

Yang tamak, yang congkak, yang kikir

Bencana ditimpakan pada mereka

Yang sempat terlena oleh nangka raksasa

PARIS TERBANGUN saat Eva menyiramnya dengan air asin.

"Bocah kurang a—" Paris menghentikan dirinya saat menyadari bahwa para gadis mengepungnya dan Kawan menyengir di sisinya. Segera saja Paris mengusap wajahnya yang basah dengan malu. "A, aku kira, Kawan mengencingi wajahku lagi."

"Lagi?!" Ven terpekik.

"Eh, sampai di mana kita?" Paris buru-buru bangkit dan menelaah keadaan sekitar.

Mereka berada di atas batu yang begitu tinggi hingga langit mendung seolah terlihat begitu dekat. Mereka semua basah kuyup dengan ujung seragam yang agak gosong dan terasa aneh karena suhu dari cahaya Juni. Jauh di bawah, sulur-sulur sudah menghilang, tetapi semak bau berusaha memanjat naik ke puncak batu, dibantu oleh gelombang tanah hidup yang berusaha mengangkat semak-semak itu ke atas. Mereka sudah setengah jalan menuju ke atas.

"Patung malaikat," gumam Eva. "Kita harus mencari patung malaikat dan menemukan sesuatu yang tersimpan di dalamnya, maka ujian ini akan berakhir."

Ven mengeluh, "Aku tidak bisa mengingat sedikit pun instruksi ujian ini."

"Aku hanya ingat separuh," kata Juni.

Kawan menceletuk, "Paris bahkan tidak membaca instruksinya dan memutuskan tidur lebih awal semalam."

Paris memberi tatapan tutup mulut pada Kawan.

Juni mengernyit. "Bagaimana kau hidup selama ini? Keberuntungan?"

Paris mengangkat bahunya dan menjawab sambil lalu, "Tuhan sayang padaku. Orang sepertiku selalu panjang umur."

Seolah tersadar akan ucapannya, Paris buru-buru menggigit lidahnya sendiri. Matanya melirik tidak nyaman pada Kawan, yang ekspresi wajahnya mengeruh. Namun, itu hanya berlangsung sesaat—Kawan kembali mengulas cengiran jailnya dan berlagak memantau keadaan sekitar.

"Jadi, ke mana kita mesti cari patung malaikat?" tanya bocah itu.

Semua mata memandangi Eva penuh harap.

"Kita mencari patung perunggu," kata Eva. "Malaikat wanita yang duduk bersimpuh. Karena menurut instruksi kita harus masuk lewat terowongan di ibu jari kakinya, berarti patung itu tingginya pasti seperti bangunan sepuluh lantai."

"Masuk ke jempol kaki seorang wanita perunggu," gumam Paris. "Sungguh menyenangkan."

"Hei, teman-teman." Ven menginjak-injakkan kakinya ke permukaan batu. "Bagaimana caranya kita naik ke atas sini tadi?"

"Gelombang airku membawa kita ke sini," jawab Eva. "Aku melihat permukaan yang tinggi, jadi aku menyasarnya."

Ven tampak berpikir selama beberapa saat seraya memandang ke bawah. "Tidakkah menurut kalian, batu ini terlalu besar dan berlekuk untuk sebuah batu biasa?"

Mereka buru-buru melongok ke bawah dan memerhatikan dengan lebih saksama. Mengabaikan semak dan tanah yang menggila, batu ini memang berbentuk seperti dipahat ....

"Ini patungnya!" Eva menjerit seraya memeluk Ven sampai keduanya melompat-lompat.

Kaki-kaki yang melonjak itu kemudian menggelincir di atas rambut perunggu sang malaikat. Barangkali, si patung hanya tidak menyenangi kepalanya diinjak-injak sejak tadi.

Segalanya terjadi begitu cepat dan beruntun. Ven dan Eva jatuh lebih dulu. Juni yang mencoba menarik mereka ikut terperosok. Melihat para gadis itu jatuh massal, Kawan memutuskan untuk ikut melompat. "Wiiiii!" teriaknya.

Paris memandangi ujung kepala patung, di mana semua teman ujiannya menghilang. "Yang benar saja!"

Lalu, dia pun terjun menyusul.

Semak bau menyambut dan tanah bergolak di sekeliling mereka. Bahkan dengan sihir air Eva dan sihir cahaya Juni, semak-semak itu nyaris tidak bisa dihentikan. Air dan cahaya—para semak dan tanah justru kegirangan dengan kombinasi Juni dan Eva.

"Bakar akarnya!" bentak Paris. Semua orang nyaris melupakan bahwa sang mantan Kurin sekarang adalah Penyihir Tanaman. Walau properti dalam arena ujian sudah dimantrai agar tidak bisa dikendalikan oleh Paris, tetapi dia tetap memahami mereka.

"Bagaimana?" pekik Ven.

Wajah Paris memerah karena bau busuk semak. "Pakai api, Venus!"

"Tapi kita nggak punya korek api," tangisnya.

"Ya, Tuhan!" gerung Paris. "Kau itu penyihir apa?!"

"Oh, ya." Ven teringat. Mata gadis itu menyala merah muda dan ujung-ujung rambutnya mulai berasap, lalu terbakar seperti obor.

Api tidak langsung membakar mereka semua, tetapi berjatuhan dalam bentuk titik-titik api kecil yang menghanguskan dedaunan dan ranting ke bawah hingga membentuk lubang di semak. Api merayap turun sampai ke tanah, sesekali menjalar dan menyasar tempat yang salah. Alis Paris terbakar sebelah dan siku seragam Juni gosong.

Semak menghitam dari bawah dan berhenti mencoba membunuh mereka semua.

Diikuti Kawan, keempat peserta ujian menyongsong jempol kaki si wanita perunggu.

Mereka menemukan sebuah peti besar di lorong di bagian dalam patung. Dalam keremangan cahaya dari rambut pirang Juni, Paris tersenyum lebar dan membuka peti. Namun, senyumnya turun saat melihat apa yang ada di dalam.

Paris mengangkat Golden Jack ke atas peti, membuat seisi lorong senyap.

"Untuk yang terkuat, bertahan hingga akhir." Paris membaca tulisan pada permukaan emas buah raksasa itu. "Kurasa, hal yang memulai pertikaian ini mesti menyelesaikannya juga. Silakan kalau kalian mau mulai saling bunuh untuk buah nangka, Nona-nona."

Ketiga gadis itu saling berpandangan, lalu mengangguk satu sama lain.

"Bukannya sudah sangat jelas?" Juni mengangkat Golden Jack, lantas memberikannya pada Kawan. "Untuk yang terkuat. Yang bertahan, bahkan tanpa kekuatan sihir, sampai akhir."

"Uwoh!" Kawan berdecak kagum. Dia menatap Paris, seolah bertanya apakah ini sudah benar.

"Kau pantas, Bocah." Paris mengangguk. "Jangan pedulikan apa kata para tabib. Kau yang terkuat. Kau bisa melalui ulang tahun yang ke-10."

Kawan terkekeh-kekeh, tersaruk mundur oleh beban Nangka Emas. Melihat Kawan yang bergerak seperti orang mabuk, Paris berharap dirinya tidak tampak sekonyol itu sepuluh tahun lalu saat membawa Nangka Emas.

"Aku ...." Eva berdeham seraya melirik Juni. "Aku minta maaf. Aku tidak akan bisa bertahan sejauh ini tanpamu. Seharusnya, aku tidak egois dulu. Golden Jack itu memilihmu."

Wajah Juni seolah hendak menangis. "Tidak. Aku yang minta maaf. Aku akan gagal sejak hari pertama jika bukan karenamu. Dan atas semua bantuanmu itu ... memang tidak pernah ada sekadar kata 'terima kasih' yang kau terima. Maaf, dan terima kasih, Eva."

Ven terbatuk dengan suara keras.

Juni dan Eva buru-buru menabrak Ven, lalu mendekapnya erat-erat. Menahan isakan, Juni berbisik, "Tentu saja hidup kami takkan berwarna tanpamu, Venus."

Eva mengangguk dengan dagu yang menumpu di bahu Ven. "Aku dan Juni barangkali sudah saling bunuh jika tidak memandang dirimu."

Kawan masih menjerit tertawa-tawa. "Aku nggak ingat kenapa dan bagaimana bisa aku berada di sini atau apa yang sebenarnya terjadi, tapi buah ini keren banget!"

"Ya, ya." Paris bersandar pada dinding lorong sambil bersedekap. "Hanya pohon ek yang ada di sini, kebetulan punya wajah dan tangan dan kaki—abaikan saja dan teruslah kalian berangkulan, atau berdansa dengan Nangka Emas raksasa."

Venus menyeringai. "Oh, jangan sensitif begitu! Kau pun teman kami, Paris!"

Paris tidak mengantisipasi saat, dengan ringannya, Venus memeluk dirinya. Rangkulan itu dirangkap oleh Eva dan Juni sampai-sampai pemuda itu tidak bisa merasakan wajahnya lagi.

"Sekadar mengingatkan," gumam Paris kaku. "Aku laki-laki."

Ven menggeleng. "Tidak terasa demikian."

"Kalau dipikir-pikir lagi, kita tidak benar-benar butuh trofi emas apa pun," bisik Eva.

Juni mengangguk. "Kita sudah punya emas kita sendiri—satu sama lain."

Kawan bergabung dalam pelukan berangkap itu, lalu menjatuhkan nangkanya tepat di atas kaki Paris yang membuat pemuda itu menyanyi sopran di dalam jempol perunggu.

"Tamat."

"Apakah kau menyadur cerita ini dari suatu tempat?"

"Kenapa?"

"Karena aku merasa pernah mendengarnya."

"Ah, hanya perasaanmu saja, Bocah. Intinya adalah .... Hm .... Entah apa inti dari semua ini. Intinya hanya ... persahabatan. Sesuai tema."

"Tema apa?"

"Kesampingkan itu. Intinya, ada jenis persahabatan yang serupa hubungan saudara, ada pula persahabatan rasa pacar, dan ada juga persahabatan yang dijalin oleh dua orang yang bermusuhan."

"Oke ...."

"Barangkali ada yang berfokus pada kisah persahabatan trio Barbie sihir nan seram itu, atau persahabatan Kurin dan kakak kerdilnya, atau antara Tuan Lymia dan Nyonya Adiv, atau mungkin juga persahabatan absurd kita—kau dan aku. Benar, 'kan, Bocah?"

"Ya, ya. Kau selalu benar Paris. Terserahlah."

"Baiklah, kuakhiri cerita ini dan kau mesti segera tidur karena ini sudah ... wah, lewat tengah malam. Betapa cepatnya waktu berlalu, ya?"

"Ya."

"Selamat ulang tahun yang ke-12, Kawan."


:.:.:

Pal's Incantation

SELESAI

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro