{ 2 5 | g r a n d m a }

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Nenekku usianya kisaran 80 tahun. Meski dia bisa dibilang sudah tua, tetapi dia masih tetap bugar layaknya orang usia produktif. Jika dilihat sekilas, orang-orang tak akan mengira bahwa usianya sudah kepala delapan. Ia masih rajin jalan-jalan keliling kompleks setiap pagi dan masih senang berolahraga jika cucu-cucu dan anak-anaknya bermain olahraga.

Yah, bisa dibilang dia sedikit eksentrik. Gaya berpakaiannya masih seperti anak muda. Ia senang memakai kemeja kotak-kotak dan celana jins. Tiap kali datang, aku selalu melihat bibirnya dipulas lipstik warna merah. Demi menutupi uban yang ada di kepalanya, ia mengecatnya dengan warna ungu kemerahan.

Yang paling kusuka tentang dia adalah rumahnya. Keluargaku selalu berkunjung ke tempat tinggalnya saat liburan. Kami selalu menginap di sana barang lima hari atau seminggu. Seperti pribadinya, dia punya rumah yang unik. Dia tinggal di atas danau, di dalam kapal.

Sejak Kakek dan Nenek baru menikah, mereka bersama-sama memodifikasi sebuah kapal menjadi rumah yang akhirnya bisa mereka tinggali. Hanya saja rumah kapal itu baru benar-benar bisa ditinggali sepuluh tahun terakhir ini—ada beberapa hal yang membuat rencana tertunda itu baru dilanjutkan. Sayangnya, kakekku tak sempat merasakan tinggal di dalam kapal.

Sesungguhnya bisa saja kapal yang menjelma jadi rumah itu berlayar di danau sebagaimana seharusnya sebelum disulap dulu, tapi Nenek memutuskan untuk mengikat rumah tersebut kuat-kuat pada pasak yang tertancap sehingga ia tak bisa bergerak terlalu jauh.

Rumah itu kecil, tapi sangat nyaman dan sangat bernuansa alam. Danau itu airnya tak terlalu jernih, tapi segar. Di sekitarnya banyak pohon-pohon yang membuat suasananya semakin asri—meski banyak nyamuk.

Dan ada satu hal lagi yang unik dari nenekku. Nenekku ini tak kenal maut. Dia menyetir seperti tanpa hambatan, bebas, lepas, menguji nyali, menguji kerekatan jiwa pada raga.

Aku pernah dibonceng dia naik motor untuk pergi ke minimarket, dan, sumpah, aku trauma. Aku sempat lumayan khawatir sebab nenekku usianya sudah sepuh dan masih nekat menyetir motor, tapi setelah ia mengambil alih kemudi, aku lebih takut pada diriku sendiri.

Dia melesat membelah jalanan, tak memedulikan umur yang sudah kepala delapan, tak bahwa di boncengannya ada remaja usia enam belas tahun yang belum menikah atau bahkan lulus SMA, dan ... tak peduli polisi tidur. Dibonceng Nenek adalah sebuah mimpi buruk. Polisi tidur seolah tak tampak dan tak terasa untuknya, tetapi untukku tiap kali motor yang ia kendarai melewati tiap gunduk polisi tidur, aku merasakan asam lambungku terkocok-kocok. Sungguh, aku sudah protes pada nenekku, tetapi dia tidak dengar.

Setelah turun dari motor, aku seolah melayang-layang, dan aku sungguhan terkena masuk angin habis itu. Aku tak tahu pasti apa memang betul karena dibonceng Nenek atau karena faktor lain, pokoknya aku masuk angin dan trauma dibonceng Nenek.

Kamis, 25 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro