Chapter 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kita mulai, ya?" tanya Jani meminta persetujuan Maga. 

Sedikit susah membujuk Maga Shaquille karena wawancara kali ini dilaksanakan mendadak, seperti tahu bulat yang digoreng dadakan. Saat Maga berhasil Jani bujuk, ia meminta Maga untuk datang ke ruang jurnalistik untuk diwawancara setelah pulang sekolah.

Maga memberikan kode dengan anggukan kepala. "Dalam rangka wawancara siswa berprestasi. Saat ini, saya Narapati Dwi Renjani akan mewawancarai Maga Shaquille sebagai salah satu peserta lomba dari O2SN atau Olimpiade Olahraga Siswa Nasional. Selamat siang Maga, apa kabar?"

"Baik." Cukup singkat, namun Jani tidak ingin protes dan membuat wawancara kali ini berlangsung lama. Ia tak enak hati.

"Seperti kalimat pembuka saya di awal, bahwa kemarin Anda baru saja mengikuti lomba O2SN  dengan cabang olahraga  renang. Kalau boleh tahu apa sih yang membuat Anda tertarik menggeluti olahraga renang sampai akhirnya Anda memutuskan untuk mengikuti lomba O2SN?"

Maga terdiam beberapa saat. Terlihat ia tengah menyusun diksi yang pas untuk menjawab pertanyaan Jani. 

"Ya karena gue senang sama air." Sepasang matanya sedikit menerawang jauh, tanpa sadar bibirnya tersenyum kecil seperti mengenang kepingan masa lalu yang perlahan kembali ke ingatan. "Sedikit cerita, dulu gue enggak ada pikiran sama olahraga renang, sama sekali. Tapi sejak gua kalah lomba renang di kolam renang tempat rumah teman. Gue jadi tertarik sama renang." 

Mendengar jawaban yang keluar dari bibir Maga, Jani tersenyum puas. "Berarti renang ini sangat berarti di hidup Anda, terbukti ada sejarah yang membekas di hati sama pikiran Anda sendiri. Kapan Anda sudah bisa berenang?"

Wajah Maga tampak mengingat-ingat kembali sejak kapan ia sudah mahir berenang. "SD, kelas 2."

"Wah, sudah berbakat sejak kecil, ya! Mari kita kembali ke topik O2SN. Apa saja persiapan yang Anda lakukan untuk mengikuti lomba O2SN cabang olahraga renang?"

"Pastinya rutin latihan renang di sekolah, di rumah juga gua masih latihan, selalu jaga kesehatan, sama menonton video lomba di YouTube untuk menambah pengetahuan dan semangat."

"Wah banyak juga yaa yang harus dipersiapkan, tapi sayang banget Anda belum bisa keluar sebagai pemenang O2SN cabang olahraga renang. Menurut Anda sendiri, alasan apa yang membuat Anda belum bisa keluar sebagai pemenang O2SN cabang olahraga pada tahun ini?"

"Gue enggak fokus malah memikirkan hal enggak guna yang mengganggu pikiran gue selama lomba. Sebenarnya bukan alasan, intinya gue memang belum bisa juara kali ini, memang lawan gue lebih siap, dia layak jadi juara."

"Untuk pertanyaan terakhir sebagai penutup sesi wawancara kali ini. Apa sih definisi renang dalam hidup Anda?"

"Renang bagi gue udah kayak napas. Enggak bisa dipisahin. Gue merasa tenang kalau lagi nyelem di dalam air. Enggak ada kebisingan, rasanya tenang." 

Jani mengangguk dengan bibir tersenyum tulus, ia benar-benar berhutang budi karena Maga mampu menyanggupi kemauannya untuk melakukan wawancara kali ini. 

"Renang sangat penting di hidup Anda, berarti untuk ke depannya apakah Anda akan tetap mengikuti lomba walaupun lomba kali ini Anda belum bisa keluar sebagai pemenang?"

"Pasti. Gue pasti akan coba lagi."

"Baik. Terima kasih atas waktu dan kesempatan untuk kami dapat mewawancarai Anda. Saya Narapati Dwi Renjani melaporkan untuk Jurnalistik."

***

"Dari mana aja? Hari ini enggak ada les, kok baru sampai rumah?" Ayah mengambil kunci mobil bersiap untuk memanaskan mesin kendaraan beroda empat berwarna hitam itu.

Setelah mendengar kabar dari ibu saat ia di jalan pulang, Jani segera pulang ke rumah menggunakan ojek online agar cepat sampai. Malam ini akan ada acara makan malam bersama yang dihadiri seluruh anggota keluarga besar dari pihak ayah di rumah kakek. 

Semula Jani tak ingin ikut, karena ia akan merasa tertekan sepulang dari acara tersebut. Sayangnya acara makan malam wajib dihadiri oleh seluruh anggota, bahkan ibu yang sedang bertugas di luar kota langsung pulang saat mendengar kabar dari ayah.

Ibu dengan sigap menyuruh Jani langsung mandi melalui tatapan matanya. "Jalanan kayaknya macet, Yah. Pas Ibu nelpon Jani katanya dia udah di jalan."

"Oh gitu, iya sih namanya juga jam pulang kerja. Besok-besok minta tolong bareng Naren aja kali ya? Mereka satu sekolah, sekalian aja."

Saat pulang dari luar kota ibu sengaja membeli kue lapis legit dan bila ambon terlebih dahulu di Bandara. Ia takut saat perjalanan menuju rumah orang tua sang suami tak dapat mampir dan membawa buah tangan. Bisa habis ia menjadi buah bibir untuk makan malam kali ini, walaupun namanya sudah menjadi langganan dalam keluarga besar suami.

"Enggak usah bawa apa-apa, di sana udah disiapin makanan." Ayah menatap ibu yang memasukan kue yang dibeli ke dalam bagasi mobil.

"Oleh-oleh, kan habis dari luar kota masa enggak bawa apa-apa?"

Dengan tergesa Jani berlari menuju mobil. "Ayo berangkat!" ujarnya sedikit terputus-putus karena sehabis berlari.

Mata ibu dan ayah bagai mesin scanner, menatap dari atas ke bawah. Jani kecil sudah tumbuh menjadi gadis remaja, terlihat cantik dengan balutan dress berwarna biru dongker dengan pita yang menghias di daerah pinggang.

"Jangan dilihatin gitu!" pinta Jani sedikit merajuk karena malu. Sontak ibu dan ayah tertawa melihat Jani bersikap malu-malu kucing.

"Sudah lengkap semua. Ayo kita berangkat!" Ajakan ayah segera dilaksanakan Jani dan ibu. 

***

Butuh perjuangan untuk sampai di paviliun, tempat acara makan malam diadakan. Setelah menaiki puluhan anak tangga untuk melewati lapangan basket dan kolam renang, tak jauh dari kedua tempat tersebut ada paviliun berwarna putih gading dihiasi lampu petromak elektrik yang menggantung di empat pilar. 

"Akhirnya cucu kesayangan kakek datang juga!" Seluruh pasang mata yang berada di paviliun menatap ke arah Jani yang baru saja tiba. 

"Ini cucu kesayangan nenek juga tahu!" Tak mau kalah, kakek dan nenek mencurahkan betapa bangganya mereka terhadap Jani hingga mengakui bahwa Jani merupakan cucu kesayangan mereka.

Sudah menjadi rahasia umum di keluarga besar ayah jika Jani menjadi cucu kesayangan kakek dan nenek, karena menjadi kebanggaan mereka. Tak hanya itu, Jani selalu mendengar dan menuruti kemauan kakek dan nenek untuk terus membawa pulang piala dan medali. Tujuan utama dari kakek dan nenek tak hanya keluar sebagai pemenang lomba, mereka juga berharap Jani berhasil menjadi dokter seperti mereka dan ayahnya.

"Kapan terakhir ikut lomba? Kakek perhatikan kamu sudah enggak pernah pulang bawa piala."

Dengan tenang Jani menjawab, "Enggak lama kok, Kek. Jani akhir-akhir ini sibuk, apalagi UTS bakalan berlangsung. Butuh persiapan supaya nilainya enggak turun." 

"Nilai penting banget loh Cah Ayu, jangan sampai turun ya? Siapa tahu kamu bisa diterima di kedokteran lewat jalur undangan." Nenek ikut memberikan saran yang hanya bisa Jani angguki.

"Jani bakalan masuk kedokteran, 'kan?" tanya kakek mesatikan.

"Sepertinya, Kek." 

Wajah kakek terlihat tidak puas mendengar jawaban Jani. "Kok sepertinya? Harus yakin dong kalau mau jadi dokter, masa sepertinya?!" 

"Iya, Kek jadi dokter." Dalam hati Jani sudah mengumpat berkali-kali. Dikira jadi dokter semudah jadi batu? Cukup cosplay jadi Malin Kundang dan kurang ajar sama ibu bisa langsung dikutuk jadi batu.

"Nah gitu dong! Nanti kalau sudah jadi dokter cari jodoh yang sejawat kayak kakek sama nenek. Jangan kayak ayah kamu, masa cari yang beda profesi?" sindir nenek melirik ibu dengan malas.

Topik setiap mereka mengadakan acara selalu membahas Jani yang akan menjadi dokter dan merendahkan ibu yang memiliki profesi berbeda dari mereka. Namun Jani tak bisa menyanggah, ia akan selalu mengiyakan kemauan kakek dan nenek agar tidak terjadi keributan yang membuat mereka berdua mengalami serangan jantung.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro