3. Naya Belum Beruntung

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tahun ajaran baru dimulai bulan Juli. Jadi, aku rutin menenggak seperempat botol obat tidur tiap hari sejak awal Mei. Butuh 7 minggu sampai akhirnya aku berhasil membuat diriku overdosis hingga dilarikan ke rumah sakit. Aku dirawat inap selama tiga hari sebelum akhirnya diizinkan rawat jalan di rumah. Sampai akhir Agustus, aku mampu bertahan dalam kamarku, terbaring dengan infus dan dua orang perawat yang bergantian menjagaku siang-malam.

"Sungguh nekat," komentar Tuan Ajal di sisi tempat tidurku. "Kau melakukan ini semua hanya agar tidak dikirim ke sekolah asrama."

"Kau punya ide lain?" Aku mengangkat sebelah alis. "Aku kehabisan pilihan. Malah, aku sempat takut ini tidak akan berhasil karena aku baik-baik saja setelah menelan berbotol-botol aspirin."

Tuan Ajal mengangkat bahunya. "Kau sudah pernah mati. Lagi pula, tubuhmu jadi kebal karena racun-racun kecil yang rajin diberikan ibu tirimu sejak kau kecil." Sudut bibirnya kemudian terangkat, sorot matanya tampak geli. Ia selalu seperti itu sebelum kemudian melontarkan lelucon jahat, "Kau masih hidup karena rasa cinta Livia selama ini."

"Tolong diam dan berjaga saja di luar." Aku menunjuk pintu kamar. Susah payah, aku bangkit dari bantal dan mencondongkan badan ke nakas. Kuambil dua botol aspirin lagi. "Aku harus tetap overdosis sampai akhir tahun. Lebih bagus lagi kalau sekolah itu terbakar sebelum September berakhir."

"Juan belum berhasil melaksanakan tugasnya?" Tuan Ajal bertanya dengan separuh badannya menghilang menembus pintu. Dari pinggang ke atas, ia ada di koridor, berjaga agar tak ada yang masuk ke kamarku saat aku menenggak obat lagi. Jadi, rasanya aku sedang mengobrol dengan pantatnya. "Bukankah ajudan kecilmu itu selalu sukses sebelumnya?"

"Jangankan membakarnya, Juan bahkan tidak bisa menemukan lokasi sekolah itu!" dengkusku sembari membuka tutup botol obat susah payah. Meski tidak bisa mati, fisikku tetap jadi layu habis overdosis. "Inilah kenapa aku benci tempat terpelosok. Susah dilacak! Susah dijangkau! Kenapa mereka tidak meletakkan sekolah asrama itu di pusat kota saja?!"

"Bukankah akan gawat jika lokasinya di tempat umum?"

"Tidak masalah. Kalau Juan masuk penjara lagi karena serangan arson, aku bisa menjaminnya."

"Maksudku bukan Juan. Tapi, lingkungan sekitar yang akan ikut dilalap api kalau lokasinya di tengah kota yang padat penduduk."

Aku terpaku sebentar. "Oh. Ya ... aku tidak memikirkan itu."

"Memangnya di mana lokasi sekolah asrama ini?"

"Entahlah. Ia terletak di pulau yang tidak bisa ditemukan dalam peta. Pulau ini bisa saja dikira punggung lima ekor paus yang sedang berembuk kalau dilihat dari kamera satelit karena aku juga tidak bisa menemukannya di internet saat mengetikkan namanya: Pulau Circian."

Aku mencicit senang saat botol obat itu akhirnya terbuka. Namun, pintu kamarku ikut terbuka hanya selang beberapa detik kemudian. Padahal aku baru menelan tiga butir isinya.

"Nona!" Perawat itu menjerit saat aku tersedak. "Itu bukan permen! Apa yang Anda lakukan!"

Aku terbatuk dan secara refleks berusaha memuntahkan apa yang baru kutelan. Air mataku berlinangan saat rasa pahit di kerongkongan naik ke hidung, menyumbat saluran pernapasanku. Separuh badanku meluncur jatuh dari ranjang karena rasa panik dan sesak napas. Sambil bertumpu pada satu tangan, dan sang perawat yang memekik-mekik minta tolong sambil memegangi bahuku, aku mengangkat wajah susah payah.

"Ehek! Ku-suruh kau—ohok! Berjaga!" Jariku menuding pintu. Suara batukku tambah dahsyat, diiringi suara jeritan si perawat yang menyuruhku berhenti bicara.

"Aku sudah berjaga." Tuan Ajal mengangkat bahu lagi. Ia memandangiku dengan sepasang mata gelapnya, tampak tidak merasa bersalah. Namun, tiga detik kemudian ia membelalak tersadar. "Oh, aku harus memberi tahumu saat ada yang datang? Kau harusnya lebih spesifik!"

Kau kira memperkerjakan 'Ajal' adalah keuntungan magis dan membuatku tak terkalahkan? Tidak sama sekali. Tuan Ajal adalah pegawai idiot karena pola pikirnya tidak sama dengan manusia fana. Anjing penjaga di gerbang depan rumahku jauh lebih tanggap saat diberi perintah.

Bahkan burung beo yang dulu kuperlihara saat umur 13 bisa menjaga pintuku lebih baik dari dia, memberi sinyal yang berbeda-beda tergantung siapa yang mendekati koridor kamarku. Sayangnya beo itu sudah mati—Livia membungkusnya dalam kotak dalam keadaan sudah diawetkan dan matanya diganti dengan permata, ditinggalkannya di depan pintu kamarku suatu pagi.

Namun, aku tidak punya pilihan. Hanya segelintir orang bisa tetap berada di dekatku tanpa jadi mayat. Livia tidak bisa melihat Tuan Ajal, jadi jelas saja pria gaib itu yang paling bisa kuandalkan sekarang.

Biasanya ada Juan dan Maria—pengasuhku—yang bisa kuandalkan, serta mampu bertahan hidup dari incaran Livia. Namun, Juan masih dalam misi untuk mencari dan membakar sekolah terkutuk, sedangkan Maria kuberi izin pulang ke kampung halamannya sejak April lalu karena ayahnya yang renta serta sakit-sakitan sudah kehilangan penglihatannya dan butuh seseorang untuk membantunya tiap saat. Menurut Tuan Ajal, umur ayahnya Maria hanya tersisa sampai November ini, jadi kubiarkan Maria tetap di sana, menghabiskan sisa waktu yang dimilikinya dengan ayahnya. Aku bahkan tak memberi tahunya masalah overdosis.

Kukira aku bisa melalui ini dengan selamat sampai Juan bisa membakar asrama Circian. Namun, rupanya aku kurang beruntung. Rencana overdosis-ku ketahuan. Livia segera membayar seorang konsultan untuk memeriksaku dan merekayasa hasil diagnosisnya, menyatakan betapa aku mentalku bermasalah dan butuh penanganan institusi khusus.

"Mentalku mungkin sungguhan bermasalah," ungkapku saat Ayah memanggilku ke ruang kerjanya malam itu. "Tapi itu gara-gara Livia. Dan aku tiak butuh institusi khusus. Kau cukup menceraikannya dan menendang jalang itu ke jalanan, mentalku akan sehat kembali."

"Naya," desah ayahku seraya memijat dahinya. Surat diagnosisku tergeletak di antara lautan dokumen dan amplop di meja kerjanya. "Aku selalu menoleransi kelakuanmu—"

"Mengabaikan lebih tepat," tukasku.

Dia mengabaikan kekurangajaranku yang telah menyelanya. Ayahku memakai kacamata bacanya dan menjumput salah satu laporan saham, lalu berkata, "Lihat ini. Jelas sekali kau butuh pendisiplinan di sekolah asrama itu—"

"Lihat ini." Aku menjumput surat diagnosis palsu bikinan antek-anteknya Livia dan meletakkannya di atas dokumen yang tengah dipandanginya dengan tatapan tak tertarik. Dia bahkan tak repot-repot menyembunyikan ketidakpeduliannya lagi. "Jelas sekali kau tak butuh kacamata, tapi sepasang mata dan otak baru—"

Ayah menggebrak meja dengan tangannya, membuat kertas-kertas di atasnya berantakan. Surat diagnosisku robek di bawah kepalannya. "Cukup, Naya. Kau makin kurang ajar."

"Aku hanya kurang ajar malam ini," ujarku kaku. "Sebelum ini, aku selalu melakukan apa yang kau suruh, menjauhi apa yang kau larang, dan membiarkan wanita badut itu keliaran dalam rumah. Tapi bagimu semua itu tidak ada artinya. Kau baru memperhatikanku saat sekarang aku sudah kurang ajar, saat kau mendengar aku menenggak obat-obatan secara sengaja, dan saat surat diagnosis resmi mendarat di atas mejamu. Kau bahkan tidak datang saat aku masuk rumah sakit."

Tentu saja aku sadar ini sudah jalan buntu. Aku sadar, aku kalah malam ini. Begitu Livia mengantarkan surat diagnosis itu ke atas meja kerja ayahku, mengunciku dalam kamar seharian agar aku tidak bisa menghentikannya, dan ayahku memanggilku ke hadapannya—aku tahu perlawananku gagal. Jadi, kugunakan malam terakhirku di rumah ini mengatakan semua yang kutahan sejak lama, bahkan meski semua kata-kataku tak masuk sama sekali ke dalam kepalanya. Aku bisa melihat tatapan mata ayahku—dia tidak marah, murka, kecewa, atau sedih. Bahkan saat dia menghantamkan tangan ke meja, tak ada kerut emosi di wajahnya.

Dia semata merasa bosan.

"Livia membeli rumah baru lagi," ungkapku. "Semua uang dan perhiasan yang kau berikan padanya—dia memakai itu untuk dirinya sendiri. Dia membeli rumah, vila pribadi, foya-foya tiap malam dan mempermainkan anak tirinya di siang hari. Semua anggaran yang kau tinggalkan buat mengurus rumah—aku yang melakukannya sejak umur 11 tahun. Sebelum itu, Maria dan Kasia yang melakukannya. Istri barumu tidak berguna apa-apa kecuali mengotori rumah dengan kehadirannya."

"Gabriel akan mengambil alih kepengurusan rumah begitu kau pergi ke asrama." Ayah melambaikan tangannya, melibas semua poinku, dan hanya menangkap apa yang ingin ditangkapnya. Dia tampak tak sabar ingin segera mengakhiri pembicaraan ini agar dia bisa kembali tenggelam dalam pekerjaannya. "Sekarang, pergilah ke kamarmu dan mulai pilih barang-barang yang akan kau bawa—"

"Ibu pasti ogah bangun dari koma karena kau masih keliaran di dekatnya," kataku begitu saja. Itu kalimat yang selalu ingin kumuntahkan sejak dulu. Untuk suatu alasan, aku selalu ragu menyinggung ibuku di depan Ayah. "Aku tahu karena kalau aku jadi Ibu, aku akan melakukan hal yang sama. Aku tidak sudi mati gara-gara Livia, tapi aku juga tidak bakal mau hidup sebagai istri dari pria sepertimu. Bahkan setelah kau menceraikannya, Ibu pasti bisa merasakannya saat kau masih menjenguknya tiap bulan. Itulah sebabnya dia tidak mau bangun—"

Ayah tiba-tiba berdiri. Itu respons yang sama sekali tidak kuduga.

Dia melepaskan kacamata bacanya, matanya merah, tetapi dia menolak menatapku. Dia menatap jauh melewati ubun-ubunku, tepat ke pintu. Rahangnya sekaku tubuhnya. Bahunya dia tegakkan kali ini.

"Pergi ke kamarmu, Naya." Suaranya, sungguh mengejutkan, terdengar serak. "Kau berangkat besok subuh."

Kugertakkan gigiku, lalu berbalik ke pintu.

Tanganku masih di kenop saat Ayah mendadak berkata, "Dan jangan kau kira aku tidak tahu apa yang kau perintahkan pada Juan."

Aku membeku. "Apa maksud Ayah?"

"Kau kira Gabriel takkan menemukannya saat mengecek pelabuhan? Anak itu mencoba menginfiltrasi sekolah asrama yang akan kau masuki sambil menyelundupkan tiga peti molotov. Dia kabur saat Gabriel mencoba menangkapnya. Kau tidak akan bisa menghubunginya lagi sekarang."

Aku menoleh kali ini dan menyunggingkan senyum pertamaku setelah seharian merasa depresi. Juan takkan menyiapkan mainannya sampai tiga peti kalau belum mendapatkan lokasi targetnya. Dengan fakta bahwa dia telah menyiapkan bahan pestanya, artinya Juan sudah tahu di mana sekolah itu berada.

"Gabriel hanya mendapatkan mainan dalam petinya, tapi tidak menangkap Juan," kataku. Betapa puasnya hatiku saat mendapati bagian bawah mata Ayah berkedut gugup. "Walau aku tidak bisa menghubunginya, Juan akan menghubungiku."

"Naya—"

Aku membanting pintu sampai tertutup, mengakhiri pertemuan kami. Seluruh rencanaku berantakan. Aku belum beruntung. Namun, belum beruntung artinya keberuntunganku masih ada, dan aku akan mendapatkannya lagi nanti, di saat yang tepat.

Di depanku, Tuan Ajal berdiri sambil memandangi jam saku antik peraknya. Ujarnya, "Aku merasa tidak enak karena gagal menjaga pintumu, jadi biar kuganti rugi dengan memberi tahumu ini: ajudan kecilmu itu masih hidup. Aku tidak tahu di mana kau mendapatkannya, tapi anak itu bakal berumur panjang sekali dan—"

"Dan kegunaannya masih banyak." Aku menutup jam sakunya. "Kau tidak perlu memberi tahu itu. Aku sudah tahu."

"Apakah kalian ini keluarga pengusaha atau mafia?" tanyanya seraya memandangi pintu ruang kerja Ayah di balik punggungku.

"Apa bedanya?" Aku mengangkat bahu. "Kau tidak perlu memusingkan Juan, memikirkan nasibnya, atau bertanya-tanya dari mana asalnya. Kau cukup tahu bahwa Juan itu hartaku yang paling berharga, melebihi hargamu."

Tuan Ajal memasukkan kembali jam sakunya. Kedua tangannya terkait di belakang punggung. "Andai aku punya hati, pasti bakal sakit."

"Tidak masalah kau tidak punya hati. Tapi apa kau punya koper dan baju ganti?" tanyaku. Kugamit lengannya. "Soalnya kau akan ikut aku sekolah ke asrama Circian."

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro