{ 1 | b l o o m }

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Prompt 1:
Penciptaan

── * ‹ ° . . ° › * ──

Julian telah hidup mandiri sejak ditinggal kedua orang tuanya, tepatnya saat ia berumur dua belas tahun. Keluarganya mempunyai sebuah ladang bunga kecil, maka tempat kesukaannya adalah ladang bunga milik orang tuanya di lembah sana, tempat ia bisa menyendiri dan mendapat kedamaian, dan kegiatannya sehari-hari adalah memetik bunga-bunga untuk disalurkan kepada pemilik toko bunga.

Sekarang, semenjak kepergian orang tuanya, ia mengurus ladang bunga itu sendirian, mulai dari menanam, hingga mengantarkan bunga-bunga ke pemilik toko bunga.

Saat itu, seperti biasa, ia tengah mengumpulkan bunga di ladang miliknya. Mawar, lavender, bunga matahari, tulip, dan anggrek. Bibi Lauren, pemilik toko bunga itu, memang memesan banyak sekali jenis bunga untuk esok hari. Benar-benar hari yang melelahkan, diletakkannya bunga itu di atas meja, lantas ia tinggal tidur. Tanpa sengaja ia telah menyenggol sebuah botol kaca, menumpahkan cairan yang ada di dalamnya ke bunga-bunga itu.

Botol kaca itu memang sudah ada di sana sejak dulu, sebelum keluarga Julian menempati rumah ini. Tak ada dari anggota keluarga mereka yang berani mengetahui apa gerangan yang mengisi botol itu, bahkan menyentuh pun enggan. Di sana jiwaku ada. Aku pernah hidup, diciptakan oleh seorang penyihir, ditransformasikan menjadi sebuah serum karena kesalahan yang pernah kuperbuat.

Berpuluh-puluh tahun jiwaku mendekam dalam sebuah botol kecil, tak bisa melihat, mendengar, membau, dan bergerak. Hingga akhirnya aku lolos, tumpah di atas bunga-bunga. Meleburkan bunga-bunga tersebut. Mewujud kembali sebagai gadis bunga. Aku lahir kembali, dalam wujud baru.

Tertatih-tatih jalanku, masih merasa-rasakan bagaimana rasanya berwujud padat, punya kaki, tangan, dan indera yang utuh. Cermin adalah hal pertama yang kutuju.

Tanganku meraba wajah, menyisir rambut dengan jemari, mengibas-ngibaskan tangan di depan cermin. Aku tampak sangat berbeda.

Kulitku seputih anggrek, mataku berwarna kuning, berkilat keemasan serupa bunga matahari, bibirku merah seperti bunga mawar, begitu pula dengan pipiku yang merona. Rambutku cokelat panjang, bergelombang, dan hampir keriting. Pakaianku gaun merah muda, bentuknya seperti bunga tulip. Wangiku semerbak seperti lavender.

Kemudian aku dikejutkan dengan kedatangan seorang anak lelaki yang dari fisiknya tampak seumuran denganku. Aku terkejut, begitu pula dengannya. Hal pertama yang laki-laki berkulit sawo matang itu lakukan adalah teriak di depan wajahku, dan menuduhku sebagai penyusup. Aku langsung menceritakan asal-usulku kepadanya sehingga ia terbungkam.

Aku masih ingat beberapa patah kata yang kuucapkan saat itu, saat dia sedang panik menyadari bahwa semua bunganya telah raib. "Aku akan mengganti semua bungamu. Nanti, saat musim semi tiba, ajaklah aku ke tempat di mana bunga-bunga itu berasal."

Mulanya, aku diperlakukan bagai aib, disembunyikan dan tak boleh ada seorang pun yang tahu. Bahkan lelaki itu pernah menyuruhku pergi dari rumahnya dan tinggal di tempat lain. Namun, seiring berjalannya waktu ia mulai terbiasa dengan keberadaanku. Puncak di mana ia benar-benar menerima kehadiranku adalah ketika ia mengajakku ke ladang bunga miliknya. Ketika itu aku baru menyadari kemampuanku, aku bisa berbicara kepada bunga-bunga yang ada di sana. Aku merasa mempunyai koneksi batin terhadap bunga-bunga itu. Aku dapat mengetahui bahwa mereka sedang ingin disiram, atau perasaan mereka tentang cuaca hari ini.

Mulai saat itu ia mulai memperlakukanku layaknya manusia pada umumnya. Julian mengajariku tentang kehidupan sehari-hari, seperti cara menggunakan barang-barang di rumahnya agar aku tak merusah barangnya lagi. Aku lupa siapa namaku, maka ia mencarikan nama untukku. Flora adalah nama baruku. Bahkan ia mulai mengajakku berkenalan dengan teman-teman di kampung itu.

Aku belajar banyak hal di kehidupanku yang sekarang. Zaman sudah berbeda dengan waktu di mana dulu aku hidup. Apa ini tempatku? Apa aku memang ditakdirkan untuk hidup di sini?

Hari ini sudah mulai memasuki akhir bulan Maret, salju yang turun tak sederas sebelum-sebelumnya. Julian tampak sendu, seharian ini dia hanya terduduk di kursi, bertopang dagu seraya melihat ke luar jendela. Aku hanya terduduk di lantai, menatap sahabatku itu. Biasanya ia berbicara banyak hal kepadaku. Aku tak mengerti apa yang mengganjal di pikirannya hari ini.

"Julian ...." Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya.

Ia tak merespons, lelaki itu terus mengarahkan manik cokelatnya pada dunia luar yang menurutku, pemandangannya biasa saja, tak ada yang benar-benar mencolok sehingga menarik perhatian.

Ia mengembuskan napas kasar, lantas sedikit menunduk. "Aku juga tak mengerti, Flo."

Aku berusaha menelaah mimik wajahnya, tapi sayang membaca pikiran manusia tak semudah membaca pikiran bunga.

Lelaki itu tampak gelisah, seperti tengah dihadapi dua pilihan sulit.

Beberapa menit kemudian Julian memutuskan untuk berdiri. Ia berjalan ke arah dapur. Tak berapa lama ia keluar sambil membawa dua cangkir teh, duduk di sampingku dan menyodorkan salah satu cangkir tersebut.

Aku berjengit sejenak. Tak biasanya ia begini. Biasanya 'kan, aku yang membuat teh.

"Kau suka teh 'kan? Nah, di cuaca dingin seperti ini lebih baik minum teh panas," ujarnya disertai cengiran di akhir. Kalimatnya terasa agak ... canggung, seperti ada sesuatu yang ditutupi.

Aku tak menghiraukan hal tersebut, langsung saja aku menyambar teh yang dibuatnya.

"Lebih enak buatanku," komentarku setelah menyesap teh tersebut.

Ia terkekeh kecil. "Besok kau ingin aku membawamu ke ladang?"

Aku mengernyit sejenak. "Ohhh ..., aku ingat, besok hari pertama musim semi ya?" Suasana hatiku berubah cerah. Yang kuingat tentang musim semi hanya tidak ada salju lagi, tapi entah alasan khusus apa yang membuat diriku diselimuti luapan antusiasme. Aku tak sabar menunggu musim semi tiba besok.

***

Pagi-pagi sekali aku bangun, lalu aku juga membangunkan Julian di kamar tidurnya.

Ia bergumam, wajahnya tampak gusar saat aku membangunkannya. Lantas daripada menunggu lelaki itu bangun, aku ke luar, membuka gorden dan jendela, lalu bersih-bersih rumah, tak lupa menyajikan dua cangkir teh di atas meja.

"Rajin sekali," ucap seseorang yang baru kusadari telah berdiri di belakangku. Aku hanya menoleh padanya dan tersenyum.

"Selepas ini temani aku ke ladang, ya!"

Aku terlonjak senang. "Oke!"

***

Kami berjalan ke ladang. Hari ini sebetulnya tampak normal. Hanya saja sebagian salju yang kerap menyelimuti desa ini sudah meleleh. Para warga terlihat menjalani aktivitasnya seperti biasa, masih dengan mantel yang rapat terpasang di tubuh mereka.

Hari ini tatapan Julian tampak lebih sedih dari kemarin, tetapi senyumnya terus mengembang sejak tadi.

Tempat pemukiman penduduk itu tak jauh dari lembah di mana terdapat ladang bunga milik Julian, sehingga kami tak perlu waktu lama untuk jalan ke sana.

Begitu di sana, aku merasakan semua bunga-bunga yang ada di sana memanggil-manggil namaku. Aku merasa ... inilah tempatku, bersama mereka.

"Apa yang ingin kau lakukan di sini?" tanya lelaki berambut ikal itu.

Aku sendiri tak tahu, tapi aku ingat, aku telah berjanji akan mengembalikan bunganya waktu itu.

"Aku ... tercipta karena kesalahan." Kata-kata itu lolos begitu saja dari bibirku.

"Dan kau adalah kesalahan paling indah yang pernah kubuat." Air mata menggenang di pelupuk matanya, tapi ia terus menahannya agar tidak tumpah.

"Jika aku tak teledor waktu itu ... kau tak akan ada di sini. Aku akan terus jadi anak yang kesepian." Ia tersenyum tulus.

"Terima kasih ..., Flora, terima kasih ...—"

Belum sempat Julian menyelesaikan kata-katanya, wujudku telah memudar. Mulai dari kaki, hingga naik ke atas. Aku berusaha tersenyum di saat-saat terakhirku. Aku memudar, aku hilang. Hal terakhir yang kulihat adalah wajah Julian yang berderai air mata.

Aku tercipta dari sebuah kesalahan. Aku adalah sebuah kesalahan. Julian bilang aku adalah kesalahan paling indah yang pernah ia buat.

Janjiku telah kutepati. Aku memang tak lagi berwujud sebagai seorang gadis, tapi aku tetap ada di dunia ini. Aku ada di ladang bunga, tumbuh di taman, menghiasi seluruh kota. Wujudku telah berubah, tapi ingatanku tetap sama. Inilah yang disebut dengan musim semi, di mana bunga-bunga bermekaran, udara sejuk, dan sinar matahari yang hangat.

Aku ... adalah kesalahan paling indah di dunia.

── * ‹ ° . . ° › * ──

Jika kalian menemukan kesalahan penulisan, typo, atau keanehan dalam cerita mohon dikoreksi dan dimaklumi, karena cerita ini diketik spontan tanpa pengecekan ulang, dan ...—

//mencoba mencari excuse lain untuk menutupi kenganuan cerita ini

Sekian.

Senin, 1 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro