BAB 08

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Narendra Satya Adhiputera duduk termangu bak orang tidak ada pikiran. Padahal matahari sudah menanjak langit begitu tinggi. Menit-menit berlalu begitu cepat, tapi tidak dengan dirinya. Agaknya sudah tiga jam ia habiskan dengan sia-sia bersama setengah bungkus rokok milik abangnya yang bahkan belum bangun tidur.

Tangan kiri Rendra terangkat, laki-laki itu melihat arloji di pergelangan tangannya. Pukul sebelas, berarti Rendra sudah melewatkan kelas pagi hari ini. Bahkan ia mengabaikan pesan Adyssa yang sudah sekilas ia baca dari notifikasi yang masuk.

Gadis itu tak henti-hentinya mempertanyakan keberadaan Rendra. Sudah tiga jam pesannya masuk tiap beberapa menit sekali. Sesekali telepon. Akan tetapi, Rendra mengabaikan semuanya. Ia hanya butuh waktu untuk sendirian.

Setengah jam berlalu dengan kadaaan yang tidak berubah. Joseph akhirnya bangun tidur. Laki-laki itu melangkah menuju balkon apartemen, menghampiri Rendra yang tengah asyik-asyiknya menyesap rokok. Miliknya.

"Habis ya setengah bungkus. Punya siapa, Ren?" ujar laki-laki yang masih bersandar pada pintu tersebut. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Cabut kelas lo?"

Seketika kegiatan Rendra terhenti. Ia menoleh ke sumber suara, lalu menampakkan cengiran lebar di wajahnya. "Suntuk parah, Bang," tuturnya. "Nanti malam gue ganti."

Joseph hanya mengangguk-angguk tanpa memberikan respons apapun. Laki-laki itu beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air mineral, kemudian kembali ke balkon guna melontarkan tanya kepada Rendra, "Kenapa lo?"

"Nothing," jawab Rendra cepat, bersamaan dengan embusan asap terakhir dari mulutnya, serta habisnya batang terakhir yang sejak pagi tadi ia rampas tanpa permisi. "Udahlah. Cabut gue, Bang. Jam tiga ada kelas."

Rendra beranjak dari kursi rotan yang ditempatinya. Langkahnya tertuju ke kamar mandi, membuat Joseph menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bergumam, "Bolos kok tanggung-tanggung. Dasar mahasiswa baru."

+ + +

Tepat seperti dugaan Rendra di sepanjang jalan. Begitu kakinya melangkah masuk ke ruang kelas, wajah masam Adyssa adalah hal pertama yang dilihatnya. Gadis itu sedang menggenggam ponselnya, sepertinya masih sibuk bertanya keberadaan Rendra. Dugaan tersebut semakin terbukti setelah Rendra melihat Adyssa akhirnya menaruh ponselnya di atas meja.

Senyum Rendra mengembang tipis, namun datar. Ia segera ambil posisi, duduk di belakang Adyssa. "Aku ketiduran, Sayang." Rendra berdalih sambil menepuk bahu Adyssa. "Aku nginap di apartemen Bang Joseph, jadi enggak ada yang bangunin. Dia aja baru bangun pas aku bangun."

Adyssa memutarbalikkan badannya. "Aku dari tadi teleponin dan chat kamu, kamu enggak bangun?" tanyanya.

Cengiran Rendra terbentuk. Laki-laki itu menggerayangi tengkuknya. "Hape aku ... ketinggalan di rumah Papi. Aku buru-buru, jadi enggak ingat," balasnya. Berkilah lagi. "Maaf ya, aku enggak lihat kamu chat."

Adyssa menghela napas panjang. Gadis itu mengangguk dan menyungging senyum kecil. "Iya, enggak apa-apa."

Rendra menang dengan kebohongan kecilnya. Adyssa tidak memberikan protes lainnya dalam bentuk apapun. Detik-detik selanjutnya, Adyssa menyibukkan diri dengan teman-temannya yang duduk di kanan kirinya. Sementara Rendra sendiri, sibuk dengan buku sketsa kecil dan pensilnya.

Laki-laki berambut gondrong seleher itu tetap sibuk dengan pensil dan sketsa asal-asalannya sepanjang kelas berlangsung. Kepalanya terus tertunduk tanpa sekali pun menatap dosen yang sedang menerangkan materi.

Hingga dua jam kemudian, kelas usai dan begitu pula dengan kegiatan Rendra mengisi buku sketsanya.

"Aku mau ke Mekdi Salemba sama temen-temen," kata Adyssa.

Refleks, Rendra mengangkat kepalanya yang menunduk dan bertumpu pada kepalan tangan kirinya. Dilihatnya Adyssa yang sudah berdiri dari kursinya dan menghadap ke arahnya. Laki-laki itu mengangguk. "Iya, boleh. Mau aku antar ke sana?"

Adyssa menggeleng. "Enggak usah. Aku sama mereka aja. Kamu pulang duluan aja enggak apa-apa," balas Adyssa.

Sekali lagi, Rendra menganggukkan kepalanya. "Oke," katanya. "Hati-hati, ya. Kalau mau aku jemput bilang aja, nanti kujemput," imbuh Rendra sambil menyungging senyum serupawan mungkin.

Adyssa ikut tersenyum. "Enggak usah. Aku sama Zara aja pulangnya. Kamu kalau habis ini mau pulang, pulang aja," ujarnya sebelum akhirnya benar-benar pamit dan berlari menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu keluar dari ruangan.

Rendra menyusul langkah Adyssa keluar dari ruangan. Bedanya, laki-laki itu melangkah ke lain arah. Rendra memutuskan untuk segera pulang bersama pikiran-pikiran yang masih memadati benaknya.

Padahal Rendra sedang butuh Adyssa. Rendra mau menceritakan apa yang baru saja didengarnya dari Joseph beberapa waktu lalu. Tapi, sebelum cerita itu mengalir ke telinga Adyssa, rupa-rupanya pikiran lain sudah menimbun. Perihal Adyssa.

Laki-laki yang erat menggenggam buku sketsa di tangannya itu melangkah dengan cepat. Sebelah tangannya yang kosong sibuk merogoh saku hoodie biru dongker yang dikenakannya, mencari kunci motor. Begitu tiba di motornya, segera Rendra menyimpan buku sketsa miliknya di dalam bagasi. Detik selanjutnya, Rendra sibuk fokus pada jalan raya menuju rumahnya.

Pikirannya kacau balau.

+ ++

Sudah lima menit. Belum ada tanda-tanda Adyssa membaca pesan Rendra. Setibanya di rumah sejak dua jam lalu, Rendra masih saja berbaring di kasurnya. Bahkan masih dengan pakaian yang sama, lengkap dengan hoodie dan kaus kaki yang belum tanggal dari tubuhnya.

Setelah dua pesan lainnya lagi, di lima menit selanjutnya Adyssa tetap belum memberikan respons apapun. Dalam benaknya Rendra berusaha berpikir positif. Mungkin ponsel Adyssa tidak aktif, atau sedang di jalan pulang.

Rendra menghela napas. Sekali lagi laki-laki itu mengetikkan pesan kepada Adyssa.

Namun aksinya terhenti sesaat ketika telepon masuk membuyarkan kegiatannya. Nama Raven, sahabat Joseph di kampus, terpampang jelas di layar ponselnya. Tanpa basa-basi, Rendra mengangkat telepon tersebut dan menunggu Raven menyapa.

"Sob, di mana lo?"

"Rumah, Bang. Kenapa?" jawab Rendra cepat. "Gue enggak ke apart dulu. Lagi pengin di rumah."

"Ya elah anak rumahan banget si kecil," ejek Raven sambil tertawa-tawa. "Minum enggak, Sob? Ayo Wednesday. Gue sama Joseph mau ke sana."

Mata Rendra lantas membulat. Tubuhnya yang lesu maksimal, kini lantas bangkit dari posisi tidurnya. "Gas. Send loc, Bang. Gue siap-siap dulu," balas Rendra antusias.

"Dijemput aja, Joseph bawa mobil. Sama cewek gue juga soalnya," balas Raven. "Lo di rumah, kan? Gue jalan ke sana, ya?"

"Ya udah deh. Gue mandi dulu sebentar, Bang," balas Rendra. Setelahnya, sambungan telepon diputus secara sepihak oleh Raven. Gegas Rendra menarik handuk yang menggantung di belakang pintunya. Laki-laki itu segera mandi secepat kilat, bersalin, kemudian melangkahkan kakinya keluar dari kamar.

Dan baru saja Rendra membuka pintu kamar, ia sudah melihat adiknya berdiri menghalangi jalan.

"Abang mau ke mana lagi?" tanya Yohan yang kelihatannya akan mengetuk pintu, seandainya saja Rendra tidak membukanya. "Ada yang mau gue ceritain sama lo."

"Besok aja, ya. Gue mau keluar sama Abang," balas Rendra. "Asli besok gue enggak nginap di apartemen lagi," lanjut Rendra. Tanpa menunggu respons Yohan, Rendra gegas berlari menuruni anak-anak tangga, meraih pintu keluar, dan menghampiri mobil Joseph yang terparkir di depan pagar megah rumah orang tuanya.

Tanpa basa-basi, laki-laki itu membuka pintu sebelah kanan mobil, menyapa tiga orang yang ada di dalam, kemudian duduk di kursi belakang bersama Acha, pacar Raven.

"Udah, Ren?" tanya Joseph sambil menoleh ke belakang.

Rendra mengacungkan ibu jarinya. "Udah," katanya.

Josephsegera menginjak pedal gas, membawa mobilnya menyusuri jalan raya ibu kota,menuju Wednesday Beer & Bar, tempatnyabekerja paruh waktu, yang juga sering jadi tempat nongkrongnya. Termasuk akanjadi tempat nongkrong favorit Rendra.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro