2. Rowan Sudah Siap Mangkat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sudah pesan peti mati sendiri. Peti itu berbahan kayu jati berkualitas tinggi, hanya tinggal menunggu 12 hari masa pre order. Untuk jaga-jaga, aku pesan dua—buat cadangan. Soalnya, di televisi, aku sering lihat banyak peti mati yang diempas badai dan dibawa lari banjir bandang. Aku tidak mau merepotkan pengusung jenazahku kalau peti matinya rusak, makanya aku menyiapkan peti cadangan.

Waktu itu aku masih 10 tahun, tetapi aku sudah begitu mandiri. Bibiku sampai menangis tersedu-sedu dan memelukku saat mengetahuinya. Dia memang gampang terharu.

Selain peti mati, aku meminta tolong sepupuku untuk dibuatkan batu nisan.

"Rowan," ujarnya saat mengukir namaku. "Pakai W atau tidak?"

"Pakai," jawabku. "Dua, ya."

Dia mengernyit. "Kenapa dua?"

"Buat cadangan."

Ternyata tidak muat. Lagi pula, "Rowwan" terlihat jelek di permukaan nisanku saat sepupuku memperlihatkan draft desainnya. Rupanya, tidak semua hal di dunia ini harus ada serepnya. Ada beberapa hal yang satu saja sudah cukup.

"Rowan, Sayangku, kau tidak akan mati." Bibi Tiana memelukku kencang-kencang sampai aku nyaris mati. Air matanya berjatuhan ke rambutku. "Ayahmu tidak serius."

"Dia serius," tukasku.

Aku masih ingat benar saat Ayah menodongkan ujung botol kaca mirasnya yang sudah pecah sampai runcing-runcing. Dia meneriakkannya begitu lantang, bahwa kalau aku berani-beraninya membuat masalah lagi dengan Darwin, dia berjanji akan membunuhku.

Beberapa hari kemudian, aku akhirnya menonjok Darwin. Itu salahnya—dia mengejek semua yang kukenakan sebagai barang rongsokan, lalu memanggil ibuku jalang, padahal saat itu kami sama-sama tak tahu apa artinya. Tinju anak 10 tahun seharusnya tidak fatal, tetapi Darwin mengadu ke ayahnya dan membuatnya terdengar seolah-olah aku ini maniak berbahaya yang berusaha memperkosanya. Lalu, ayahnya menegur keras ayahku.

Ayah Darwin merupakan pemilik toko elektronik tempat ayahku bekerja, jadi kejadian kali ini betul-betul berdampak besar buat kehidupan kami. Ayahku hampir dipecat gara-gara aku. Saat pulang malam itu, Ayah membantingku sampai membentur meja ruang tamu. Aku langsung lari ke rumah Bibi Tiana dengan kepala bocor dan penglihatan yang hampir hilang sebelah. Dahiku dapat beberapa jahitan dan sebelah mataku ditutup perban selama tiga hari. Sampai sekarang, aku berbagi kamar sempit dengan Deni, sepupuku.

Sudah tujuh hari. Cepat atau lambat aku harus pulang. Kucing-kucing liar yang biasanya datang ke jendela kamarku pasti bertanya-tanya mana jatah makanan mereka. Ayah pasti kian marah juga. Tambah lagi, Bibi Tiana dan Deni sudah kesulitan mengisi meja makan hanya untuk dua mulut, dan kehadiranku di sini membuat keduanya mengurangi isi piring mereka sendiri untuk mengisi piringku. Bibi Tiana bahkan membongkar tabungan daruratnya untuk pengobatan pertama kepala bocorku.

Aku mencoba membantu mereka dengan isi celenganku, tetapi sulit sekali melakukan itu tanpa menyinggung keduanya. Bibi Tiana bahkan tidak membiarkanku ikut membantu pekerjaannya. Deni juga tidak pernah mau membawaku serta saat dia dapat panggilan jadi tukang gali kuburan.

Ada banyak alasan yang menuntutku untuk pulang ke rumah, dan aku bertahan di rumah bibiku karena satu alasan: Ayah akan menepati janjinya.

Dia akan membunuhku. Makanya, aku pesan peti mati.

"Batalkan," pinta Bibi Tiana yang masih berurai air mata. "Batalkan pesanan bodoh itu Rowan. Kalau ayahmu sampai berani melayangkan tangannya padamu, aku akan ... aku akan—"

Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Aku juga tidak mendesaknya. Ayahku sebesar beruang dan gampang menggila kalau mabuk, padahal dia mabuk hampir tiap saat. Bahkan jika Bibi Tiana adalah kakaknya sendiri, aku ragu ayahku bisa menahan tangannya saat sedang mabuk.

Karenanya aku ingin cepat dewasa. Aku ingin lekas sebesar ayahku agar bisa membalas setiap tinju dan tendangannya. Aku ingin memecahkan pantat botol mirasnya dan balik menodongkan benda itu ke arahnya. Aku tidak ingin membunuh ayahku, tetapi aku berharap bisa balas mengancam akan membunuhnya juga, agar dia tahu bagaimana rasanya dan berhenti melakukan itu semua.

Pada akhirnya, aku membatalkan pesanan peti mati, tetapi aku tetap menyimpan nisanku. Nisan itu kutancapkan di halaman belakang rumah Bibi, bersebelahan dengan nisannya Deni. Meski aku dan sepupuku belum mati, tidak ada salahnya mengklaim tanah kuburan lebih awal.

"Ayo, kuantar kau pulang, Dik." Deni memanggul sekopnya di bahu. "Kalau ayahmu marah, kita keroyok sama-sama sampai amarahnya reda. Kau pegangi kakinya, aku piting tangan Paman dari belakang."

Aku mengepalkan tangan dengan semangat dan memandangi sekopnya. "Apa kita bakal memukul kepalanya pakai itu?"

Deni mengernyitkan alis. "Tidak. Ini buat bekerja—aku harus menyiapkan tiga liang lahad siang ini. Kalau kita pukul ayahmu pakai ini, aku mesti menyiapkan empat lubang kuburan."

Sepupuku punya perawakan ceking tapi berotot, kulit gelap terbakar cahaya matahari, dan sikap kaku yang anehnya membuatku merasa nyaman sekaligus aman saat di dekatnya. Rambutnya gondrong, hampir mencapai bahu. Dia empat tahun lebih tua dan sekepala lebih tinggi dariku. Mukanya agak boros. Beban hidup di usia dini memang ampuh membuat tampang anak 14 tahun terlihat seperti umur 41.

"Ada yang meninggal lagi?" Aku tak bermaksud terdengar bersemangat. "Ajak aku, dong! Aku bisa membantu! Kita bisa selesaikan pekerjaanmu sebelum siang, setelahnya aku janji bakal pulang."

Deni menepuk kepalaku. "Menggali kuburan bukan pekerjaan yang pantas buat anak 10 tahun."

"Kau mengerjakannya sejak umur 8 tahun!"

"Karena hanya pekerjaan dan sekop ini yang ditinggalkan ayahku saat dia mati." Tangannya mencengkram bagian belakang bajuku, mendorongku ke pintu. Dia ikut berjalan ke depan dan membuatku terdesak ke luar. "Kau takkan suka menggali tanah buat orang mati."

"Memang kau suka?"

"Cuma ini yang kuketahui seumur hidupku. Jadi, ini bukan lagi masalah suka atau tidak."

Dari balik pintu rumah mereka yang miring dan hampir lepas engselnya, aku bisa melihat Bibi Tiana menangis meski dia berusaha menyembunyikan wajah di belakang setumpuk baju pesanan yang mesti dijahitnya.

Dua blok sebelum rumahku, kami melewati toko elektronik milik keluarga Darwin. Ayahnya berdiri di depan pintu kaca ganda dengan tiga kotak penuh barang-barang yang kelihatannya sudah rongsokan. Saat melihatku, pria itu membelalak dan memanggil kami mendekat.

"Rowan! Nak, maafkan aku. Aku sudah dengar dari Nyonya Hera. Anakku yang memulai perkelahian. Harusnya aku tahu!" Dia menunjuk jendela lantai dua ruko tua di seberang tokonya. Dari jendela itu, Nyonya Hera melambai ke arah kami sebelum beranjak ke dalam. "Aku sudah hubungi ayahmu untuk meminta maaf, tapi dia berkeras akan mendisiplinkanmu. Kau mau kuantar sampai rumah, Rowan? Biar aku bicara langsung padanya."

Mulanya aku senang sudah diselamatkan—betul-betul beruntung aku meninju Darwin di tengah pasar ikan sampai terlihat oleh Nyonya Hera. Namun, mendengar kalimat terakhir itu, bahuku turun lagi. Kalau bosnya datang ke rumah hanya untuk membela anaknya, Ayah akan makin malu. Tak peduli apa yang dikatakan ayahnya Darwin, ayahku akan tetap memukuliku.

"Tidak perlu, Tuan Mal. Kurasa, ayahku sudah tidak terlalu marah lagi sekarang," dustaku. Gatal sekali mulutku hendak menambahkan, Tolong kendalikan saja anakmu yang bengal itu agar menjauhiku.

"Kau yakin?" desaknya. "Haruskah kusuruh Darwin datang malam ini dan meminta maaf secara langsung. Aku benar-benar malu terhadap apa yang anakku katakan padamu."

Darwin yang memohon ampun karena takut pada ayahnya akan jadi pemandangan hebat, tetapi takkan setimpal dengan murka ayahku setelahnya. "Tidak usah. Sungguh. Tolong, jangan."

Pria tua itu mengganti tumpuan kakinya dengan gelisah. "Aku masih merasa tidak enak. Apa ada sesuatu yang bisa kulakukan buatmu?"

Aku melirik setumpuk barang rongsokan di depan tokonya. "Apa Anda butuh bantuan dengan barang-barangmu? Aku bisa bersih-bersih, menyusun barang, atau apa saja. Aku bisa digaji separuh dari uang jajan anakmu."

Deni menepuk kepalaku. Tatapannya tajam seperti hendak merobek muka ayahnya Darwin. "Kerja sepupuku ini lebih dari layak untuk dua kali lipat uang jajan anakmu. Aku jamin itu. Rowan anaknya telaten."

"Tentu!" Tuan Mal mengedik ke dalam tokonya. Salah satu tangannya melambai ke arah kotak-kotak rongsokan, tangan lainnya menepuk-nepuk bahu Deni. "Kau juga, Den. Taruh saja sekop itu di dalam. Kalian bisa angkat kotak-kotak ini ke dalam dan bantu aku menyortirnya. Kubayar kalian sebanyak aku menggaji pegawaiku. Dan kalian boleh bawa pulang salah satu dari benda-benda ini. Pilih yang mana saja yang kalian suka."

Aku berlari dengan melompat-lompat ke dalam, hampir seperti menari saking girangnya. Lalu, dengan malu aku kembali ke luar untuk mengangkat salah satu kotak itu. Deni mengangkat dua kotak sekaligus. Sekopnya dia tinggalkan dekat meja kasir.

Menyortir benda-benda itu tidak makan waktu banyak. Beberapa barang seperti blender, kipas angin meja, dan kompor listrik mini masih berfungsi dan hanya butuh dipoles agar tampak baru. Sebagian besarnya sudah rusak dan tak bisa menyala lagi, jadi Tuan Mal memasukkannya ke kotak lain, entah untuk dijual lagi ke temannya yang pengumpul barang bekas atau diberikan cuma-cuma ke pemulung.

Aku hendak memilih satu barang di antara rongsokan yang rusak, tetapi Tuan Mal melarang. Dia mendorongku ke arah rak berisi barang-barang bekas yang masih berfungsi, memaksaku memilih dari sana. Sementara aku dan Deni memilih-milih, dia bahkan menjamu kami dengan berstoples-stoples kue serta es jeruk. Kenapa pria murah hati macam ini bisa punya anak dajal?

"Saya tidak tahu Anda menjual barang-barang bekas juga, Tuan Mal," kataku sambil membolak-balikkan sebuah kamera tua di tangan.

"Ini semua milik mendiang sahabatku." Tuan Mal menatap Deni. "Kau bakal menggalikan kuburnya pagi ini. Kau tahu Keluarga Callum?"

Deni mengangkat sebelah alisnya. "Keluarga kaya raya yang memiliki mansion di atas bukit Mirah itu? Kepala keluarganya salah satu yang meninggal?"

"Sebenarnya, yang meninggal satu keluarga." Tuan Mal menjatuhkan pandangan ke kakinya sendiri. Dia tampak berusaha menyembunyikan kesedihannya. Kedua lengannya bersedekap. "Kecelakaan dengan mobil tangki saat mereka akan berlibur ke sini. Callum, istrinya, dan anak perempuannya yang masih 5 tahun itu mati di tempat. Minggu lalu, Callum datang ke tokoku dan berkelakar bahwa tokoku tampak kosong. Dia kemudian berjanji akan memberikan beberapa barang elektronik dari rumahnya. Kukira dia bercanda. Adiknya mengabariku kematiannya tadi malam dan dia bilang Callum serius menitipkan banyak sekali barang dari rumahnya untuk dibagi-bagikan."

Aku menganga. "Seolah dia tahu dia bakal mati."

"Callum memang selalu punya firasat yang bagus, bahkan sejak kami masih muda dulu." Tuan Mal mengangguk. "Saat kami akan pergi study tour waktu masih SMA, dia memaksaku bolos bersamanya. Bus yang membawa teman-teman sekelas kami kecelakaan dan melompati trotoar—tidak ada yang tewas saat itu, tetapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi kalau aku dan Callum ada di sana."

Aku bersandar ke salah satu rak sambil memainkan tombol blender. "Tapi hampir semua barang ini rusak dan kelihatan tua. Kalau dia orang kaya, kenapa pakai benda-benda macam ini?"

"Oh, barang-barang yang ini barangkali peninggalan orang tuanya—dia senang menyimpan hal-hal yang mengandung nilai sentimentil. Subuh tadi, adiknya mengantar dua truk besar penuh barang elektronik yang masih sangat bagus—kulkas, televisi, komputer. Sudah kususun di belakang untuk dilelang kepada teman-teman lama kami nanti. Untuk barang-barang yang ini, barusan adiknya datang secara pribadi untuk mengantar semuanya. Kurasa, yang tak berfungsi ini lebih baik kusimpan saja sebagai kenang-kenangan."

Kuletakkan kembali semua barang-barang yang kupegang ke rak. "Kalau sepenting itu, jangan diberikan ke kami."

Tuan Mal tertawa. "Tidak apa-apa, Rowan. Hanya satu atau dua barang tidak mengurangi nilai sentimentil rak ini. Kau lihat ada tiga kotak besar, 'kan, tadi? Nah,"—dia meraih kamera yang kupegang paling lama, mengaitkan tali gantungannya, lalu mengalungkannya ke leherku. "Rowan, kau tertarik ikut kelas fotografi?"

"Aku tertarik pada apa saja. Tapi, apa pentingnya ketertarikanku?"

"Aku memasukkan Darwin ke kelas fotografi bulan lalu. Dia merengek hebat sekali karena terpengaruh teman-temannya masuk ke sana. Hanya dua kali pertemuan, dia sudah bosan dan bolos. Padahal aku sudah membayar kelasnya untuk satu tahun. Kau mau menggantikannya?"

Mataku membelalak sedemikian lebarnya. "Bolehkah?"

"Aku masih berutang padamu gara-gara kelakuan anakku." Matanya melirik bekas jahitan di sudut dahiku, lalu buru-buru mengalihkan pandangan ke rak. Pria itu lantas meraih satu tas selempang hitam berisi rol film kamera dan menyelempangkannya ke bahuku. "Kalau kau mau, ambil saja semua kelas privat yang diikuti Darwin. Dia tak pernah serius untuk apa pun. Aku berencana memasukkannya ke sekolah asrama untuk anak-anak bermasalah yang direkomendasikan adiknya Callum—mungkin Darwin harus kumasukkan ke sana untuk menghilangkan sikap manjanya."

Aku mengangkat kamera dan memotret tanpa melihat ke jendela bidiknya. Tuan Mal buru-buru mengangkat ibu jari dan memasang pose andalan bapak-bapak saat kilat kamera menyambar. Cengiran paling lebar seumur hidupku terulas di wajahku. "Terima kasih, Tuan Mal."

Saat itu aku belum tahu dan tidak repot-repot mengecek—aku tak tahu apa-apa tentang kamera. Beberapa hari kemudian, saat aku dan Deni mengecek semua hasil potretanku, kami mendapati bahwa tak hanya manusia hidup yang berpose di sana.

Aku masih memotret saat menemani Deni dan temannya—Hasan—menggali kubur untuk keluarga Callum. Aku belum mau pulang. Sebelum sampai rumah, aku harus memikirkan cara menyembunyikan kamera ini dari Ayah. Mungkin dia bakal mengambilnya dan menjualnya buat beli miras atau berjudi. Aku ingin menitipkannya ke rumah Bibi, tetapi rasanya aku sudah terlalu banyak merepotkannya.

Aku masih memotret asal-asalan saat sebuah mobil merah yang mewah dan mengilap berhenti di depan gerbang pemakaman. Dari kursi penumpang, ibuku melangkah keluar. Mantel mahal, rok sepan, dan sepatu hak tinggi mahalnya tampak salah tempat di tengah-tengan kuburan.

"Rowan." Dia menghampiri dan memelukku sebentar, lalu memeriksa luka di dahiku. "Aku dengar dari Tiana apa yang terjadi. Kenapa kau tidak menghubungiku? Dan apa yang kau lakukan, ikut bekerja di kuburan begini dengan Deni? Ayo, kita ke rumah sakit."

Aku menarik tanganku yang berusaha dia gandeng. Mataku melirik waspada ke mobil merahnya. "Kau diantar olehnya?"

Ibuku mengatupkan rahang. Dia menolak menjawab. Bibirnya yang dipoles merah tua mengulas senyum terpaksa. "Kau sudah makan? Ayo kita ke restoran favoritmu."

Kutepis tangannya lagi. "Aku tidak mau makan bertiga sama dia."

"Rowan—"

"Uang kirimanmu diambil Ayah tiap bulan! Aku harus mencuri setengahnya malam-malam hanya buat menabung dengan harapan dia masih tidak bisa berhitung atau sadar duitnya hilang." Aku berkelit saat Ibu mencoba menarik tanganku lagi. Di belakangku, suara menyekop sudah berhenti. Sepertinya Deni dan Hasan tengah menonton kami. "Kapan kau pulang?"

Ibu melipat bibirnya ke dalam. Matanya berkaca-kaca. "Ibu sudah punya rumah baru, Sayang."

"Kalau begitu, kenapa kau tidak membawaku bersamamu saja?"

"Hak asuhmu jatuh ke ayahmu—"

"Pembohong! Pacarmu tidak mau kau membawa anak ke rumahnya!" Aku berteriak hilang kendali dan mulai menunjuk-nunjuk wajahnya. "Dan aku yakin dia juga terpaksa membawamu ke sini! Apa yang kau lakukan buat membujuknya membawaku ke rumah sakit sekarang? Darwin benar! Kau jal—"

Tangan Deni meraup mulutku dari belakang, sebelah tangannya yang lain mengangkat badanku di perut sampai aku tertungging di apitan lengannya. Aku meronta sampai air mataku keluar dan kameraku hampir jatuh dari gantungan di leherku, tetapi Deni mencengkramku kuat-kuat.

"Pergilah, Bibi." Deni berkata pada ibuku. Dia mengedik ke arah mobil merah, yang pintu sopirnya sudah terbuka dan pacar ibuku keluar dari dalamnya. "Pulanglah sebelum Rowan mengatakan sesuatu yang bakal disesalinya."

"Jangan ikut campur, Deni. Rowan anakku."

"Tapi Anda tidak pernah jadi ibu buatnya," celetuk Hasan di belakangku. Dia menancapkan sekopnya di tanah dengan marah. "Minggat sana, Orang Kaya!"

Pacar ibuku berderap dan dengan galak menuding kami. "Berani-beraninya kau bicara seperti itu padanya!"

Ibu tidak punya pilihan selain mundur dan menahan pacarnya. Mereka saling dorong hingga akhirnya Ibu berhasil mendesak kekasihnya sampai mobil. Aku bisa mendengar pria murahan itu berkata, "Tak tahu diuntung, anakmu itu. Kita mengiriminya uang tiap bulan! Dan beginilah dia memperlakukan ibunya. Kapan kau sadar, bagi anak bajingan seperti itu, hubungan ibu dan anak di antara kalian tak ada artinya."

Aku akhirnya membebaskan muka dari tangan Deni. Sambil bercucuran air mata, aku berteriak pada Ibu, "Hubungan ibu dan anak?! Ambil semua uang itu—apa lagi yang tersisa? Kau tidak pernah berbuat apa-apa untukku!"

"Ayahnya yang pemabuk saja memeluk Rowan lebih sering daripada wanita itu!" Hasan menambahkan, membuat pacar Ibu makin panas.

"Ha? Anak kurang ajar!"

"Kau yang kurang ajar, Perebut Bini Orang!" Hasan balas berteriak. "Jangan teriak-teriak di kuburan!"

Pacar Ibu mencoba mengirimku ke sekolah asrama untuk anak-anak bermasalah—sekolah asrama yang sama tempat Darwin dikirim. Ironisnya, ayahnya Darwin jadi semacam pelindungku. Berkat kelas-kelas yang dibiayainya dan kuhadiri sungguh-sungguh, aku bisa menghindari sekolah asrama itu.

Setidaknya sampai umurku 16. Pada akhirnya, aku dijebloskan ke SMA sekolah asrama itu.

Kuakui, aku lumayan bermasalah. Aku sering terlibat perkelahian. Lingkungan pergaulanku sebagian besar adalah anak-anak yang lebih tua.

Kemudian, saat umurku 14, Bibi Tiana meninggal karena penyakit jantungnya. Deni dan aku beberapa kali terjebak dengan teman-teman yang salah setelahnya. Lalu, sejak aku terlibat street fighting, Tuan Mal juga mulai membatasi kontak denganku.

Suatu malam, orang tuaku akhirnya mendapat telepon dari polisi setempat bahwa anak mereka mengutil di supermarket. Ayahku sedang mabuk saat itu dan cuma berucap, "Rowan siapa?" Sedangkan ibuku tak membuang waktunya dan langsung mengurus kepindahanku ke Sekolah Asrama Circian.

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro