4. Rowan Sudah Berkabung

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Biasanya naluri bertahan hidupku kuat. Saat akan ada marabahaya, secara instingtif aku menghindar atau mempersiapkan diri menyambutnya.

Katakanlah suatu pagi yang cerah orang-orang tengah bersiap untuk jogging, bercelana training wangi habis dicuci dan sepatu olahraga baru, telinga tersumpal headset dan jari-jari tangan mengetuk layar ponsel untuk mengajak pacar mereka lari pagi berduaan. Tiba-tiba hujan badai melanda, tanah amblas dan aspal merekah sampai terbelah merusak sepatu baru mereka, tiang listrik rubuh menimpa sang pacar; yang terburuk, celana training itu hari dicuci lagi. Aku takkan termasuk di antara orang-orang itu. Jika itu terjadi, entah tiba-tiba aku malas jogging, atau ketiduran. Jikalau aku pergi jogging di pagi yang celaka itu, aku takkan memakai celana atau sepatu baru.

Ayahku juga begitu. Misal, suatu senja di mana biasanya dia pergi buat main judi, tiba-tiba dia berbelok ke warung miras dan membeli beberapa botol untuk dibawa. Tepat tengah malam, perkelahian pecah karena salah satu di antara teman-temannya berbuat curang. Ayahku unggul dan berhasil pergi tanpa terluka karena, sementara teman-temannya cuma minum oplosan dari kaleng atau gelas, ayahku masih memegang botol kaca dengan pantat runcing habis dipecahkan ke kepala seseorang.

Jadi, saat akan masuk sekolah asrama, entah kenapa aku mengepak hampir semua barang yang kupunya, yang mana tidak sebanyak itu). Tubuhku seolah merasakan bahwa aku akan memerlukan segala hal yang bisa kubawa. Aku bahkan membawa baju kaus hitam yang biasa kupakai untuk menggali makam bersama Deni. Padahal aku sempat berniat meninggalkannya untuk jadi kain lap di dapur.

Bahkan ayahku seperti ikut merasakan tanda-tanda itu. Dia tidak menyentuh minuman keras selama beberapa hari dan sikapnya tidak seberengsek biasanya—semacam usaha terakhir memperlakukanku selayaknya seorang anak sebelum perpisahan.

Bisa saja ini tak berarti apa-apa. Maksudku, ini akan jadi sekolah asrama pertamaku, jadi kami hanya berusaha meninggalkan kesan baik karena aku takkan pulang sampai liburan akhir tahun nanti. Bukan berarti aku takkan bisa pulang lagi ke sini, 'kan? Aku tak akan mati di seberang pulau ... ya, 'kan?

Ya, 'kan?

Namun, sekeras apa pun aku meyakinkan benakku sendiri, tubuhku juga bergerak dengan sendirinya dan membersihkan kamar tidurku yang hampir kosong. Seolah-olah aku takkan memakainya lagi. Aku bahkan mengurus kucing-kucingku sedikit lebih istimewa daripada hari lainnya. Kukosongkan isi kulkas dan memberikan apa pun yang mau mereka makan, termasuk kornet kalengan yang biasanya dijaga oleh ayahku lebih daripada dia menjaga anak sendiri.

"Bawa saja kucing-kucing itu ke sekolah," gerutu ayahku. Dia masih fokus menonton televisi dan belum melihat ke mana kornetnya pergi. "Aku tidak mau mengurus mereka selama kau tidak ada."

"Mereka aslinya kucing liar," kataku. "Mereka bisa cari makan sendiri." Lagipula mereka lebih mampu menggeledah dapur daripada kau yang bahkan tidak mampu cari nasi sendiri, tambahku dalam hati.

"Kalau kucing-kucing itu muncul di depan kamarku suatu pagi, aku akan—" Ayahku terkesiap saat merasakan salah satu bola bulu itu melintas di kakinya. "Anjing!"

"Itu kucing, Ayah." Aku menjentikkan jari memanggil kucing itu. "Sapi, ayo kemari."

Mata ayahku berkedut. "Sapi—?"

"Sapi India." Aku memberitahunya nama si kucing gemuk berbulu cokelat itu. Lalu, aku menunjuk kucing putih totol hitam yang menggosokkan kepalanya ke tungkaiku. "Kalau yang ini Sapi New Zealand."

"Itu kucing!"

"Memang. Aku tidak pernah bilang mereka ini kerbau."

"Tadi kau bilang kerbau India, anak tak berotak!"

"Aku bilang Sapi India, bukan kerbau."

Ayahku terduduk saat salah satu kucing lain melompatinya, reflek menyumpah. "Asu!"

"Itu namanya Makaroni, bukan Asu," kataku mengoreksinya. Lalu secara berturut-turut, kusentuh kepala kucing-kucing lain yang masih makan. "Ini Selai, yang itu Kopi, lalu Salad dan Maizena—"

"Aku tidak peduli nama-nama mereka!" Ayahku mencoba berdiri lagi saat kucing lainnya menerobos ke antara celah kakinya. "Argh dasar—"

"Kebab." Aku menunjuk kucing di kakinya.

Ayahku memicingkan matanya jengkel, lalu tampaknya menyadari kaleng kornet kosong di lantai. Dia mengeluarkan berbagai macam nama hewan yang bisa menambah stok nama untuk kucing-kucing baru di masa mendatang.

Sebelum masalah tambah besar, aku buru-buru dan berderap ke luar bersama tas-tasku.

"Ayahmu tampak baik sekali pagi ini," ujar Deni, yang rupanya sudah duduk di undakan terbawah ke arah jalan, menungguku di depan pintu.

Aku bisa merasakan dia jujur dan bukannya sedang menyindir. Bahkan dengan nama-nama hewan yang dijeritkan ayahku di dalam rumah, kami berdua sepakat bahwa ayahku bertingkah lebih baik daripada yang pernah dilakukannya.

"Kami tidak bertukar tinju sama sekali sejak kemarin." Kubiarkan Deni membantuku membawa salah satu tas yang paling besar. "Harusnya sejak dulu aku masuk sekolah asrama saja. Dia menahan emosinya dengan baik sejak tahu Ibu mendaftarkanku ke Circian."

"Kudengar sekolah itu untuk anak-anak yang tidak bisa dijebloskan ke penjara karena belum cukup umur buat diadili." Dia mengedik ke arah pintu rumahku. "Harusnya ayahmu yang didaftarkan ke sana."

"Tidak bisa. Ayahku tidak punya ijazah SMP," tukasku sambil menarik dua tas lain menjauhi jangkauannya. "Biar aku saja yang bawa ini."

"Perjalananmu jauh, Rowan. Ada yang bilang sekolah itu jaraknya dua jam naik kapal laut." Dia berusaha mengambil alih semua barangku, tetapi aku bersikeras membawa semuanya sendiri. "Rowan—"

"Deni, kau tidak bisa memperlakukanku seperti bocah 10 tahun selamanya."

Tebersit perubahan ekspresi pada wajahnya, yang kemudian langsung dia atur jadi datar lagi. Seolah-olah dia merasa terluka dengan ucapanku barusan. Dulu dia memperlakukanku seperti adik kecil, kini dia bersikap seperti seorang ayah yang akan kehilangan anak laki-lakinya, lebih daripada ayahku sendiri.

Bagiku dia masih kakak sepupu terbaik dan tukang gali kubur paling keren sedunia, tetapi caranya bersikap dan memperlakukanku seperti ini membuatku jengah. Aku teringat hari-hari kelam saat aku masih bocah kecil tidak berdaya yang selalu lari ke rumahnya sebelum Bibi Tiana meninggal. Hari-hari di mana aku hidup seperti benalu untuk sepupu dan bibiku, terlalu kecil dan lemah untuk membantu, tetapi terlalu besar untuk rumah kecil dan jatah beras mereka. Namun, aku tidak punya pilihan selain jadi beban. Tiap Ayah mabuk, dan aku terlalu lemah untuk melawan, rumah mereka adalah satu-satunya pengungsianku.

Mau tak mau aku diserang rasa bersalah tiap kali Deni bertingkah seperti bapak-bapak setengah baya. Dia dewasa terlalu cepat, dan aku adalah salah satu penyebabnya.

Kami pergi ke pelabuhan dengan menumpang truk barang dan mobil pikap. Deni dan aku sudah sering melakukan ini saat masih kerja serabutan. Kota kami kecil, ada penggali kubur selain kami, dan tidak setiap hari ada yang mati, jadi tentu saja Deni butuh pekerjaan lain.

Biasanya kami berangkat subuh-subuh, membantu mengangkut dan mengecek kargo dari pelabuhan untuk dibawa ke kota, dan hasilnya bisa menjamin isi perut selama beberapa hari. Kami lakukan itu sebelum jadi korban pungli di tengah jalan. Dari sana, kami tahu bahwa menghadang truk barang di jalanan sunyi dan memalak sopirnya malah lebih menguntungkan. Jadi, kami melakukannya—memalak orang-orang yang nasibnya sama dengan kami.

Sepanjang jalan menuju pelabuhan, Deni begitu diam. Aku mengajaknya mengobrol, menunjuk baliho yang pernah kami panjati saat terlibat tawuran, mengingatkannya hari-hari menyenangkan saat kami berdua merampok sebuah vespa yang malah mogok di tengah jalan. Namun, respons Deni hanya "Hmm," dan "Ya, aku ingat," sebelum terdiam lagi.

Saat aku menyerah mengajaknya bicara, Deni akhirnya berkata, "Apa yang mesti kulakukan kalau kau tidak ada di sini?"

Terjadi keheningan canggung yang cukup lama karena aku tidak tahu harus menjawab apa.

Mungkin selama ini aku salah sangka. Bukan hanya aku yang jadi 'anak kecil yang bergantung pada Deni'. Deni sendiri menggantungkan seluruh hidupnya padaku. Apapun yang kukerjakan, dari yang berbahaya sampai yang ilegal, dia selalu mengikuti dan menjagaku. Setelah Bibi Tiana tiada, energinya untuk mencemaskanku jadi bertambah. Dia tidak punya ibu yang sakit-sakitan lagi untuk dijaga. Dia tidak punya keluarga lagi. Dia juga tidak punya perempuan untuk dikencani atau dinikahi.

Seumur hidupnya, Deni selalu mencemaskan dan menjaga seseorang, entah itu aku atau mendiang ibunya. Sekarang Bibi Tiana sudah tidak ada, dan aku bakal pergi ke sekolah asrama, apa yang akan dilakukannya? Apa yang tersisa untuk sepupuku yang sebatang kara?

"K-kau punya impian membangun rumah baru, jadi—"

"Tidak lucu, Rowan," potongnya cepat. Pemuda itu lantas membuang muka dan menutup mulutnya sama sekali.

Aku salah bicara.

Impian membangun rumah baru itu dimilikinya saat ibunya masih ada. Terakhir kali dia mengungkitnya lagi adalah saat kami memakamkan ibunya—Deni bergumam menyedihkan saat itu, bahwa satu-satunya rumah baru yang bisa dia berikan untuk ibunya malah liang lahad.

Kami tidak saling bicara lagi setelahnya. Bahkan saat kami sampai di pelabuhan dan menunggu kapal penyeberangan datang, kami hampir tidak bertukar kalimat apa pun. Setidaknya sampai kapal itu datang menjelang sore. Deni akhirnya berkomentar, "Sepertinya lebih baik berenang ke seberang daripada naik itu."

Aku ingin sependapat. Feri itu tampak sudah tua dan kelihatannya pernah menabrak karang, disapu gelombang laut besar, disedot pusaran air dan dimuntahkan lagi keluar, lalu diperbaiki seadanya sebelum dipaksa beroperasi kembali. Dari caranya berlabuh saja sepertinya kapal itu mencoba membunuh siapa pun yang berdiri terlalu dekat di dermaga. Kukeluarkan kameraku dan memotret.

"Kau mau bikin foto terkutuk atau apa?" tanya Deni. "Kapal itu pasti banyak hantunya."

"Maka lebih banyak alasan bagiku untuk mengambil fotonya."

Hanya Deni yang tahu seberapa kerennya kameraku. Ini kamera bekas peninggalan seseorang yang sudah mati, diberikan oleh Tuan Mal saat aku membantunya dulu.

Kami berdua pernah menggali kubur malam-malam dan tahu benar betapa nyatanya gangguan makhluk halus itu. Kami tidak secara otomatis jadi ahli dalam hal astral atau percaya buta pada pengalaman paranormal, tetapi setidaknya kami tahu hal-hal macam itu ada.

Kamera ini, beserta seluruh isi tasnya, adalah salah satu buktinya.

Kamera ini tidak memiliki baterai atau sumber energi apa pun. Selalu ada rol film di dalam tasnya, dan anehnya tak pernah ada satu rol pun yang rusak meski tidak kusimpan di dalam kulkas. Satu kali aku menggunakan rol film lain, tetapi kameranya menolak menyala. Ia hanya berfungsi saat aku menggunakan apa yang tersedia di dalam tasnya. Dan, tiap kali mencuci hasil potretan, selalu ada hal-hal lain yang muncul dalam gambar.

Wanita setinggi tiga meter.

Pemuda dengan leher patah.

Pria tua yang memiliki pisau mencuat dari sisi kepalanya.

Tiga anak kecil mengambang di atas danau.

Seorang remaja yang memiliki banyak luka sayat di pergelangan tangannya, berpose dengan dua jari terangkat menghadap kamera.

Kadang kala mereka tidak berbentuk jelas. Kadang hanya sinar buram atau bercak di udara, yang sulit dibedakan dari biasan cahaya atau tipuan optik. Kadang pula hasilnya gelap seolah foto diambil malam hari, padahal aku yakin pengaturan cahayaku sudah tepat.

Sesekali, aku memanfaatkan ini untuk mencari uang. Hasil jepretan penampakan biasanya mahal, tetapi tentu saja tak semua orang percaya. Aku harus berhati-hati untuk mengurangi risiko dituduh penipu atau kemungkinan kamera ini diambil dariku.

"Kudengar, di Circian ada klub fotografi dan jurnalistik," kataku sembari menyimpan kembali kamera ke dalam tas. "Aku bisa mencuci fotonya dengan bergabung di sana. Lagi pula, aku pasti akan sering memotret. Sekolah selalu banyak hantunya. Dan Circian pasti bukan pengecualian. "

"Menurutku, justru terutama kau akan memotret banyak hantu di Circian. Jangan lupa, Rowan, sekolah ini punya prestasi buruk. Bagaimanapun, ini sekolah untuk para begundal."

Aku melibaskan tangan. "Bakal seburuk apa, sih."

Seorang pria menyambutku di dermaga dan menanyakan surat bukti pendaftaranku. Seragamnya hitam-putih, rapi dan tampak tak bercela, hingga dia tampak salah tempat berdiri dengan latar belakang kapal buruk rupa ini. Umurnya barangkali seperempat abad atau awal 30-an. Di bagian lengan atas seragamnya sebelah kiri, terdapat lambang sekolah Circian yang sama dengan kepala surat bukti pendaftaranku—gagak hitam dan mepati putih yang membentangkan sayap dan saling silang, dibingkai tulisan CIRCIAN yang dibordir sewarna perak pada bagian bawahnya. Pada saku kemejanya, terkait tanda pengenal bertuliskan ZIDANE.

"Kupikir, mereka bercanda saat mengatakan akan ada kapal khusus yang menjemput calon siswa baru," ujar Deni blak-blakan. "Kalian sungguh habis-habisan demi satu anak seperti ini? Dan kalian melakukannya untuk semua siswa baru? Aku yakin bukan hanya Rowan yang masuk tahun ini. Kapal ini sudah tua, mustahil bisa keliling ke sepenjuru negeri, menjemput semua siswa."

Zidane menanggapi sikap Deni dengan senyum terlatih. Pasti ini bukan pertama kali dia menerima tanggapan macam itu. "Percaya atau tidak, kami memang menjemput semua calon siswa baru seperti ini."

"Itu tidak menjawab kekhawatiranku."

"Karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Zidane tersenyum menenangkan, dan untuk suatu alasan aku mempercayainya begitu saja. Bahkan Deni tidak bertanya lagi, seolah dia ikut menelan ucapan Zidane bulat-bulat.

Setelah menaikkan semua barang-barangku, Zidane mengantarku ke ruang penumpang yang dipenuhi kursi kosong. Sebuah layar televisi mati tergantung di seberang ruangan. Satu pintu mengarah ke toilet, pintu lain mengarah ke ruang lesehan, dan satu pintu lagi untuk keluar-masuk. Tirai gelap menutup hampir semua jendela, menghalangi akses cahaya dari luar. Semua lampu yang menyala membilas habis warna senja dalam ruang dan membuat segalanya tampak biru-putih temaram. Alih-alih berpenerangan hangat, ruangan ini terasa lebih dingin dan terisolasi.

"Ah, aku harus bilang sampai jumpa ke Deni—" Aku menoleh, dan pintu sudah ditutup di balik punggungku. "Zidane?"

"Kami akan memberi tahu jika sudah sampai." Suara pria itu terdengar dari balik pintu, lalu terdengar langkah kakinya menjauh.

Aku mengerjap, mendadak merasa ganjil karena tidak bisa ingat wajah Zidane sama sekali. Padahal aku yakin menatap matanya saat bicara. Lalu, dia terus-terusan bilang 'kami', padahal aku tidak melihat siapa-siapa lagi dalam kapal ini selain kami berdua.

Aku menatap seisi ruangan yang sunyi. Cuma ada aku di sini. Aku bahkan tidak tahu barang-barangku di mana. Apa ini normal?

Aku mencoba menyalakan televisi, tetapi salurannya hanya ada satu, dan sedang menayangkan acara konser musik klasik yang bukan gayaku. Namun, televisinya tidak bisa dimatikan lagi setelah kuhidupkan. Volume-nya pun tidak bisa diubah. Aku mencoba menyalakan kipas angin, AC, dan pemutar musik—hanya untuk memastikan ada yang bisa dinyala-hidupkan dengan benar di sini. Aku langsung menyesalinya karena, setelah dihidupkan, semuanya tidak bisa dimatikan. Aku telah membuat ruangan ini tiga kali lebih dingin. Suara di pemutar musik pun sama dengan yang ada di televisi, mengalun memberi kesejukan yang sama sekali tak kuperlukan saat ini.

Aku mencoba pergi ke ruangan lain, tetapi semua pintunya tidak bisa dibuka. Bukan 'terkunci', tetapi benar-benar tidak bisa dibuka. Kenopnya tidak bergerak, daun pintunya bergeming seolah ia adalah bagian dari dinding. Bahkan pintu toilet. Kuutak-atik palang tulisan toilet itu, berpikir bahwa mungkin ada mekanisme rahasia atau sebagainya. Nihil.

Haruskah aku menjebol jendela dan terjun ke laut?

Aku merosot duduk ke salah satu kursi, mencoba menenangkan diri sejenak. Mungkin aku harus membuka tirai agar aku tahu apakah kapal sudah bergerak atau belum.

Aku pernah naik kapal feri sebelumnya—feri bobrok, yang jauh lebih nyaman daripada kapal ini. Aku bisa merasakan semua pergerakan kapal saat itu, tiap gelombang yang kami lewati, dan masih mendengar suara bising mesinnya. Namun, di sini tidak demikian.

Rasanya seperti bukan di dalam kapal. Aku bahkan ragu apakah kami masih di perairan.

Sebelum kusadari, aku sudah setengah lelap. Padahal aku yakin aku tidak mengantuk ataupun lelah. Aku bukan tipe anak yang gampang lelah. Aku bisa pulang-pergi naik bak truk tanpa tidur dua hari, dan masih punya energi ekstra untuk bertengkar dengan ayahku setelahnya.

Konyolnya, aku merasa mulai rindu rumah, kucing-kucingku, Deni, bahkan juga ayahku yang pemabuk kejam dan sering menghajarku.

Sebelum hilang kesadaran sepenuhnya, telingaku mendadak fokus pada lagu klasik di televisi, hanya untuk tersadar bahwa lagu itu tidak lagi berasal dari televisi. Ini suara seseorang yang sedang berada dalam ruangan bersamaku. Lalu, suara-suara itu bertambah dengan obrolan orang dewasa, tawa banyak orang, serta tangisan anak-anak, seolah ruangan ini penuh sesak oleh penumpang.

Saat itulah aku ketiduran. Jadi, kurasa itu semua hanya mimpi, termasuk suara cekikikan heboh di kursi sebelahku.

"Rowan?"

Aku mengerjap. Seluruh tasku sedang kubawa.

Kapan aku turun dari kapal? Kapan kami sampai? Kapan aku bangun dari tidur?

Aku berdiri di dermaga, menghadap jalan beraspal yang mengular menuju bukit berhutan lebat. Tampak sebuah bus merah berlogo Circian menunggu kami di sana.

Zidane membantuku menaikkan barang-barangku lagi ke bus. Dia sedang mengatakan sesuatu, yang tidak terlalu kuperhatikan karena terlalu sibuk menatap sekitar. Ini sudah malam, tetapi udara jauh lebih hangat—mungkin karena aku baru saja keluar dari ruang penumpang dalam kapal itu, yang setelah kuingat lagi, agak mengingatkanku pada lemari pendingin penyimpanan mayat.

Bagaimana aku bisa tahu? Karena aku pernah masuk ke sana satu kali untuk berburu foto. Tentu saja aku diringkus setelahnya dan hampir dikeluarkan dari sekolah untuk keenam kalinya.

"Rowan?" Suara Zidane terdengar lagi. "Kau mendengar penjelasanku?"

"Ya," dustaku. "Jadi, aku akan diantar ke asramaku malam ini dan sekolah besok."

Zidane tersenyum. "Ya, dan tidak. Kau memang tidak menyimak penjelasanku."

"Maaf," kataku malu.

"Tidak masalah." Dia menunjuk bus yang menunggu. "Kau akan diantar ke asrama malam ini. Besok, kau bisa mengambil segala keperluan—seragam, jadwal, dan sebagainya. Kepala Asrama akan memandumu untuk mengenali lingkungan asrama. Sekolah sendiri baru dimulai minggu depan, jadi kau akan punya banyak waktu untuk membiasakan diri."

"Mengerti."

"Dan sepupumu sudah lebih dulu pergi ke dalam bus."

"Oke—tunggu ... apa?"

"Sepupumu." Zidane mengulangi. "Nah, inilah kenapa kau harus menyimak, Rowan. Aku sudah menjelaskannya. Dua kali. Kami menawari sepupumu pekerjaan di sini karena kami kekurangan staf. Dia langsung menerimanya."

Biasanya aku cukup perhatian. Aku jarang linglung seperti ini. Terutama, jika pria ini bilang bahwa Deni sejak tadi ikut bersama kami naik kapal dan akan menetap juga di sini, seharusnya aku dengar. Mustahil aku melewatkan hal semacam itu.

Apakah aku sedang tidak enak badan aku semacamnya?

Aku jadi kesal. Pada ibuku, yang membuatku terjebak di sini. Pada ayahku, karena dia pasti menikmati waktunya sendirian di rumah tanpa kehadiranku. Pada Deni, karena tidak menemuiku sepanjang perjalanan laut tadi. Terutama pada diriku sendiri, karena memilih waktu yang sangat tidak tepat untuk merasa tidak fit.

Saat naik ke bus, aku langsung melihat Deni duduk di belakang sopir, lengan bersedekap dan kepala bersandar. Matanya sayu seperti mengantuk.

Aku mengambil kursi di sebelahnya dan langsung bertanya, "Ke mana saja kau? Kenapa tidak langsung menemuiku saat di kapal?"

Deni mengernyit. "Apa yang kau bicarakan? Aku terus di belakangmu sejak tadi."

"Hah?"

"Aku terus bersamamu, Rowan. Kau yang justru meninggalkanku saat Zidane sedang bicara di dermaga dan menawariku pekerjaan. Kau masuk begitu saja ke ruangan penumpang lebih dulu. Saat aku menyusulmu—"

"Wow! Tunggu dulu!" Aku menyetopnya. "Zidane mengantarku ke ruangan itu."

"Dia bicara denganku saat kau masuk sendirian." Deni berkeras. "Aku menyusulmu dan mengajakmu bicara, tapi kau mengabaikanku. Kau malah memainkan televisi dan kipas angin, lalu tidur. Jadi, aku ikut tidur."

Apakah aku sedang sakit keras? Atau Deni yang melantur?

Mesin mobil dinyalakan. Saat bus mulai melaju, aku menempelkan sisi kepala ke kaca jendela sambil memijat tengkuk. Tampak Zidane di sisi jalan, membelakangi dermaga, melambaikan tangan pada kami.

Aku mengerutkan kening. Tidakkah pria itu akan ikut dengan kami ke asrama? Memang dia akan tidur di mana? Di hutan? Di kapal angker itu?

"Zidane," kata Deni, "benarkah aku akan dapat tempat sendiri? Dan semua fasilitas serta tunjangan yang kau janjikan itu? Aku benar-benar tidak membawa apa-apa ke sini selain yang melekat di badan karena awalnya aku hanya ikut untuk mengantar Rowan."

Aku menoleh secepat kilas sampai sisi kepalaku menggesek kaca jendela dengan keras. Mataku melebar saat mendapati Zidane duduk di belakang setir.

"Jangan khawatir," sahut Zidane yang ini. Aku menoleh lagi ke kaca, berusaha mencari Zidane yang itu, tetapi kami sudah terlalu jauh dari dermaga. Hanya ada jalan gelap tak berujung dan pepohonan yang kian rapat menutup pemandangan laut di belakang. Aku menoleh lagi dan melihat Zidane sedang tersenyum santai sambil menjelaskan dan memperhatikan jalan. "Kami justru bersyukur bisa mendapatkan staf di saat yang tepat. Orang sebelum dirimu berhenti tadi siang."

"Jadi, siapa yang mati?"

"Entahlah. Kami juga tidak tahu. Kami hanya disuruh mencari staf baru saat menjemput para calon siswa baru hari ini juga karena pemakamannya harus dilaksanakan malam ini."

Rahangku mengencang. "Pekerjaan buat Deni ... jangan bilang—"

"Apa lagi selain penggali kubur." Deni mengangkat bahunya. Dia bersandar kian nyaman di kursinya dan melonggarkan kancing atas kemejanya. "Kau beruntung tidak perlu mencari jauh-jauh, Zidane."

Zidane melirik spion di tengah dan membalas dengan senyum. "Benar. Dan kami benar-benar minta maaf karena langsung menyuruhmu bekerja malam-malam, padahal kau baru sampai."

"Santai saja. Aku sudah biasa melakukan ini."

"Siapa yang mati?" tanyaku penuh penekanan. "Siswa? Guru? Staf sekolah? Kenapa dikuburkan di sini? Kenapa tidak dipulangkan—"

"Kami pun tidak tahu siapa yang meninggal, Rowan," jawab Zidane lagi. "Tapi, biasanya juga begini. Pihak sekolah sudah mendapat izin dari pihak keluarga jikalau ada siswa atau staf yang meninggal di pulau. Pemulangan jenazah tidak mudah dilakukan, terutama jika tujuannya jauh. Kebanyakan pihak wali menyerahkan sepenuhnya pada pihak sekolah—dengan kata lain, mereka lepas tangan. Ini mungkin terdengar kejam bagimu, tapi Circian sudah sering menerima kriminal di bawah umur dan anak hasil hubungan gelap pejabat sebagai siswa. Anak-anak yang takkan dicari meski mereka tidak ada. Kalau ini bisa membuatmu lebih baik, kejadian macam ini tidak sering terjadi. Kebetulan saja ada yang meninggal hari ini, dan tidak ada guru yang mau menggali tanah pekuburan. Sekolah Circian berusaha sebaik-baiknya untuk membuat semua anak menjadi lulusan terdidik dan pribadi—"

"—yang lebih baik dari sebelumnya. Dedikasi kami terjamin untuk memperbaiki masalah mereka dan mengembalikan anak-anak Anda untuk berfungsi kembali ke masyarakat." Deni dan aku melanjutkan kalimat slogan itu. Ibuku mengulangnya belasan kali saat mencoba menjelaskan padaku, mati-matian menenangkanku karena saat itu aku hampir memukuli bumper depan mobil mewah suaminya pakai palu.

"Kau tidak perlu ikut, Rowan," kata Deni seraya menepuk-nepuk bahuku. "Kau pasti lelah."

"Aku tidak mungkin membiarkanmu menggali tanah sendiri malam-malam."

Zidane memasang senyum sedih dan tatapan bersimpati, disampaikannya pada kami lewat spion. "Siapa pun yang meninggal itu, pasti beruntung sekali karena setidaknya sudah ada dua orang berkabung yang akan menghadiri pemakamannya. Kalian anak-anak baik. Semoga pemakaman kalian nanti juga dipenuhi pelayat."

Aku tersandar ke sandaran kursi, mendadak merasa kepayahan. Aku teringat baju kaus hitam di tasku dalam bagasi bus, yang tadinya hendak kutinggal di rumah  karena kupikir tidak ada gunanya membawa baju lusuh kekecilan itu. Seharusnya aku tak perlu menggali makam siapa-siapa di sekolah asrama.

Apa-apaan ini? Ini bahkan belum hari pertama sekolah, dan aku sudah harus berkabung untuk orang yang bahkan tak kukenal?!

(*゚ー゚*) Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


Guys liat neeeh '-')/

Hadir barengan untuk menyedot kantong kalian sampai kering (ノ◕ヮ◕)ノ*:・゚✧

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro