BAB 25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu, melawan doa orang tua kamu sendiri."

Suara Adyssa rasanya selalu mengikuti langkah Rendra bahkan setelah dua hari berlalu. Dua hari silam, mereka akhirnya berdamai dengan perkara Kinar. Meski Rendra sadar, sebenarnya Adyssa belum sepenuhnya puas dengan jawaban-jawaban yang diberikannya. Adyssa hanya sedang mengalah demi tetap berlangsungnya hubungan.

Tapi akibatnya, Rendra yang jadi penuh pikiran sampai hari ini. Ia belum hadir di kampus sejak terakhir kali ia mengobrol dengan Adyssa di J.Co Mal Artha Gading. Sudah dua hari Rendra menghabiskan waktunya pagi ke pagi di balkon apartemen. Ditemani rokok dan susu putih. Sesekali ditemani Joseph yang ikut merokok bersamanya.

Sejak kemarin, terbesit pertanyaan-pertanyaan negatif di benaknya. Apa seharusnya Rendra dan Adyssa putus?

Di satu sisi, Rendra benar-benar lelah dengan hubungan ini. Lama-lama beracun. Tapi di sisi lainnya, Rendra benar-benar butuh Adyssa. Nadea tidak bisa menggantikan posisi Adyssa. Begitu pula dengan Kinar. Hanya Adyssa yang bisa jadi Adyssa.

"Galau mulu anak mami." Tanpa diundang, suara Joseph hadir. Begitu pula dengan raganya. Abangnya itu sudah bersandar di ambang pintu, lalu melemparkan sekaleng minuman bersoda. "Enggak ada pesenan lo, jadi gue beliin itu aja."

Rendra mengangguk-angguk. "Iya, enggak apa-apa," jawabnya singkat seraya menangkap kaleng lemparan Joseph. Detik selanjutnya Rendra memadamkan bara di ujung rokoknya. Ia mengambil satu batang yang baru, dan menyalakannya.

"Kenapa? Kecot lagi lo sama Adyss?" tanya Joseph sambil melangkah ke kursi yang kosong di sebelah Rendra. Yang mendapat pertanyaan hanya menaikkan alisnya sambil mengangguk. "Kecot mulu bege lo berdua."

Rendra mengedikkan bahunya. "Gue enggak tau. Dia cemburuan banget, gila," balasnya. Selanjutnya, Rendra menceritakan pada Joseph menurut sudut pandangnya. Dimulai dari Adyssa yang memutuskan untuk menyudahi hubungan dengannya hanya karena komentar di Instagram, lalu balikan, dan kini mempermasalahkan Kinar.

Di mata Rendra, semua ini bukanlah salahnya. Andai saja Adyssa bisa lebih santai menanggapi semuanya, tidak merespons segala hal dengan rasa cemburu, pasti hubungannya akan baik-baik saja. Adyssa seharusnya belajar mengerti perasaan Rendra.

"Lo tapi sayang kan—"

Pertanyaan Joseph berhenti di sana, menggantung. Ponsel Rendra yang tergeletak di atas meja berdering. Baik Joseph maupun Rendra bisa melihat nama Nadea terpampang begitu jelas di layarnya. Gegas, Rendra mematikan rokoknya dan mengangkat telepon. Ia meninggalkan balkon apartemen.

Joseph hanya geleng-geleng kepala.

+ + +

Sekretariat himpunan mahasiswa seni rupa sedang sepi-sepinya. Lima belas menit lalu hanya ada Rendra dan Adyssa yang tengah mengerjakan tugas bersama, sebelum akhirnya Rendra dipanggil seorang kakak tingkat untuk membantu mengangkat puluhan kanvas dari lobi jurusan ke dalam ruang seni lukis.

Dan sekarang, hanya ada Adyssa di dalam ruangan yang kecil ini. Bersama barang-barang yang mengelilinginya, lagu dari playlist Rendra yang masih mengalun, dan ... pikiran yang kacau.

Adyssa tiba-tiba teringat sesuatu lagi. Mimpinya beberapa hari silam, yang ia ceritakan pada Makaio. Hati Adyssa tiba-tiba tidak tenang. Pikiran buruk mendorongnya untuk mengambil ponsel Rendra yang tengah dicas, lalu mencari tahu sesuatu di dalamnya. Ini kesempatan emas untuk menentukan apakah hubungannya layak dipertahankan.

Tapi kepalanya terus menggeleng, mengusir niat jahat tersebut.

Walaupun, pada akhirnya, setelah lima menit bergelut dengan pikirannya sendiri, Adyssa menyerah. Hatinya tidak tenang sekali. Gadis itu mengambil ponsel Rendra, lalu pertama-tama ia bersumpah pada dirinya sendiri akan meminta maaf pada Rendra setelah ini.

Adyssa menarik napas dalam-dalam. Aplikasi WhatsApp jadi yang pertama kali ditujunya. Dilihatnya jajaran kontak yang pernah berbalas pesan dengan Rendra. Banyak sekali yang Adyssa kenal. Rata-rata teman sekampus, laki-laki pula. Sejauh ini masih aman.

Tapi kemudian ada yang membuat kedua bola matanya membulat. Adyssa benar-benar tidak percaya dengan apa yang dilihatnya ini sukses membuat jantungnya berdebar-debar bak tengah dipukul-pukul. Tangannya gemetar.

Adyssa tahu seharusnya ia tidak mendobrak privasi Rendra seperti ini. Tapi di satu sisi, ada pertanyaan yang membelanya: Mau sampai kapan Adyssa dibohongi?

Air mata mulai membanjiri pelupuk matanya. Siap sedia tumpah kapan saja. Pandangannya lama-lama kabur sebab air mata menutupinya. Adyssa tidak tahan lagi. Ternyata, Rendra memang punya niat mendalam untuk mengkhianatinya.

Ini buktinya. Pesan yang tengahAdyssa baca adalah buktinya. Nyata sekali.

"Bajingan," umpatnya pelan. Kini kedua kaki Adyssa menekuk dengan tangan terlipat bertumpu di atasnya. Adyssa menenggelamkan kepalanya, membiarkan dirinya menangis di dalam ruang sekretariat himpunan.

Masih dengan tangan gemetar dan jantung yang berdebar-debar, Adyssa meletakkan ponsel Rendra, lalu mengambil ponsel miliknya sendiri yang tergeletak. Ia mengetikkan nama Zara di kolom pencarian kontak. Tanpa pikir panjang, Adyssa meminta Zara untuk segera datang ke kampus.

Dan, sementara menunggu Zara yang masih di jalan, ibu jari Adyssa membawa layar ponselnya berganti. Kini, nama Makaio yang dilihatnya. Adyssa menghela napas panjang. Adyssa melakukan panggilan.

"Halo," sapa Makaio pada detik pertama telepon ia terima. Tapi Adyssa diam. Suaranya tiba-tiba tidak mau keluar. Justru kini air matanya yang kian deras. Sebisa mungkin Adyssa menahan isak tangisnya. Makaio jangan sampai dengar.

"Halo, Dyss. Kenapa nelepon?" tanya Makaio. Adyssa tetap tidak memberikan jawaban apapun. "Lo di mana? Lo nangis? Kenapa bege?"

Semampunya, Adyssa mengatur napasnya, menenangkan hatinya sejenak. "Di kampus," jawabnya dengan suara lirih sekali. "Enggak ada apa-apa, cuma nelepon aja. Lo lagi kelas?"

"Enggak, sih. Baru kelar nih," jawab Makaio. "Serius bege, lo kenapa nelepon? Lo nangis kenapa?"

Adyssa tertawa pelan. Gadis itu kemudian menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Iyo," panggilnya. Dan, bersamaan dengan itu, pintu ruangan terbuka, menampakkan Zara yang baru saja sampai. Namun, daripada menggubris kehadiran Zara, Adyssa lebih memilih untuk bicara pada Makaio terlebih dahulu. "Kalau seandainya gue suka sama lo, lo mau enggak nikah sama gue?"

Jelas, Zara membelalak mendengar pertanyaan yang Adyssa ajukan. Dengan isyarat, Zara bertanya siapa yang sedang Adyssa telepon. Bibir Adyssa pun menjawab tanpa suara, menyebutkan nama Makaio, dan Zara hanya mengangguk-angguk sambil ambil posisi duduk di sebelah Adyssa.

Sementara Makaio, lama laki-laki itu diam. Percakapan di antara mereka seperti terputus. Tapi pada akhirnya, Makaio hanya memberikan respons singkat,"Ya, kenapa enggak?"

"Nikah sama gue yuk, Iyo," tutur Adyssa cepat.

"Gue belum kerja. Masih kuliah. Belum bisa ngasih lo makan," balas Makaio.

Senyum Adyssa, entah kenapa kini mengembang. Air matanya yang deras sekali itu, seketika berhenti. "Enggak apa-apa, Iyo," katanya. "Gue bakal nungguin lo sampai lulus. Gue temenin lo nyari kerja, gue nyari kerja. Kita nabung bareng. Enam tahun lagi mungkin, ya?"

Zara hendak menghentikan percakapan mereka di telepon, tapi entah kenapa hatinya bilang tidak. Gadis itu bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri, Adyssa sepertinya bahagia sekali kalau sudah bicara dengan Makaio.

"Gimana dengan Rendra?"

Bibir Adyssa mengerucut mendengar nama itu disebut lagi. Air matanya menetes lagi pada akhirnya. Kenapa Makaio harus menyebut namanya ketika Adyssa sedang tidak membutuhkannya?

Tapi, dengan percaya dirinya, Adyssa memberikan jawaban, "Gue maunya sama Iyo."

"Enggak bisa gitu dong, Dyss. Selama lo masih terikat sama Rendra, gue enggak akan masuk di antara kalian. Jangankan selama kalian terikat. Kalau kalian enggak terikat pun, mungkin gue enggak akan masuk ke hidup lo sampai ke tahap itu, Dyss."

Bibir Adyssa semakin mengerucut. Agak kecewa mendengar jawaban Makaio. Tapi mungkin ia benar.

"Lo udah enggak menjunjung prinsip kita, Dyss?" tanya Makaio. Adyssa diam. "Jangan ada rasa di antara kita, Dyss. Hahaha."

Adyssa masih diam. Makaio mengakhiri kalimatnya dengan tawa. Tapi Adyssa tidak bisa ikut serta. Sedih sekali rasanya tidak bisa menertawakan lelucon itu lagi. Adyssa kini sedang bicara serius pada Makaio.

"Iyo, gue serius," akunya.

Masih dengan sisa tawanya yang terdengar, Makaio berujar, "Gue juga serius."

Adyssa mengerti, Makaio sebenarnya tidak tahu kalau ia sedang bersungguh-sungguh dengan omongannya sedari tadi. Dan, Adyssa memilih untuk diam, menanti sampai tawa Makaio benar-benar berhenti, lalu laki-laki itu tersadar dengan sendirinya.

"Lo sakit ya, Dyss?"

"Enggak, gue sehat," balas Adyssa cepat.

"Ketemuan yuk, Dyss. Lo di mana? Gue jemput, ya?"

Adyssa berdesah berat. "Enggak usah, Iyo," tolaknya. Dan, sambungan telepon Adyssa akhiri begitu ia melihat pintu ruangan terbuka lagi. Rendra sudah kembali. Satu hal yang pertama kali dilakukannya adalah bertanya kenapa Adyssa menangis.

Baik Adyssa sendiri maupun Zara, tidakada yang memberikan jawaban. Sekali lagi pertanyaan yang sama Rendra ajukan,langsung kepada Adyssa. Tapi gadis itu hanya menggelengkan kepalanya, lalumengajak Zara keluar dari ruangan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro